Hidayat Nur Wahid: Ada Upaya untuk Memisahkan Hubungan Islam dan Negara

Hidayat Nur Wahid: Ada Upaya untuk Memisahkan Hubungan Islam dan Negara
JAKARTA (RIAUMANDIRI.co) - Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menegaskan, Indonesia bukan negara sekuler, sebab negara ini berdasarkan Pancasila yang sila pertamanya menyebut Ketuhanan Yang Maha Esa. 
 
"Dengan alasan itulah, maka di Indonesia ada Kementerian Agama dan banyak regulasi yang mengatur soal kehidupan beragama," kata Hidayat, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (13/1).
 
Relasi antara agama Islam dan negara menurut Hidayat Nur Wahid sudah menjadi catatan sejarah bangsa ini. Ia menyebutkan banyak tokoh pergerakan yang berasal dari sosok dan organisasi Islam. 
 
Dia menyebut Umar Said Cokrominoto merupakan sosok penggiat Sarekat Islam yang mempunyai banyak murid, seperti Soekarno. Dalam organisasi pergerakan, ada organisasi yang bernama Jamiat Kheir. 
 
Organisasi itu disebut lahir lebih dulu daripada Budi Utomo. Jamiat Kheir disebut mempunyai tujuan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat dalam segi pendidikan dan ekonomi.
 
"Hubungan Islam dan negara yang sudah dicatat baik oleh sejarah maka sangat aneh kalau dikatakan hubungan antara Islam dan negara baru saja terjadi. Bahkan kata Hidayat, ada upaya untuk memisahkan hubungan Islam dan negara," katanya.
 
Ditegaskan, Islam tidak bertentangan dengan demokrasi. “Tak benar kalau ummat Islam memaksakan kehendak. Selama bangsa ini berdiri, ummat Islam selalu terlibat dalam berbagai proses kebangsaan, dari lahirnya dasar negara hingga terbentuknya UUD NKRI Tahun 1945.
 
Dikatakan oleh Hidayat Nur Wahid, sejak Indonesia merdeka, sudah banyak pemimpin-pemimpin non-Muslim yang mengisi jabatan-jabatan penting di Indonesia. Ia menyebut dulu ada perdana menteri yang non-Muslim. “Jakarta dulu juga pernah dipimpin gubernur non-Muslim,” paparnya. Di banyak daerah pun juga ada pemimpin yang berasal non-Muslim.
 
Menurut Hidayat Nur Wahid, permasalahan kepemimpinan sebenarnya sudah selesai. Kalau sekarang terjadi penolakan pada seseorang, itu lebih pada karena perilaku orang itu, seperti mempunyai kebijakan yang tidak pro rakyat, suka berkata kasar, dan melanggar kesepakatan dengan masyarakat. "Bila ada pemimpin Muslim yang perangainya kasar dan merugikan masyarakat, sosok seperti itupun juga akan ditolak," ujarnya. 
 
Baca juga di Koran Haluan Riau edisi 14 Januari 2017
 
Reporter: Syafril Amir
Editor: Nandra F Piliang