Dugaan Penistaan Agama

Bareskrim Polri Akhirnya Periksa Ahok

Bareskrim Polri Akhirnya Periksa Ahok

JAKARTA (RIAUMANDIRI.co) - Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, menjalani pemeriksaan yang dilakukan Badan Reserse Kriminal Polri, Senin (24/10). Pemeriksaan itu dilakukan terkait dugaan penistaan agama, yang dituduhkan kepadanya. Seperti diketahui, Ahok dilaporkan sejumlah pihak karena diduga melecehkan Alquran surat Al-Maidah ayat 51 di Kepulauan Seribu.

Bareskrim Ahok yang menggunakan baju batik coklat datang pada pukul 10.17 WIB dan langsung  didampingi oleh orang Bareskrim Polri. Sebelumnya Ahok datang ke Istana Negara Republik Indonesia. Ia bertemu dengan Presiden Joko Widodo. "Kasus Pulau Seribu, soal surat Al Maidah," kata Ahok sebelum masuk lift.

Jangan Intervensi Sementara itu, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF-MUI) telah mendatangi Bareskrim Polri untuk menanyakan proses hukum Ahok. Dalam kesempatan itu, GNPF-MUI meminta Presiden Jokowi untuk tidak mengintervensi hukum dan Polri dalam penangan kasus ini.

Ketua GNPF MUI KH Bachtiar Nasir kepada pimpinan Bareskrim juga menginformasikan, pada 4 November mendatang akan ada gerakan bela Islam dalam skala nasional atas penistaan Alquran dan ulama oleh Ahok.

"Hal ini kita akan lakukan jika belum ada kejelasan dari pihak kepolisian untuk menangkap Ahok. Sekaligus kami berharap kepada Bapak Presiden untuk tidak meigintervensi penegak hukum khususnya Polri dalam menangani kasus Gubernur DKI yang telah menistakan Alquran dan Ulama yang mendakwahkan Almaidah 51," ujarnya.

Bachtiar menegaskan bahwa GNPF-MUI  ini di luar struktur organisasi MUI, maka gerakan ini sama sekali tak ada kaitannya dengan Majelis Ulama Indonesia baik di tingkat pusat maupun daerah.

GNPF-MUI juga mengeluarkan catatan hukum agar menjadi perhatian khususnya bagi Bareskrim Polri. Yakni pandangan hukum tentang penistaan Agama oleh Ahok tidak perlu dibuktikan adanya niat atau tidak.

Sebab dalam hukum pidana Pasal 156(a) "menista" dlm buku II bab xvi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak perlu adanya "Animus in Juriandi", yakni "Niat untuk Menghina" oleh Mahkamah Agung RI perbuatan tsb diartikan "Dalam Bentuk Penghinaan" baca Mahkamah Agung RI No.37K/Kr/1957.21.12.1957 juncto no.71K/Kr/1973.14.7.1976.

Hukum pidana itu juga mengajarkan jika ada kejahatan (misdrijven) penegak hukum (baca a.l polisi/jaksa dll) dapat segera lakukan upaya preventif tidak perlu menunggu munculnya akibat dari perbuatan (kerugian) wajib langsung bekerja begitu ancaman terhadap kepentingan hukum yang hendak dilindungi muncul, misal tindakan menghasut, penghujatan terhadap Tuhan.

Bahkan dalam Hukum pidana Belanda tindak pidana penghujatan terhadap Tuhan Jaksa tidak perlu membuktikan bahwa dalam kenyataannya ada perasaan Ketuhanan yg tersinggung (Ps.147 sub 1 Sr). Dalam pasal 156A KUHP adalah delik formil, dimana yang dilarang adalah perbuatannya, bukan akibatnya atau dampaknya. (rol)