KPK Vs DPR dalam Kisruh Korupsi E-KTP

KPK Vs DPR dalam Kisruh Korupsi E-KTP
(riaumandiri.co)-SIDANG perdana kasus dugaan mega ko­rupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Elek Tronik (E-KTP) senilai Rp 5,9 Triliyun Tahun Anggaran 2011–2013, dengan menghadirkan dua terdakwa, Sugiharto, mantan Direktur Pengelolaan Imformasi Administrasi Kependudukan, sekaligus sebagai pejabat pembuat komitmen dan Irman Mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Ka­mis 9 Maret 2017 di Pengadilan Tipikor Jakarta.
 
Sesuai dengan yang dikatakan oleh Ke­tua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Raharjo, bahwa didalam per­sidangan kasus mega korupsi E-KTP, akan diungkap adanya nama nama besar yang diduga terlibat dalam peneri­maan aliran dana dari mega proyek E-KTP itu.
 
Dalam pembacaan dakwaan yang dibacakan oleh tim Jaksa Penuntut KPK, mengungkapkan beberapa nama anggota DPR, Pimpinan DPR, Pajabat dikemen­terian Dalam Negeri, termasuk nama mantan Menteri Dalam Negeri Gumawan Fauzi, Anas Ubaningrum, Setia Novanto Ketua DPR RI, Yosanna Loaly, yang sekarang menjabat Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia, serta nama nama ang­gota DPR di komisi II, serta nama nama pengusaha konsorsium yang menangani proyek pengadaan E-KTP.
 
Mencuatnya kasus Mega Proyek pengadaan E-KTP, adalah atas nyanyian Mantan Bendaharawan Partai Demokrat (PD) Nazaruddin yang terlibat dalam kasus Korupsi Pembangunan Wisma Alit Hambalang Bogor. Dimana saat ini Nazaraddin tengah menjalani sisa masa hukumannya, yang telah diputuskan oleh Pe­ngadilan Tindak Pidana Korupsi (Ti­pikor) DKI Jakarta.
Pada setiap persidangannya dalam kasus Korupsi dana pembangunan Wisma Atlit, Nazar menyebutkan bahwa ada tindak pidana korupsi didalam pengadaan E-KTP dengan dana sebesar Rp 5,9 triliun di DPR RI. Nyanyian yang dikumandangkan oleh Nazaruddin direspon oleh pihak KPK.
 
KPK kemudian menelusuri apa yang di­sebutkan oleh Nazaruddin, dan kemudian meminta pihak Badan Pemerik­sa Keuangan (BPK) untuk melakukan pengauditan terhadap dana pengadaan E-KTP. Dan hasilnya dalam proyek penga­daan E-KTP tersebut terdapat kerugian negara sebesar Rp 2,3 Triliun.
 
Dalam nyanyian yang didendangkan oleh Nazarudin, pihaknya menyebut be­be­rapa nama rekan sejawatnya di DPR, yang turut merasakan manisnya madu dana Proyek pengadaan E-KTP. Nama nama yang disebutkan oleh Nazaruddin, seperti Anas Ubaningrum, Setia Novanto, dan beberapa nama anggota DPR lainnya,  nama yang disebutkan oleh Nazaruddin itupun sudah diperiksa oleh KPK.
 
Ada 294 saksi fakta dan 5 saksi ahli yang sudah diperiksa oleh KPK untuk kasus terdakwa Sugiharto, dan 173 orang saksi fakta dan 5 saksi ahli yang te­lah siperiksa oleh KPK untuk kasus terdakwa Irman.
 
Kemudian KPK juga telah memeriksa para pengusaha yang menjadi konsersium untuk mena­ngani proyek pengadaan E-KTP. Perusahaan  Umum Percetakan Negara RI, selaku kepala Konsorsium. Kemudian PT Sandi Pala Artha Putra, PT Quadra Solutions, PT Len Indiustri dan PT Sucofindo, masing masing sebagai anggota konsorsium.
 
Di tengah perjalanan dalam pengusutan dugaan terjadinya korupsi terhadap dana proyek pengadaan E-KTP, sebanyak 14 orang Anggota DPR telah mengembalikan uang yang mereka terima dari hasil proyek pengadaan E-KTP, dengan jumlah total dari keseluruhan uang yang dikembalikan sebesar Rp30 miliar. Kemudian dari pihak konsersium telah mengembalikan uang sebesar 200 miliar kepada KPK.
 
KPK Vs DPR 
Jauh sebelumnya,  menjelang diungkapkannya nama nama besar yang terlibat dalam kasus mega korupsi  proyek pengadaan E-KTP, tiba tiba saja muncul wa­cana untuk merevisi Undang Undang (UU) Nomor 30 tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
 
Padahal sebelumnya wacana untuk melakukan revisi terhadap UU : Nomor 30 Tahun 2002 terse­but sempat timbul tenggelam, dan belakangan, rencana untuk melakukan revisi UU tersebut senyap begitu saja.
 
Di tengah upaya serius KPK untuk menyidik kasus mega korupsi proyek pengadaan E-KTP, yang melibatkan sejumlah anggota DPR RI, aktif maupun yang tidak aktif lagi, sejumlah anggota DPR RI kembali melontarkan wacana untuk merevisi UU Nomor : 30 Tahun 2002. Banyak pihak menuduh rencana revisi ini, tidak lebih sebagai upaya untuk menekan KPK, menghadang pengusustan kasus mega korupsi pengadaan E-KTP.
 
Untuk memuluskan jalannya rencana revisi UU itu, Badan Keahlian DPR RI, te­ngah gencar gencarnya melakukan sosialisasi tentang rencana revisi UU ini ke berbagai Universitas. Badan Keahlian DPR telah mendatangi Universitas Andalas dan Universitas Nasional. kemudian akan menyusul ke Universitas Gajah Mada, serta  Universitas Indonesia, ITB, USU dan beberapa Universitas lainnya.
 
Namun anehnya rencana revisi UU KPK yang telah disosialisasikan oleh Bad­an Keahlian DPR RI keberbagai Univer­sitas itu, tidak sepenuhnya diketahui oleh anggota DPR RI. Bahkan anggota Komisi III DPRRI dari Fraksi PDIP Masinton Pasa­ribu kepada sejum­lah media mengatakan, Komisi III DPR RI tidak pernah diberi tahu maupun dikomunikasikan atau dilaporkan, terkait so­sialisasi yang dilakukan oleh Badan Keahlian DPR.
 
Keheranan Masinton pasaribu, sama de­ngan keheranan Nasir Djamil, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS. Nasir mengaku pihaknya tidak tahu menahu tentang adanya sosialisasi yang dilakukan oleh Badan Keahlian DPR.
 
Menurut Djamil kegiatan sosialisasi da­lam upaya adanya revisi UU KPK itu di luar kewenangan badan tersebut. Tugas Badan Keahlian DPR adalah dalam proses penyususnan UU, untuk memberi­kan masukan secara Internal ke DPR. Bukan melakukan sosialisasi di luar internal DPR.
 
Lantas jika Komisi III DPR RI yang mem­bidangi hukum, tidak tahu menahu tentang adanya sosialisasi dalam kaitan revisi UU KPK,  tentu menimbulkan pertanyaan ?. siapa yang bermain dalam ren­cana revisi UU Nomor : 30 Tahun 2002 tersebut? Apakah dari nama nama be­sar yang telah diungkap oleh KPK? Me­mang semuanya masih menjadi tanda Tanya?.
 
Pengamat politik Arbi Sanit berpenda­pat, munculnya kembali wacana untuk me­lakukan revisi UU KPK, mempunyai ko­lerasi dengan indikasi banyaknya anggota DPR yang tersangkut kasus korupsi. Jika revisi  UU KPK jadi dilakukan, maka pe­ran KPK sebagai garda terdepan dalam melakukan pemberantasan korupsi akan semakin melemah. Karena wacana revisi yang pernah ada, memiliki pasal pasal yang melemahkan KPK.
 
Dalam perjalanan  wacana untuk me­lakukan revisi terhadap UU KPK, pertama kali digaungkan oleh Komisi Hukum DPR RI, yakni pada 26 Oktober 2010. Di­mana KPK tengah gencar gencarnya melakukan penyidikan terhadap korupsi yang melibatkan anggota DPR RI.
Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso dari Partai Golkar mengirimkan surat kepada Ketua Komisi III DPR untuk menyusun draf naskah akademik dan Rencana Undang Undang (RUU) KPK. Hasil dari surat yang dikirimkan oleh Wakil Ketua DPR RI itu Rancangan revisi UU KPK menjadi salah satu dari 70 prolegnas prioritas tahun 2011.
 
Kemudian Komisi Hukum DPR menyampaikan 10 poin yang akan direvisi dari UU KPK tersebut, termasul pasal tentang kewenangan KPK merekrut penyidik dan penuntutan. Fokus kerja KPK diatur hanya pada pemberantasan korupsi, wewenang melakukan penyadapan, laporan harta kekayaan penyelenggara pemerintahan, dan kewenangan KPK  melakukan penyitaan, penggeledahan, pe­merbitan SP3, serta prioritas kerja KPK hanya dalam bidang pencegahan yang harus dipertegas.
 
Pada tahun 2012, muncul naskah revisi UU KPK dari Badan Legeslasi DPR. Da­lam RUU KPK yang dibuat oleh Baleg beberapa pasal terjadi perobahan. Kewenangan penuntutan, tidak lagi ditangan KPK, penyadapan juga harus mendapat izin ketua pengadilan, kemudian KPK harus membentuk Dewan Pengawas.
 
Rumusan RUU KPK itupun disetujui oleh 7 Fraksi di DPR, dintaranya Fraksi De­mokrat, Golkar,  PAN, PKB, PPP, Ge­rindra dan Hanura. Sementara Fraksi PDIP menolak revisi tersebut. Sedangkan Fraksi PKS memilih abstain.
 
Dalam rapat pleno, Komisi III menye­tujui Rumusan RUU KPK dibahas oleh Baleg DPR. Kemudian Baleg membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk membahas Rumusan RUU KPK itu. Akan tetapi di­tengah pembahasan Rumusan RUU KPK tersebut, Panja  menghentikan pembahasannya, karena seluruh Fraksi menolak revisi tersebut.
 
Walaupun Panja yang telah dibentuk oleh Baleg DPR tidak dibubarkan,  wacana revisi UU KPK itu tidak terdengar lagi gaungnya. Ditambah lagi Presiden Joko Widodo mem­batalkan rencana pemerintah untuk mem­bahas revisi UU KPK dalam Prolegnas 2015.
 
Kendatipun Pemerintah telah memba­talkan untuk membahas revisi UU KPK itu, akan tetapi seluruh Fraksi di DPR, sepakat me­masukkan revisi UU KPK dalam Prolegnas 2016, dengan munculnya 5 isu krusial dalam naskah revisi  UU KPK, yaitu pembatasan wewenang penyadapan, pembentukan dewan pengawas KPK, penghapusan wewenang penuntutan, pengetatan terhadap rumusan Kolektif Kolegial, dan pengaturan Pelaksana Tugas pimpinan, termasuk usulan yang diluar akal sehat, pembatasan usia KPK hanya 12 tahun.
 
Tarik ulur antara pihak DPR dengan Pemerintah mengenai revisi UU KPK itupun terjadi. Dan akhirnya Pemerintah beserta Pimpinan DPR sepakat, untuk membahas revisi UU KPK, dalam masa siding tahun 2016. Dalam hal ini, hanya Fraksi Gerindra yang menolak  revisi UU KPK itu untuk dibahas.
 
Sesuai kesepakatan antara Pemerintah dengan Pimpinan DPR, maka revisi UU KPK mulai dibahas dalam rapat harmonisasi Baleg DPR pada tahun 2016 itu. Namun sampai saat ini hasil dari pembahasan revisi UU KPK yang telah dibahas dalam rapat harmonisasi Baleg, tidak pernah diketahui hasilnya. Hal itu disebabkan masih terjadinya pro dan kontra dikalangan Fraksi Fraksi terhadap revisi UU KPK tersebut.
 
Belakangan Pemerintah dan Pimpinan DPR, menyepakati  50 RUU masuk dalam pembahasan pada Prolegnas Prioritas tahun 2017. Dari 50 RUU yang akan dibahas itu, tidak termasuk tentang Rencana revisi UU KPK didalamnya.
 
Kini ditengah keseriusan KPK untuk mengungkap siapa saja oknum yang terlibat dalam mega korupsi dana proyek pengadaan E-KTP, rencana revisi UU KPK kembali mencuat kepermukaan.
Hal ini tentu menimbulkan suatu tanda tanya bagi masyarakat Indonesia, apakah kerja DPR termasuk untuk melindungi para pelaku korupsi, terutama dikalangan anggota DPR itu sendiri. Karena bukan baru kali ini saja DPR berupaya untuk melemahkan KPK, tapi telah terjadi berulang kali, disaat KPK membongkar banyaknya kasus korupsi yang terjadi dilembaga legeslatif yang terhormat itu. Semoga !*** (sumber : analisadaily.com)
 
Tanjungbalai, Maret 2017