Syukuran Kenegerian Kuntu di Kampar Diadakan Sejak Zaman Belanda, Begini Sejarahnya

Syukuran Kenegerian Kuntu di Kampar Diadakan Sejak Zaman Belanda, Begini Sejarahnya
RIAUMANDIRI.CO, KAMPAR - Desa Kuntu, Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar dikenal sebagai desa yang penuh sejarah dan tradisi. Mulai dari mandi balimau kasai, teoroba cup, penobatan khalifah, hingga acara syukuran Kenegrian Kuntu. Sampai sekarang tradisi-tradisi itu masih tetap dilaksanakan. Seperti acara syukuran Kenegrian Kuntu yang dilaksanakan pada Minggu (29/04/2018) siang.
 
Salah satu ninik mamak dalam acara itu mengatakan, syukuran ini sebagai bentuk utang lidah atau nazar dari orang-orang terdahulu sejak zaman kolonial Belanda. 
 
"Asal muasal kisahnya dari konflik masyarakat tempatan dengan kontelir Belanda yang ingin merampas tanah Kuntu karena tanaman padinya yang sangat subur," ujarnya. 
 
Setelah permasalahannya semakin rumit, ujar dia, akhirnya masyarakat Kuntu pergi ke Bengkalis untuk menyelesaikan masalah ini. Namun ada dari pihak Kuntu yang tidak setuju, yaitu Datuk Mantaghi. 
 
Datuk Mantaghi bersumpah kalau orang kafir yang menyelesaikan masalah ini maka diterkam harimaulah orang Kuntu semuanya. Kemudian terdengarlah kabar kalau masyarakat Kuntu banyak diterkam harimau. 
 
Sebagaimana dikutip dari buku Kuntuheritage, Asal Mula Tradisi Nazar (Utang Lidah) Kenegerian Kuntu Kampar Kiri, yang ditulis Zainal, karena masalahnya sudah luar biasa maka ninik mamak dari Desa Kuntu adakan mufakat atau musyawarah mencari solusi atas permasalahan itu. 
 
Putuslah runding, yang mana masyarakat akan menjalankan nazar yang berbunyi “Kami akan memotong satu ekor kerbau apabila pemimpin seiya sekata, yang kedua jika masyarakat Kuntu tidak lagi diterkam harimau".
 
Warga Kuntu akhirnya terhindar dari ancaman binatang buas itu. Mulai saat itulah nazar dilaksanakan hingga saat ini, dan acaranya setiap tahun diperingati di Los Pasar Usang. Dan semua suku yang ada di Kuntu makan bersama memperingatinya.
 
Harmanto selaku panitia berharap acara ini setiap tahunnya dapat dilaksanakan sebab ini sudah menjadi tradisi turun temurun. 
 
 
Reporter: Julia Puspita (Kontributor)
Editor: Rico Mardianto