Pentolan Grup Saracen Divonis 10 Bulan Penjara

Pentolan Grup Saracen Divonis 10 Bulan Penjara
RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Sempat dituntut dua tahun penjara, Jasriadi yang dituding sebagai pentolan Grup Saracen ini hanya divonis 10 bulan penjara. Meski begitu, Jasriadi tetap menolak dan akan mengajukan upaya hukum banding. Hal yang sama juga disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
 
Demikian terungkap di persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, Jumat (6/4/2018). Adapun pembacaan vonis disampaikan majelis hakim yang diketuai Asep Koswara.
 
Dalam putusannya, majelis hakim memutuskan Jasriadi terbukti bersalah melakukan ilegal akses terhadap akun Facebook Sri Rahayu Ningsih. Bukan ujaran kebencian sebagaimana yang sebelumnya sempat disematkan kepada pria berusia 32 tahun itu.
 
"Terdakwa terbukti melakukan akses ilegal terhadap elektronik (akun) orang lain dengan cara apa pun. Menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa dengan penjara selama 10 bulan," ujar Hakim Ketua.
 
Menurut Hakim, Jasriadi dinyatakan bersalah melanggar Pasal 46 ayat (1) Jo Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang (UU) RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
 
Hukuman itu dijatuhkan hakim dengan pertimbangan. Hal memberatkan, perbuatan  terdakwa  sudah meresahkan, dan menjadi perhatian publik. Sementara hal meringankan, terdakwa tidak melakukan ujaran kebencian, berusia muda, dikenal baik oleh masyarakat dan memiliki tanggungan keluarga.
 
"Terdakwa tidak terbukti melakukan ujaran kebencian seperti yang diberitakan media selama ini. Untuk itu, dia dibebaskan dari dakwaan tersebut," sambung Hakim Ketua Asep, yang didampingi hakim anggota Martin Ginting dan Riska.
 
Atas putusan itu, Jasriadi maupun Jaksa JPU Eric Risnandar dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Pekanbaru langsung menyatakan banding. "Saya menolak (vonis) yang mulia. Saya banding," tegas Jasriadi.
 
Usai persidangan, Jasriadi menyatakan dirinya tidak melakukan akses ilegal. Dia tetap menyatakan membuka akun Sri Rahayu karena ada izin. "Kita banding. Dalam sidang ini seperti ada yang ditutup-tutupi terkait izin yang telah diberikan," sebut Jasriadi.
 
Senada, Dedek Gunawan selaku penasehat hukum Jasriadi menilai ada opini yang sengaja dibangun terhadap kliennya. "Tindakan terdakwa tidak masuk melanggar ITE," tegas Dedek Gunawan.
 
Dia menilai banyak kepentingan dalam perkara ini. "Banyak fakta yang tak terbukti. Ada intelektual dader," pungkasnya.
 
Dalam dakwaan JPU, pada 5 Agustus 2017, Jasriadi melakukan akses ilegal terhadap akun Facebook Sri Rahayu Ningsih, Koordinator Saracan Jawa Barat, yang sudah disita Mabes Polri. mengaku mendapat kunci dari Sri dan mengubah password dan recovery email untuk akun tersebut.
 
Selanjutnya, akun itu dikaitkan Jasriadi pada sejumlah orang. Tujuan terdakwa mengakses akun Sri untuk mengetahui informasi tentang penangkapan Sri oleh Mabes Polri.
 
Dalam akun yang sudah diubah, Jasriadi membuat sejumlah status. Di antaranya, "Adakah keadilan di negeri ini" dan "Mati satu tumbuh seribu' serta sejumlah gambar Ahok.
 
Di persidangan, Sri Rahayu membantah pemberikan izin pada Jasriadi untuk mengakses akunnya yang sudah disita polisi. Dia menyatakan jauh hari, sebelum akun disita, dia memang pernah meminta bantuan pada Jasriadi untuk memulihkan akunnya dan sudah selesai.
 
Selain akun Faceebok milik Sri Rahayu, terdakwa juga  mengedit foto Suarni dalam aplikasi photoshop dan mengubah nama dalam KTP Suarni menjadi Saracen. Data yang diubah itu seolah-olah otentik milik Saracen untuk memverifikasi akun facebook Saracen.
 
Jasriadi ditangkap tim Mabes Polri di Jalan Kasah, Pekanbaru, 8 Agustus 2017. Sebelumnya, Mabes Polri juga menangkap sejumlah orang yang diduga terlibat dalam Grup Saracen, termasuk Sri Rahayu.
 
Kelompok Saracen diketahui membuat sejumlah akun media sosial dan online. Akun-akun tersebut antara lain Saracen News, Saracen Cyber Team, dan Saracennews.com. Kelompok ini diduga menawarkan jasa menyebarkan ujaran kebencian terkait suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
 
 
Reporter: Dodi Ferdian
Editor: Rico Mardianto