Gamawan Seret Ketua KPK Dalam Kasus e-KTP

Gamawan Seret Ketua KPK Dalam Kasus e-KTP

JAKARTA (RIAUMANDIRI.co) - Pelaksana Harian (Plh) Kepala Biro Humas Komisi Pemberantasan Korupsi, Yuyuk Andriati mengatakan, penyidik tak menutup kemungkinan bakal melakukan pemeriksaan terhadap Ketua KPK, Agus Rahardjo, terkait kasus dugaan korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP).

Pemeriksaan Agus ini menyusul sebelumnya mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi menyebut bahwa Agus ketika masih menjabat Ketua Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) turut mendampingi proyek e-KTP.

"Semua orang yang diduga memiliki informasi dapat dimintai keterangannya," kata Yuyuk saat dikonfirmasi soal kemungkinan Agus Rahardjo akan diperiksa untuk kasus e-KTP, di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (21/10).

Gamawan Yuyuk pun tak menampik bahwa pimpinannya tersebut pernah dimintai rekomendasi oleh Gamawan Fauzi untuk mengawal proses pengadaan e-KTP tahun 2011-2012. Namun demikian, saat itu Agus enggan memberikan rekomendasi ke pemerintah untuk proyek tersebut.

"Bukan hanya LKPP tapi KPK juga dimintai membuat rekomendasi mengenai single identity number. Sama KPK juga tidak beri rekomendasi, karena masih kacau, banyak data ganda sehingga kalau memaksakan e-KTP enggak maksimal," jelas Yuyuk.

Menurut Yuyuk, KPK pernah memberikan rekomendasi agar proyek e-KTP yang menelan anggaran hingga Rp6 triliun itu tak dilanjutkan terlebih dulu. Namun demikian, rekomendasi tersebut tidak diindahkan dan justru terus berjalan hingga hari ini. "KPK juga pernah berikan rekomendasi tapi tidak diindahkan. Bahkan kami waktu itu kirim surat ke presiden untuk memberi rekomendasi yang sama. Ternyata proyek e-KTP terus berlangsung," tandasnya.

Sebelumnya, Mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi menyebut nama mantan Kepala LKPP, Agus Rahardjo yang kini menjabat Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) berbasis elektronik atau e-KTP.

Hal itu diungkapkan Gamawan usai diperiksa penyidik KPK sebagai saksi kasus yang telah menjerat mantan Dirjen Dukcapil Kemdagri, Irman, Kamis (20/10) malam.

Gamawan mengaku telah membeberkan kepada penyidik mengenai tahapan dan proses proyek tersebut yang dimulai dari tahun 2009. Saat itu, Gamawan mengaku diundang DPR pada 11 November 2009 atau 19 hari setelah dilantik sebagai Mendagri untuk membicarakan soal proyek e-KTP.

Hal ini lantaran Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 mengamanatkan selambatnya lima tahun setelah disahkan pemerintah harus menyediakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) untuk masyarakat.

Pertemuan dengan DPR ini dilaporkan kepada Presiden RI saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono yang dilanjutkan dengan rapat di Kantor Wakil Presiden, Boediono.

Menindaklanjuti rapat ini diterbitkan Keppres pembentukan tim yang terdiri dari sejumlah menteri, termasuk Menteri Keuangan Sri Mulyani. "Mulai dari situlah, Bu Sri Mulyani dan menteri-menteri lainnya, lalu diangkat dengan Keppres, Ketua Tim Pengarah itu Pak Djoko Suyanto (mantan Menko Polhukam), saya wakil, terus dibentuk panitia teknis dari 15 kementerian untuk mendampingi," kata Gamawan usai diperiksa di Gedung KPK.

Gamawan mengaku, sebelum proyek ini bergulir, pihaknya telah presentasi di hadapan KPK dan meminta lembaga antikorupsi untuk mengawal proyek senilai Rp 6 triliun tersebut. KPK, kata Gamawan merekomendasikan agar proyek ini didampingi LKPP. "Saya lapor ke KPK, saya presentasi di sini, saya minta untuk mengawasi di sini, kemudian KPK meminta supaya ini didampingi oleh LKPP, waktu itu Pak Agus (Agus Rahardjo) kepalanya," tuturnya.

Tak hanya KPK dan LKPP, Gamawan mengaku pihaknya meminta Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk turut mendampingi. Setelah Rancangan Anggaran Dasar (RAD) proyek ini rampung disusun, Gamawan juga mengaku meminta BPKP untuk mengaudit. "Setelah tender kita audit lagi, setiap tahun diperiksa BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) ada diperiksa lagi dengan tujuan tertentu," katanya.


Selama proses itu hingga proyek diteken, Gamawan mengklaim tidak menemukan permasalahan. Bahkan, ketika tender proyek dipersoalkan lantaran adanya dugaan persaingan usaha tidak sehat, Mahkamah Agung (MA) menyatakan, tidak ada persoalan. Untuk itu, Gamawan mengaku tidak mengetahui jika proyek ini terindikasi korupsi hingga diduga merugikan keuangan negara sekitar Rp 2 triliun.

"Saya tahu (ada kerugian negara Rp 2 triliun) itu belakangan ini. Sebab sejak dari awal sampai proses ini selesai, sampai pemeriksaan oleh BPK, audit oleh BPKP, pemeriksaan tujuan tertentu oleh BPK, itu tidak ditemukan satupun kerugian, karena itu bagaimana kita tahu. Kemudian tiba-tiba setelah proyek selesai, beberapa tahun kemudian, kita tahu ada Rp 2 triliun itu," katanya.

Gamawan juga membantah tudingan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M Nazaruddin yang menyebutnya telah mengarahkan agar konsorsium yang terdiri dari Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), PT Quadra Solution, PT Len Industri, PT Sucofindo (Persero), dan PT Sandipala Arthapura sebagai pemenang tender proyek e-KTP.

Gamawan mengaku tidak pernah membicarakan proyek ini dengan pengusaha maupun DPR. Bahkan, Gamawan mengklaim tidak mengenal Nazaruddin. "Saya enggak pernah membicarakan proyek dengan pengusaha. Saya juga enggak pernah membicarakan proyek dengan anggota dewan, silakan dicek. Termasuk dengan saudara Nazaruddin. Saya enggak kenal sama dia kok," katanya.

Diketahui, KPK telah menetapkan mantan Direktur Pengelola Informasi dan Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Dukcapil Kemdagri) Sugiharto sebagai tersangka kasus dugaan korupsi e-KTP sejak April 2014 lalu.

Dalam pengembangan pengusutan kasus ini, KPK menetapkan mantan Dirjen Dukcapil yang juga mantan atasan Sugiharto, Irman sebagai tersangka. Irman diduga bersama-sama dengan Sugiharto telah melakukan tindakan melawan hukum dan menyalahgunakan kewenangan terkait proyek tersebut. Akibatnya keuangan negara ditaksir mengalami kerugian hingga Rp 2 triliun dari nilai proyek Rp 6 triliun.

KPK menyangka Irman dan Sugiharto melanggar Pasal 2 Ayat (1) subsider Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaiamana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP. (h/okz)