Tawa sebagai Terapi dan Tawa yang Menjadi Fobia

Tawa sebagai Terapi dan Tawa yang Menjadi Fobia
RIAUMANDIRI.co-Dyann Kemala Arrizqi menyatakan bahwa ia hanya iseng mengedit gambar pasien laki-laki yang terbaring di Rumah Sakit itu. Ia mengganti alat bantu pernapasan yang dikenakan si pasien dengan topeng hitam menyeramkannya Darth Vader. Sementara itu, di kanan kirinya berdiri Luke Skywalker dan Yodha. Dua tokoh di film Star Wars tersebut berpose layaknya penjaga setia si pasien bertopeng.
 
Meme editan tersebut beredar viral di kalangan netizen. Satu alasan utama yang membuat meme ini begitu laku di masyarakat dunia maya adalah karena mereka mendapat bahan konyol untuk ditertawakan bersama-sama lalu.
 
Sialnya, Setya Novanto, si pasien bertopeng itu tidak terima dengan banyaknya meme tentang dirinya. Kekesalannya berujung pelaporan terhadap Dyann ke pihak berwajib dengan tuduhan mencemarkan nama baik. Pelaporan dari Setya Novanto membuktikan perkara tertawa-menertawakan bisa menjadi sangat serius.
 
Namun tawa memang sangat serius! Bagaimana tidak serius, tertawa menurut sejumlah penelitian bahkan dianggap sebagai penyembuh untuk manusia. Jadi, berbahagialah bagi yang gemar tertawa — apalagi jika mampu menertawakan diri sendiri. 
 
Tertawa adalah komponen vital untuk menjalankan fungsi sosial dan emosional dalam beradaptasi. Tawa tidak hanya dilakukan manusia, namun juga pada golongan kera dan primata. Hal ini juga yang dipercaya bisa membantu mereka bertahan dan beradaptasi dengan lingkungan. Karena tertawa adalah kegiatan komunal yang menghadirkan ikatan dan menekan potensi munculnya konflik dalam sebuah komunitas, bagi manusia hingga primata.
 
Selain itu, tertawa juga memiliki kekuatan menyingkirkan emosi-emosi lain, meski hanya sesaat. Siapa pun tidak bisa marah sambil tertawa, atau juga tidak sesenggukan sembari tertawa. Hal ini dikarenakan, ketika tertawa otot wajah dan suara vokal akan terbentuk sedemikian rupa untuk menghasilkan ekspresi khas yang tidak sama dengan ekspresi yang lain. Semua proses itu dikendalikan sirkuit otak yang secara khusus membawa pesan kimia atau yang dikenal dengan istilah neurotransmitter.
 
Pascal Vrticka dalam Nature Reviews Neuroscience menjelaskan bahwa tertawa dapat meningkatkan fungsi kardiovaskular, memperkuat sistem kekebalan tubuh dan endokrin. Selain itu, William R. Klemm juga menyampaikan bahwa "tertawa adalah obat yang baik". Ia menjelaskan tertawa membantu mengurangi tekanan darah dan menurunkan tingkat glukosa darah dalam tubuh. Tertawa juga diyakini mampu meringankan stres, menekan rasa cemas, dan meningkatkan rasa nyaman.
 
Peningkatan imunitas atau kekebalan tubuh terjadi karena adanya transmisi hormon kortisol di otak ketika tertawa. Hormon kortisol ini yang berperan dalam imunitas/kekebalan tubuh dari penyakit.
 
Ada beberapa bagian otak yang mempunyai tanggungjawab khusus ketika seseorang tertawa. Saat tertawa, diproduksi juga hormon endorphin dan serotonin -- jenis-jenis hormon yang menciptakan rasa senang.
 
Tawa sebagai Terapi dan Tawa yang Menjadi Fobiashare infografik
 
Mi Youn Cha, seorang peneliti dari Uiduk University, Korea dalam Journal of Academu of Nursing menjelaskan bahwa terapi tawa bahkan terbukti berfungsi sama dengan antidepresan. Kerjanya dengan cara meningkatkan kadar serotonin di otak. Serotonin adalah neurotransmiter penting untuk perasaan sehat dan tenang.
 
“Jadi terlepas dari gaya humornya, asalkan tidak ada penyakit yang mendasari, tawa kemungkinan akan menjadi obat terbaik,” kata Mi Youn Cha.
 
Secara klinis, perkara tertawa tidak berhenti pada hal-hal euforia semata. Terdapat sejumlah kondisi yang membuat otak menjadi tidak nyaman dengan proses tertawa ini. Dalam hal ini, pembahasan tertawa akan melibatkan dua kelompok subjek: mereka yang tertawa dan mereka yang ditertawakan.
 
Ketidaknyamanan ini dikenal dalam dua istilah, gelatophilia dan gelatophobia. Gelatophilia sendiri merupakan kesenangan menjadi orang yang ditertawakan, sedangkan gelatophobiia adalah perasaan sangat takut ditertawakan. 
 
Kemarahan, atau pengaduan, karena orang lain menertawakan kita boleh jadi merupakan bentuk kecemasan ekstrem akibat gelatophobia. Proyer RT dalam International Journal of Psychology menerangkan gelatophobia hadir karena ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan hingga depresi berat, sehingga ia sangat berhati-hati dengan potensi ejekan untuknya.
 
“Ketakutan yang tidak normal karena diejek timbul dari pengalaman hidup di masa lalu yang pernah diejek atau ditertawakan,” kata Proyer.
 
Bagi mereka, tawa bisa menjadi hal yang sangat mengganggu, mencemaskan, bahkan menggentarkan. Tawa, lebih tepatnya lagi ditertawakan, bagi mereka sungguh-sungguh situasi yang bukan hanya tak dikehendaki melainkan bahkan bisa memicu fobia.
 
Proyer menjelaskan gelotophobia juga dikaitkan dengan konektivitas yang buruk antara area otak temporal frontal dan medial. Dua buah organ itulah yang bertanggung jawab untuk memantau dan memproses rangsangan emosional.(van)
 
 
 
 
Sumber : Tirto.com