Laporan Langsung Ian Tanjung dari Sigi

Fitriani Syam, 10 Jam Terombang-ambing Air, Mulut Penuh Lumpur dan Hanya Bisa Istigfar

Fitriani Syam, 10 Jam Terombang-ambing Air, Mulut Penuh Lumpur dan Hanya Bisa Istigfar

RIAUMANDIRI.CO, SIGI - Kegiatan kemanusian yang dilakukan tim relawan Riau Care Indonesia (RCI) di Kota Palu dan sejumlah daerah lainnya di Sulawesi Tengah, Rabu (10/10/20180, sudah memasuki hari ke-8. Selain menyalurkan bantuan dan menggelar kegiatan pengobantan gratis, tim relawan juga banyak mendengarkan kisah-kisah sedih dan memilukan dari warga yang selamat. 

Salah satunya seperti yang dituturkan oleh seorang warga yang selamat dari terjangan tsunami. Cerita itu terungkap di saat tim relawan Riau Care Indonesia (RCI) melakukan aksi pengobatan di posko pengungsian Desa Sidondo 1, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, tiba-tiba seorang warga datang tergopoh-gopoh mengabarkan ada salah seorang warga yang sedang kritis.

Mendengar itu, seperti dilaporkan langsung Ketua RCI Ardiansyah Tanjung (Ian Tanjung) dari Sigi, Sulawesi Tengah, Rabu (10/10/2018), tim relawan langsung mendatangi tempat warga yang kritis tersebut. Terlihat seorang wanita paruh baya tergeletak di teras rumah di atas kasur tipis dengan wajah pucat menahan sakit.


Dari keterangan warga yang mengaku sebagai keluarganya, wanita ini bernama Fitriani Syam dan merupakan korban tsunami yang melanda Kota Palu pada Jumat (28/10/2018) lalu.

Setelah dilakukan pemeriksaan oleh dr Mujaddid Abdi, maka diputuskan harus dibawa ke rumah sakit untuk melanjutkan penanganan secara intensif.

Sambil menunggu datang ambulans yang akan membawa ke rumah sakit, wanita berusia 45 tahun ini dengan kekuatan tubuh yang masih tersisa, dengan terbata-bata sempat menceritakan kisahnya selama 10 jam berjuang melawan tsunami.

Fitriani Syam sendiri tidak manyangka hari Jumat itu akan menjadi hari yang panjang baginya. Di mana sebelumnya dia hanya berniat akan menonton pembukaan acara Palu Nomoni di Pantai Talise, Kota Palu.

Namun di saat baru saja akan memarkir sepeda motor sekitar pukul 18.00 Wita, dirinya dikagetkan dengan terjadinya gempa yang menyebabkan dia bersama sepeda motor terjatuh. Belum lagi dapat bangkit, gempa kedua terjadi yang kemudian diikuti datangnya gelombang air yang besar.

"Saya berusaha menggapai apa saja untuk bisa bernafas di dalam gulungan air tersebut. Saya berhasil naik ke permukaan air. Namun datang lagi gelombang yang lebih besar, saya terlempar ke atas pohon," tuturnya dengan suara yang putus-putus.

Beberapa orang yang sebelumnya menjauh, mulai mendekat untuk ikut mendengar cerita Fitriani bagaimana dia berjuang dalam gelombang tsunami setinggi hampir 3 meter tersebut.

"Setelah terlempar ke pohon, kemudian saya terjatuh lagi ke air. Saya kembali menggapai apa saja yang bisa untuk bertahan. Mulut saya sudah penuh dengan lumpur, bahkan untuk bernafas saja saya susah," sambungnya.

Dari ibu-ibu yang mendengar cerita Fitriani mulai terdengar suara isak tangis yang tertahan dan suara-suara takbir yang lirih.

"Saya tidak tahu berapa lama dalam air, sampai ada satu springbed yang masih berplastik berada di dekat saya, saya berusaha untuk naik ke atasnya. Dan saya berhasil. Sampai sekitar pukul 4 pagi air mulai surut," sambungnya lagi.

Setelah air mulai surut, Fitriani pun berusaha untuk turun dari kasur yang telah berperan sebagai pelampung tersebut, namun seluruh badannya tidak bisa digerakkan.

"Selama di atas springbed itu saya terus-terusan istigfar sampai pagi. Namun ketika mau turun, badan saya tidak bisa lagi digerakkan. Saya berusaha minta tolong, sampai akhirnya ada 3 orang anak muda yang menyelamatkan dan membawa saya ke Pesantren Habib Salim," lanjutnya.

Sebelum ada 3 orang pemuda itu, ada juga orang-orang yang melewati Fitriani, namun mereka tidak mendengar suaranya yang minta tolong.

"Di saat saya masih terbaring itu, saya  berfikir saya sudah mati. Gelap gulita semua. Baru terdengar suara 'Ada yang masih hidup, ada yang masih?'. Saya langsung berusaha untuk teriak sekuat tenaga. Itulah 3 orang anak muda yang membawa saya ke pesantren," jelasnya.

Tidak Dapat Pengobatan

Sesampai di pesantren, ujian bagi Fitriani belum selesai, karena dirinya tidak mendapatkan pengobatan sama sekali. Sampai 3 hari kemudian keluarganya menjemput.

Keluarga Fitriani Syam sendiri sebenarnya sudah pasrah atas nasib Fitriani, karena selama 3 hari mereka tidak mendapatkan kabar apa-apa pasca peristiwa gempa dan tsunami.

Namun tidak disangka-sangka pada hari ketiga itu, ada orang menyebutkan keberadaan Fitriani di Pesantren, sehingga kemudian menjemputnya.

"Sejak kami jemput sampai sekarang belum ada satupun dokter atau tenaga medis lain yang datang. Dan kami juga sudah melaporkan ke pihak puskesmas dan lain-lain, tidak ada tanggapan." ujar Citra (50 tahun), kakak Fitriani.

"Makanya kami betul-betul berterima kasih sama tim RCI ini. Sebelumnya kami hanya mengobati dengan obat-obat kampung yang ternyata tidak ada pengaruhnya," sambung Citra.

Ketua RCI Ian Tanjung tim relawan ikut terharu mendengar kisah Fitriani dan berpesan agar selalu bersabar.

"Istigfar itu salah satu penyelamat dan senjata kaum muslimin dalam memohon pertolongan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ibu Fitriani telah membuktikan itu," kata Ian Tanjung.

Selanjutnya setelah datang mobil ambulans, Fitriani Syam pun dirujuk ke Rumah Sakit Kapal Republik Indonesia (KRI) Suharso milik TNI Angkatan Laut Indonesia.