MUI Sayangkan Beasiswa Anak IPB Disetop karena Pindah Agama

MUI Sayangkan Beasiswa Anak IPB Disetop karena Pindah Agama

RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Mahasiswi Institut Pertanian Bogor (IPB) asal Sumatra Utara, Arnita Rodelina Turnip, terpaksa berhenti kuliah lantaran beasiswanya disetop oleh Pemerintah Kabupaten Simalungun. Pemberhentian beasiswa itu diduga karena Arnita dan keluarganya pindah agama yang semula Nasrani menjadi Islam.

Menanggapi hal itu, Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis menyayangkan adanya kejadian tersebut. "Saya menunggu dari hasil Ombudsman dan bagaimana tindakannya. Tetapi untuk sementara sangat disayangkan kalau itu benar bahwa anak bangsa dihentikan beasiswa kuliahnya karena perbedaan agama," ujar KH Cholil saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (31/7/2018).

Dia mengatakan, Undang-Undang Dasar (UUD) telah menjamin agar tidak melakukan diskriminasi atau merendahkan martabat orang yang memeluk agama lain. Karena itu, selagi Arnita pindah agama dengan sukarela, maka seharusnya tidak berpengaruh pada beasiswanya.


"Sepanjang Arnita pindah agama dengan sukarela itu dijamin oleh undang-undang dan tidak benar, tidak diperbolehkan, bahkan di Indonesia memberikan beasiswa Pengembangan SDM lalu dikaitkan dengan agama yang diyakininya," ucapnya.

Pengasuh Ponpes Cendikia Amanah Depok ini mengatakan, sepanjang itu masih dalam kerangka NKRI, Pancasila, kebebasan beragama dijamin oleh undang-undang. Karena itu, KH Cholil berharap Ombudsman segera bergerak melakukan penyelidikan dan mengambil tindakan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan perundang-undangan.

"Saya atas nama MUI kalau terjadi benar, menyesalkan terhadap tindakan pemerintah daerah yang menghentikan beasiswa karena pilihan keyakinan dari warganya atau dari anak dan putri daerahnya," katanya.

Kasus ini bermula saat orang tua Arnita, Lisnawati, melaporkan hal yang dialami putrinya ke Ombudsman awal Juli lalu. Ombudsman RI Perwakilan Sumut kemudian menindaklanjuti laporan itu dan menduga bahwa Dinas Pendidikan pemerintah setempat telah menciptakan aturan yang bermotif suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).