Demo Anti Pemerintahan China Makin Membesar di Hong Kong

Demo Anti Pemerintahan China Makin Membesar di Hong Kong

RIAUMANDIRI.CO, HONG KONG - Demo besar anti-pemerintah yang dipicu oleh kemarahan rakyat yang meningkat selama bertahun-tahun atas pemerintahan China kembali muncul di Hong Kong, Minggu (20/7/2019).

Munculnya pawai yang berkelanjutan selama berminggu-minggu, serta konfrontasi kekerasan sporadis antara polisi dan pengunjuk rasa yang keras itu membuat Kota Hong Kong jatuh dalam krisis terburuk dalam sejarah.

Protes tersebut awalnya disulut oleh RUU yang sekarang telah ditangguhkan mengenai ekstradisi ke daratan China. 


Namun, sejak itu para pengunjuk rasa telah berkembang menciptakan gerakan yang lebih luas, menyerukan reformasi demokratis, dan hak pilih universal.

Anita Poon (35) salah satu pengunjuk rasa menjelaskan bahwa keinginannya untuk ikut berunjuk rasa muncul setelah menonton unjuk rasa dari orang-orang tua seminggu sebelumnya.

"Ketika nenek-nenek saja turut serta, bagaimana kita bisa hanya menonton TV? Pemerintah belum merespons suara rakyat, itulah sebabnya ini (unjuk rasa) terus terjadi," kata Poon kepada APP.

Biasanya unjuk rasa berlangsung damai. Namun kadang aksi diikuti dengan bentrokan antara polisi dan sejumlah kelompok demonstran yang lebih brutal. 

Para perusuh merasa demonstrasi yang berlangsung damai selama bertahun-tahun tak banyak membuahkan hasil. Hasilnya, kini keamanan diperketat di pusat kota.

Pada akhir unjuk rasa, para demonstran menduduki jalan protokol dekat dengan gedung DPRD dan sebagian pengunjuk rasa berkumpul di luar markas kepolisian yang sebelumnya telah diblokade dua kali.

Pihak anti huru-hara tidak banyak muncul agar menjaga suhu unjuk rasa tetap berjalan kondusif, meskipun polisi mengatakan telah menutup ruang tanggap gawat darurat di markas mereka.

Di bawah kesepakatan penyerahan dengan Inggris pada 1997, China berjanji mengizinkan kebebasan Hong Kong seperti independensi peradilan dan kebebasan berpendapat.

Namun banyak yang menyatakan ketentuan tersebut telah dibatasi, mengacu pada kasus penjual buku yang lenyap, penyingkiran para politisi, dan penahanan pemimpin protes pro-demokrasi. 

Pemerintah setempat pun terus menolak seruan permintaan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat.

Para pengunjuk rasa kini telah berjanji untuk terus menggerakkan massa hingga tuntutan inti mereka terpenuhi, yakni pengunduran diri pemimpin kota Carrie Lam, serta penyelidikan independen terhadap polisi, amnesti dan penarikan permanen tagihan, serta menyerukan hak pilih universal.

Di sisi lain, sekelompok aktivis dari gerakan mandiri membacakan sebuah deklarasi sebelum unjuk rasa yang menggambarkan rasa frustrasi para demonstran. Kalimat yang mereka sampaikan sama dengan yang pernah dibawakan pada penyerbuan DPRD pada 1 Juli.

"Sudah terlalu lama pemerintah berbohong dan menipu dan menolak merespons permintaan rakyat meskipun sejumlah demonstrasi massa terjadi dalam beberapa bulan terakhir," kata pernyataan para aktivis itu.

Steve Vickers, seorang mantan kepala Biro Investigasi Kriminal Polisi mengatakan situasi ketertiban umum bisa jadi akan memburuk dalam beberapa pekan mendatang.

"Polarisasi dalam masyarakat Hong Kong dan situasi yang semakin memanas antara polisi dan demonstran semakin besar," kata Vickers dalam catatan kepada kliennya.

Ketegangan semakin meningkat setelah polisi pada hari Sabtu mengatakan telah menemukan laboratorium amatir yang membuat bahan peledak berkekuatan tinggi.

Seorang pria berusia 27 tahun pun ditangkap disertai dengan sejumlah materi berisi pro kemerdekaan Hong Kong sebagai bukti pendukung.