Akhmad Muqowam: Tak Ada Lagi Etika Politik di Pemilu 2019

Akhmad Muqowam: Tak Ada Lagi Etika Politik di Pemilu 2019

RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Wakil Ketua DPD RI/anggota MPR dari Kelompok DPD RI Akhmad Moqowam mengungkapkan keprihatinannya melihat kondisi politik dalam Pemilu 2019, baik pilpes maupun pileg karena sudah jauh dari etika. Padahal etika itu ada dalam ruh Pancasila.

"Kalau kita bicara etika politik ada harapan. Artinya kita punya agama,  kita bicara mengenai Pancasila,  kita bicara nilai atau value dan kita bicara  budaya. Tetapi faktanya yang terjadi dalam pemilu sekarang luar biasa," kata Muqowam dalam diskusi bertema : 'Etika Politik dalam Pemilu 2019', di Media Center MPR/DPR, Komplek Parlemen Senayan, Senin (11/3/2019).

Muqowam mencontohkan apa yang dialami sendiri di daerah pemilihannya di Jawa Tengah. "Mohon maaf kalau bicara orang sekarang ini, tolak ukurnya cuma satu. Saya ketemu kelompok, tokoh masyarakat ujungnya adalah ada amplopnya gak. Itu yang mengerikan, ini satu fakta politik," ungkap Muqowam.


"Kalau mau bicara jujur, yang namanya komunikasi saya ga pernah lakukan. Menurut saya komunikasi itu adalah "teko muni dan kasih". Artinyanya kalau nggak ngasih maka nggak akan dipilih. Jadi psikologi politik kita saya rasa menarik," ujar caleg PPP di Dapil I Jawa Tengah.

Muqowam menilai Pemilu 2019 ini merupakan pemilu yang berat dirasakannya dari lima kali yang dia ikuti.  "Saya melihat masyarakat keseluruhan dalam perpolitikan hari ini, dari pemilu ke pemilu  yang saya rasakan sudah lima kali, baru kali ini  beratnya luar biasa dan hari ini saya merasa kehilangan akal," keluh Muqowam.

Mengapa semua itu terjadi? Menurut Muqowam, pertama karena ketidakpahaman masyarakat mengenai ideologi bangsa. Pancasila sebagai sebuah acuan moral. Ketidakpahaman masyarakat  terhadap Pancasila.

"Kedua adalah krisi moral  yang terjadi dalam lingkup yang luas ini luar biasa. Jadi kalau reformasi pada waktu itu multidimensi. Saya kira sejak 1998 sampai hari ini belum selesai multidimensi pada tataran moral itu. Sudah 20 tahun yang lalu kita belum bisa  menyelesaikan yang berkaitan multi dimensi. Ketiga karena longgarnya  pemahaman terhadap pasal 30,  keberagamaan," ujarnya.

Sementara itu, anggota Fraksi NasDem MPR RI, Johnny G Plate mengatakan, secara normatif, etika politik harus mengacu pada ideologi negara, pilar kebangsaan yang berlandaskan pada Pancasila dan 3 konsensus lainnya NKRI, kemajemukan dan konstitusi.

"Implementasi demokrasi ruang politik kita harus diisi dengan etika politik.Perbedaan pendapat itu biasa di dalam konteks Pancasila. Perbedaan pendapat dalam konteks etika politik bisa ditampilkan di ruang publik dengan tetap menjaga persatuan kesatuan bangsa," ujarnya.

Pakar Psikologi Politik, Dr. Irfan Aulia mengatakan bahwa dalam pemilu itu ada tiga hal yang membuat orang memilih, Pertama orang memilih kerana sama identitasnya, karena value-nya sama dan ketiga orang ini memilih karena emosinya sama. 

"Ini adalah penelitian dibanyak negara mengakui tiga hal ini. Kalau sudah emosi yang dimainkan maka akan muncul ribuan Hoax. Segala macam serangan karena emosinya itu di pilpres dan di pileg. Jadi masalah emosi ini paling berbahaya, paling kecil, paling ringan dan paling bisa memcah belah atau bisa menyatukan," jelasnya.

Sekarang yang menjadi PR besar menurut dia, bagaimana caranya emosi pilpres dan pileg memberikan emosi yang paling positif. 

"Jadi marilah kita mulai mengelola emosi bangsa ini dengan lebih positif  dan saya lihat sudah mulai ada anak muda yang mulai bikin humor di youtube agar orang tak tegang di Pilpres," ujarnya. 

Reporter: Syafril Amir