Sarjana Hukum Titik Koma

Sarjana Hukum Titik Koma

Cara berhukum “Sarjana Hukum Titik Koma” lagi-lagi mengitari perjalanaan dunia peradilan di Tanah Air. Bagi mereka, hukum ya teks (sesuai bunyi pasal). Menegakkan hukum, menegakkan teks. Mereka berhukum tanpa menyelami makna teks sama sekali. Lebih mengutamakan prosedural daripada substansial. Di mana beberapa waktu lalu Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menyatakan untuk tidak memproses permohonan upaya hukum yang dilayangkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perihal putusan hakim Sarfin dalam praperadilan Budi Gunawan. Alasannya adalah didasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 8/2011 tentang Perkara Yang Tidak Memenuhi Syarat Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali. Dimana salah satu putusan yang tidak bisa ditempuh upaya hukum kasasi adalah putusan tentang praperadilan. Berikut uraiannya.

Pasal 1 angka 10 Undang-Undang (UU) No. 8/1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah menyebutkan di mana objek praperadilan itu hanyalah berkaitan dengan sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan, serta permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Nah, bagaimanakah putusan Hakim Sarpin dalam praperadilan Budi Gunawan? Hakim Sarpin memutuskan sama sekali tidak berkaitan dengan satupun objek praperadilan yang dimaksudkan oleh Pasal 1 angka 10 di atas. Di mana hakim Sarpin memperluas objek praperadilan yaitu mengurusi persoalan penetapan tersangka. Hakim Sarpin dalam putusannya menyatakan bahwa penetapan tersangka oleh KPK terhadap Budi Gunawan adalah penetapan yang tidak sah. Dan itu bukan merupakan objek praperadilan. Sebab penetapan tersangka dalam kasus korupsi adalah salah satu objek Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Oleh karenanya, karena putusan praperadilan Budi Gunawan itu di luar objek praperadilan, logika sederhanya adalah dapat diajukan kasasi. Sebab putusan praperadilan tersebut bukanlah putusan praperadilan sebagaimana yang dimaksud oleh SEMA tersebut. Putusan praperadilan yang dimaksud oleh SEMA itu tentunya andaikata hakim Sarpin memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan objek praperadilan. Karena itu, seharusnya PN Jakarta Selatan membaca SEMA Nomor 8 tahun 2011 itu secara mendalam. Putusan praperadilan mana yang bisa diajukan ke MA, dan mana yang tidak. Megeneralisir semua putusan praperadilan adalah tidak bijak. Oleh karenanya, kalau hanya membaca tanpa pemaknaan, apa bedanya dengan orang awam dalam berhukum?

Untuk itu, kalau putusan hakimnya salah, maka harus dikoreksi. Jangan didiamkan dan terbelenggu oleh bunyi pasal. Khalifah ‘Umar bin Khaththab mengirimkan surat kepada hakim di Kofah pada masa pemerintahannya bahwa: “Tidak ada yang menghambat anda terhadap perkara yang anda putuskan hari ini kemudian anda tinjau kembali karena terjadi kekeliruan (fahudîta li rusydika), bahwa anda kembali kepada kebenaran. Kebenaran itu terdepan dan tidak dibatalkan oleh apapun. Kembali kepada kebenaran itu lebih baik dari pada terus menerus dalam kebatilan”.

Saran
Tak dapat dipungkiri, hari ini putusan praperadilan hakim Sarpin telah memperlihatkan virusnya. Ditambah lagi PN Jakarta Selatan tidak memproses upaya hukum KPK. Seolah-olah putusan hakim Sarpin itu benar. Di mana hari ini Suryadharma Ali telah mengajukan gugatan praperadilan ke PN Jakarta Selatan atas penetapannya sebagai tersangka oleh KPK. Menariknya lagi, Suryadharma Ali dipanggil KPK untuk pemeriksaan lanjutan, yang bersangkutan tidak mau datang. Alasannya adalah sedang mengajukan gugatan praperadilan.

Tak hanya Suryadarma Ali, hal yang sama juga dilakukan oleh Sutan Bathoegana, mantan anggota DPR RI. Yang bersangkutan juga menggugat komisi antirasuah itu.
Apa yang terjadi hari ini, saya yakin ke depan akan banyak yang mengikuti langkah-langkah perjuangan dari Budi Gunawan, Suryadharma Ali, dan Sutan Bathoegana. Terlebih lagi pengacara di Indonesia punya seribu satu jurus untuk meyakinkan kliennya yang buta hukum itu. Sebab bagi mereka yang penting bayaran.

Oleh karena itu, agar tidak banjir gugatan praperadilan di PN, maka sebaiknya MA mengeluarkan surat edaran (SE) teruntuk hakim-hakim PN agar tidak memperluas objek praperadilan. Hakim praperadilan hanya memeriksa persoalan kulit dari kasus itu. Urusan isi biarlah menjadi kewenangan hakim selanjutnya. Maksud SE ini bukanlah membatasi hakim untuk “berijtihad”. Sebab ranah “ijtihad” yang memadai ada tempatnya, yaitu di pengadilan tingkat pertama (PN), banding (pengadilan tinggi), kasasi dan peninjauan kembali (MA).***

 Dosen dan Pembina Perhimpunan Mahasiswa Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UIR.