Menggugat Harga Beras

Menggugat Harga Beras

Bangsa ini seakan tak henti-hentinya menghadapi polemik dan masalah. Belum reda polemik politik dan hukum terkait kisruh KPK-Polri, sekarang menimpa sektor ekonomi, yaitu melambungnya harga beras. Isu  ini memang tidak menggeliat cepat bak cicak versus buaya, tapi, imbasnya langsung menohok masyarakat level grassroot, karena semua rakyat mengonsumsi beras.

Naiknya harga beras dua minggu terakhir cukup fantastis. Bahkan, untuk ukuran beras di pasar Cipinang yang menjadi barometer harga beras nasional, semuanya mengalami kenaikan.  Harga beras jenis IR 2 yang biasanya dipasarkan Rp8.500 per kilogram, kini dijual Rp11 ribu per kilogram. Hal yang sama juga ter jadi pada beras IR 1 yang biasanya Rp9.500 per kilogram, kini Rp12 ribu per kilogram. Begitu pun harga beras jenis premium tak terhindar dari kenaikan harga. Biasanya, dibanderol Rp10 ribu per kilogram, kini menjadi Rp13 ribu per kilogram (Republika, 24 Februari 2015). Kondisi ini jelas akan menjadi lebih mahal lagi untuk daerah-daerah yang memerlukan tambahan biaya transportasi.

Melonjaknya harga beras saat ini ditenggarai sebagai yang tertinggi semenjak era Soeharto. Kenaikannya, mencecah angka 30 persen, sehingga memunculkan berbagai pertanyaan publik. Ada apa dengan harga beras di Indonesia? Bukankah harga komoditas dunia termasuk beras sedang turun? Pertanyaan klasik nan menggelitik tapi, sulit untuk dijelaskan. Pemerintahan Jokowi-JK yang selalu mengatakan berpihak kepada wong cilik ini, harus segera menjelaskan dan mengatasi persoalan ini. Setidaknya, ada beberapa hal yang mesti dijelaskan pemerintah terkait melonjaknya harga beras.

Pertama, sejauhmana peran Bulog dalam mengatasi lonjakan harga. Sebagai perusahaan negara yang mengelola hajat pokok rakyat, Bulog seharusnya melakukan fungsinya secara maksimal sebagai  penyangga pasokan dengan menyerap beras dari petani pada tingkat harga di bawah harga pasar. Jangan karena berbentuk Perusahaan Umum (Perum) , Bulog orientasinya lebih dominan mencari profit ketimbang sebagai penyangga pasokan. Alhasil, sulit untuk mengontrol harga beras di pasaran.

Kedua, maraknya alih fungsi lahan pertanian. Tanah-tanah petani yang selama ini menjadi sentra-sentra penghasil beras telah beralih fungsi, seperti untuk pembangunan perumahan, gedung-gedung, industri dan perkebunan sawit. Alhasil, produksi padi merosot dan tidak seimbang dengan tingginya konsumsi masyarakat. Akibatnya, stok pangan cenderung menipis dan memicu lonjakan harga. Oleh karena itu pemerintah harus mencari solusi agar peristiwa ini tidak terjadi. Artinya memberikan bukti kepada petani, bahwa dengan bertani rakyat bisa hidup dengan layak. Yang menjadi persoalan selama ini adalah sebaliknya, sehingga petani begitu mudah tergoda untuk mengalihfungsikan lahannya guna meraih keuntungan sesaat.

Ketiga, eksisnya mafia-mafia beras yang haus keuntungan. Apa yang disinyalir oleh Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef)  Henny Sri Hartarti bahwa, lonjakan harga beras terjadi karena ada mafia yang bermain, patut di cermati oleh pemerintah. Apalagi, isu yang berkembang naiknya harga beras , motifnya agar pemerintah melakukan impor beras. Bila ini terjadi, benarlah bahwa mafia beras menjadi salah satu penyumbang melonjaknya harga beras dan pemerintah harus segera mengantisipasinya.

Keempat, regulasi yang tidak jelas dan lemahnya penegakan hukum. Pengendalian harga yang seharusnya menjadi domain pemerintah menjadi tak berkutik  menghadapi kondisi pasar dan spekulan. Ini menunjukkan  bahwa, pemerintah tidak punya kekuatan melawan mafia-mafia ekonomi. Regulasi yang ada serta penegakan hukum terhadap pelanggar-pelanggar ekonomi tidak jelas juntrungannya. Bahkan, kejahatan ekonomi terkadang dilihat bukanlah “kejahatan”, sehingga bebas menaikkan harga  dengan alasan teori supply and demand. Padahal, dalam sebuah negara, harga-harga yang menyangkut kebutuhan pokok hidup rakyat harus dikontrol oleh pemerintah.

Persoalan tingginya harga beras, sesungguhnya bukanlah masalah sepele, tapi ini adalah persoalan serius bangsa yang perlu penanganan dengan cepat dan terencana. Bila tidak, bisa memicu inflasi dan menggerus daya beli masyrakat dan akhirnya menimbukan kerawanan sosial. Pantas, di era Orde Baru Presiden Soeharto menjaga betul harga beras dan produktifitas nasional. Baginya, stabilitas harga beras berbanding lurus dengan stabilitas rakyat. Sebab, sejahteranya rakyat bukan hanya diukur dengan strata pendidikan, tapi, bagaimana rakyat mudah memenuhi kebutuhan pokoknya sehari-hari.

Mencermati persoalan ini, amat penting bagi pemerintahan Jokowi untuk melihat kondisi ini dengan jelas. Sebab tingginya harga beras, berarti ada yang tidak beres dengan bangsa ini. Bangsa yang agraris tapi penduduknya sulit untuk membeli beras karena harganya yang tinggi. Bagi rakyat kecil yang dominan mendiami bumi ini, parameter keberhasilan dan keberpihakan pemerintah pada rakyat, tidak diukur dengan data-data statistik pertumbuhan ekonomi. Tapi diukur, seberapa besar mereka bisa memenuhi kebutuhan pokoknya, terutama beras. Wallahu’alam.***

Alumnus Pascasarjana UKM Malaysia dan mahasiswa Program Doktor UIN Suska Riau.