Dari Forum Diskusi Publik

Revisi UU ITE Langkah Proteksi Insan Pers

Revisi UU ITE Langkah Proteksi Insan Pers

PEKANBARU (HR)-Meski belum ada menyeret insan pers dalam penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008  tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, namun dirasa perlu langkah antisipasi sebelum hal tersebut terjadi. Salah satunya melalui revisi atau mencabut beberapa pasal yang terdapat di dalam UU tersebut.

Demikian terungkap dalam pembahasan dalam kegiatan diskusi yang ditaja Forum Diskusi Publik, dengan tema "Perlunya Revisi UU ITE, serta Membangun Pers yang Sehat", di salah satu kafe di bilangan Jalan Tuanku Tambusai Pekanbaru, Senin (23/2).
"Media online merupakan media yang paling terancam dengan adanya UU ITE tersebut. Dalam perjalanannya, belum ada aturan yang mengatur media online. Kecuali hanya ada surat keputusan dari Dewan Pers yang mengaturnya," ujar Hasan Basril, yang merupakan pengelola media online di Pekanbaru.
Sementara dalam UU ITE, lanjut Hasan, terutama dalam Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2). Itu sangat mengancam kebebasan pers. "Perlu untuk direvisi. Kalau perlu dicabut. Karena pasal itu, sejumlah pengamatpun jadi takut memberikan tanggapan yang kritis, sehingga kontrol sosial media juga terhambat," lanjutnya.
Sementara Sekretaris PWI Riau, Eka PN, dalam pembahasannya menyatakan, kalau wartawan tidak perlu takut dengan adanya UU ITE tersebut. Karena dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya, para wartawan dituntut untuk mematuhi rambu-rambu sebagaimana diatur dalam UU Pers maupun kode etik jurnalistik.
"Lagi pula, UU ITE dibuat untuk mengatur netizen yang dewasa ini kebablasan dalam mengakses dunia maya. Sementara, dalam menjalankan tugasnya, wartawan dilindungi dengan UU Pers," jelas Eka.
Berbeda dengan Hasan Basri, Praktisi Kehumasan, Nurul Huda, menyebut bahwa pasal pidana yang membatasi seseorang dalam mengeluarkan pendapat atau pernyataan di media elektronik termasuk media sosial, tetap harus diatur, karena di dalam setiap kebebasan seseorang, di situ ada juga kebebasan orang lain yang harus dihormati.
"Jadi sangat dibutuhkan kehatian-hatian kita. Jangan sembarangan melakukan revisi apalagi menghapus. Karena itu bisa mengakibatkan kevakuman hukum," tegas Nurul Huda.
Selain ketiga narasumber, kegiatan juga diisi narasumber lainnya, seperti pengamat kebijakan publik dari Universitas Islam Riau (UIR),DR H Ahmad Tarmizi Yusa,MA dan Teddy Boy dari Komisi Informasi Publik (KIP) Riau. Dan dihadiri sejumlah undangan dari kalangan akademisi, praktisi pers, kalangan media, organisasi wartawan, dan lembaga lainnya.***