Menanti Nyanyian Antasari Azhar

Menanti Nyanyian Antasari Azhar

SETELAH tujuh tahun mendekam di penjara, mantan ketua KPK Antasari Azhar menghirup udara baru pada 10 November 2016 yang bertepatan dengan hari pahlawan.

Kebebasan Antasari Azhar disambut oleh keluarga, anak-anak Antasari dan sejumlah sahabat-sahabatnya. Antasari divonis penjara oleh hakim pengadilan selama 18 tahun, karena dinyatakan terbukti bersalah dalam pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, Direktur Utama PT Rajawali Banjaran, pada tahun 2009.

Sampai sekarang ini, Antasari tidak mau mengakui kalau dirinya bukan dalang pembunuhan Nasrudin. Antasari Azhar mengaku kalau dirinya dituduh melakukan pembunuhan dan masuk penjara, karena memang ada kejahatan dalam bentuk konspirasi politik sewaktu dia menjabat ketua KPK. Antasari juga menyampaikan argumentasi bahwa dirinya tidak dendam terhadap orang-orang yang sengaja menjebloskannya ke penjara.


Udara segar yang dirasakan Antasari Azhar digunakan untuk keluarga dan bekerja dalam memenuhi kebutuhan keluarga yang selama ini dilakukan oleh sang istri selama Antasari berada di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas I Dewasa Pria Tangerang.

Namun apakah seorang Antasi Azhar setelah menghirup udara segar memanfaatkan peluang untuk membongkar kasus yang menimpa dirinya demi mengembali­kan nama baik seorang mantan Ketua KPK atau melupakan dan hidup seperti biasanya?

Kasus Kasus terjeratnya Antasari bermula ketika membongkar kasus korupsi pencairan dana Yayasan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (YLPPI) oleh Aulia Tantowi Pohan besan SBY sebesar Rp100 miliar.

Aulia Tantowi Pohan pun divonis bersalah dan menjalani hukuman tiga tahun penjara dengan denda Rp 200 juta pada 15 Maret 2010. Ketika kasus tersebut meroket mantan Ketua KPK dibajak dengan tuduhan kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen.

Secara de facto, dugaan kasus Antasari Azhar merupakan dendam dari pihak penguasa terhadap Antasari yang sudah berani dan lancang menangkap para pejabat, serta menyeret dan menghantam sana-sini tanpa rasa takut demi penegakan hukum. Keseriusannya memberantas korupsi memang dinilai sebagai sosok membahayakan oleh banyak kala­ngan.  Apalagi Antasari tak segan membongkar borok di institusi Kejaksaan.

Antasari juga menyeret jaksa Urip yang terbukti menerima suap dari Artalyta untuk mengamankan Sjamsul dari kasus BLBI II. Pada 7 Desember 2007, Artalyta memberikan uang Rp 100 juta kepada Urip agar Urip membantu Sjamsul dalam kasusnya.

Tidak hanya itu, Urip juga dijanjikan uang $660 ribu jika kasus selesai. Keduanya pun kemudian divonis bersalah pada 2009. Jaksa Urip dijatuhi pidana penjara 20 tahun dan denda Rp500 juta dan Artalyta dipenjara 5 tahun dan denda Rp250 juta.

Tidak selesai mengobok-obok Kejaksaan, Antasari juga melibas para wakil rakyat di DPR yang menerima suap. Ada Hamka Yandhu, politisi Partai Golongan Karya yang menerima suap dan membagikan uang ke rekan-rekannya dalam pemilihan Miranda Gultom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004.

Selain itu ada juga Sarjan Taher politisi partai Demokrat dan Al Amien Nasution politisi partai PPP. Sarjan dan Amien menerima suap Pelepasan Kawasan Hutan Lindung Pantai Air Telang di Sumatera Selatan tahun 2006 dengan vonis 4 tahun penjara tahun 2009 dan Al Amien divonis 8 tahun penjara (tirto.id).

Maka, tak heran apabila saat itu Antasari Azhar dituntut hukuman mati bagi para pemberantas korupsi KPK agar tidak me­nyeret para penguasa di negeri ini. Keputusan JPU yang menuntut hukuman mati terhadap Antasari sebagai salah satu terdakwa kasus pembunuhan Narsuddin, merupakan tuntutan sepihak dan dilematis serta berbau nuansa politis.

Sehingga KPK merupakan lembaga negara yang dapat membahayakan para pelaku korupsi kelas kakap termasuk para penyelenggara negara yang terlibat dugaan korupsi.

Terkadang pengaruh penguasa di balik layar sangat kuat dalam menekan proses keputusan hukum. Akhirnya berujung kepada iming-iming jabatan yang lebih tinggi pun sebagai bargaining politik yang dapat menjadi taruhan ketika hukuman mati bagi Antasari dapat dijalankan.

Apakah dalam sanubari aparat hukum di negeri ini masih mengandalkan hati nurani. Pasalnya, tuntutan hukuman mati bagi Antasari hanya didasari bukti yang samar dan rekayasa elit-elit aktor politik yang haus kekuasaan.

Membongkar atau melupakan Ketika Antasari menghirup udara segar, dirinya enggan membongkar kasus tersebut. Hal ini banyak sisi negatif apabila dirinya membongkar kasus tersebut dibandingkan sisi positifnya.

Selain itu juga, keluarga Antasari pun akan terlibat dalam kasus tersebut ketika seluruh kasus dibongkarnya. Kesimpulan diatas muncul dalam perspektif Antasari ketika dirinya membaca sebuah buku dan berserah diri kepada Allah. Sebab  amarah, kebencian, kekecewaan, dan dendam telah dituangkan di dalam lapas.

Pernyataan Antasari Azhar yang mengata­kan ikhlas, memaafkan, melupakan kasus tersebut mencabik-cabik keluarga korban serta menjadi pertikaian oleh adik korban Nasrudin Zulkarnen yaitu Andi Syamsuddin Iskandar. Sebab ketika Andi mengunjungi Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas I Dewasa Pria Tangerang, Antasari berjanji akan membongkar kasus pembunuhan yang menimpa saudara kandung Andi yaitu Nasrudin Zulkarnaen (liputan6.com).

Keluarga Nasrudin mendorong Antasari Azhar menempati untuk membuka dalang pembunuhan Nasrudin. Ketakutan Antasari dalam membongkar kasus Nasrudin dinilai oleh keluarga Nasrudin.

Sebab Antasari tidak mau menerima konsekuensi, jika keamanan keluarganya terancam apabila membongkar dalang pembunuhan Nasrudin. Menurut Andi adik korban, Antasari bebas diatas penderitaan keluarga korban.

Demikian hal tersebut tidak dilakukan Antasari, kendati begitu keluarga korban menyiapkan cara sendiri membongkar siapa dalang pembunuh Nasrudin sebenarnya de­ngan memiliki bukti dari keterangan Antasari jika Antasari tidak memenuhi janji selama tiga bulan ke depan.

Bukti-bukti tersebut berupa sejumlah rekaman pembicaraan Andi dengan Antasari selama di penjara dan menunggu momentum penting untuk membuka dalang pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen Direktur Utama PT Rajawali Banjaran. ***


Penulis adalah mahasiswa USU