Media Sosial dan Jaringan Predator Anak

Media Sosial dan Jaringan Predator Anak

HARI ini media sosial menjadi dunia baru bagi manusia untuk berkomunikasi satu sama lain tanpa ada penghalang jarak dan waktu. Media sosial pun sudah menunjukkan taringnya, sebagai media untuk pengusaha memasarkan produknya.

Tentunya ini sebuah kemajuan pertumbuhan ekonomi. Namun di sisi lain, kita sudah melupakan bahwa ternyata media sosial pula menjadi salah satu penyebab melejitnya prostitusi online. Seperti yang terjadi di Bogor, seorang germo ditangkap karena memiliki puluhan anak-anak yang biasa dia tawarkan lewat media sosial kepada gay.

Media sosial menjadi lahan yang sangat mudah dijangkau oleh pelaku predator anak untuk mencari mangsanya. Hal ini karena banyak pengguna media sosial adalah usia anak-anak dan remaja, yang pada usia mereka sangat mudah untuk dikelabui.


Ada sebuah kasus di mana seorang pelaku predator anak menjerat korbannya dengan modus ingin membuang aura keburukan dari tubuh sang anak. Tentu bagi anak-anak ini hal yang menarik, karena bisa memperindah fisik.

Ada banyak kasus lain misalnya yang berkaitan dengan prostitusi tumbuh subur di media sosial, mereka membentuk sebuah jaringan kuat dan tersembunyi sehingga sulit untuk terdeteksi. Selain cara kerjanya lebih mudah, penggunaan media sosial juga bisa menjamin privasi, karena pelaku bisa saja menipu korban dengan foto dan informasi palsu. Selain itu, komunikasinya juga lebih gampang.

Ada dua indikator yang membuat germo atau predator anak menggunakan media sosial untuk memperluas jaringanya. Pertama, bagi germo, pengguna media sosial tidak jauh dengan jumlah umat manusia di bumi, artinya hampir rata-rata orang sudah menjadi pengguna media sosial, dan tak jarang lebih banyak waktu yang digunakan untuk bermedia sosial dari pada beraktifitas di dunia nyata. Sehingga ini menjadi pasar sekaligus media yang bisa menghubungkan germo dengan pelanggan.

Kedua. Bagi predator anak, mereka bisa menipu dan memanipulasi informasi pribadi di media sosial, sehingga korban dengan mudah bisa terperangkap. Apalagi, tidak bisa diabaikan, kalau pengguna media sosial banyak dari kalangan anak-anak dibawah umur, yang secara psikologi masih labil. Ditambah aktifitas di media sosial tidak bisa bebas dipantau, karena punya peraturan dan kebijakan privasi yang bisa diatur.

Minimnya pengawasan Penulis jadi ingat, saat beberapa waktu lalu punya kesempatan untuk mewawancarai pecandu narkoba, ketika ditanya kenapa bisa sampai terjerumus menggunakan barang haram. Dia menjawab, semua bermula dari meja makan. Artinya dia tidak pernah duduk makan bersama dengan keluarga, karena orang tuanya sibuk masing-masing.

Sering kali, korban predator anak, karena tidak adanya pengawasan dari orang tua, apalagi di zaman digital ini, orang tua dituntut teliti dan cerdas mengawasi anak. Tidak cukup hanya dengan melihat aktifitas sehari-harinya di dunia nyata, perlu juga melihat bagaimana sang anak di dunia maya.

Karena saat ini, media sosial menjadi dunia bebas tanpa batas yang bisa membawa orang pada kejahatan. Baik sebagai korban atau pelaku Kita perlu ingat sebuah ungkapan, “Kejahatan yang terorganisir bisa mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir”.

Jika melihat kasus-kasus predator anak yang kita saksikan lewat media, predator anak ini bisa dikategorikan sebagai jaringan kejahatan yang kuat, masif dan terorgansir. Sebab korban predator, kemungkinan besar cenderung menjadi pelaku predator anak juga, artinya selama masih ada korban, masih akan terbuka lahirnya pelaku.

Disamping itu, kecanggihan media sosial sebagai alat komunikasi yang diibaratkan seperti pisau, digunakan untuk mengupas bawang akan bermanfaat, tetapi jika digunakan untuk membunuh akan merugikan.

Media sosial ketika dihubungkan dengan prostitusi maka akan terbentuk hubungan yang pararel, menjadi sebuah jaringan yang terorganisir. Sehingga tidak banyak kasus-kasus yang bisa terungkap.

Dalam hal pencegahan lahirnya korban-korban predator anak, orang tua harus berperan aktif untuk mengawasi anak-anaknya. Mulailah kenalkan mereka dengan agama, kemudian biarkan mereka bermain sesuai dengan usianya.

Hari ini kita lihat, banyak anak-anak berkeliaran di luar padahal sudah jam malam. Apalagi di kota Medan yang metropolitan, banyak anak-anak jalanan yang sebenarnya rentan menjadi korban predator anak.

Anak-anak seharusnya juga jangan dibiarkan bebas mengakses internet, terlebih dalam menggunakan sosial, sebisa mungkin untuk tetap diawasi, akan lebih baik jika orang tua juga terjalin dalam satu media sosial yang sama, sehingga aktifitas anak di media sosial mudah diawasi, karena berada dalam satu wadah, yaitu dunia maya.

Mungkin ada banyak predator anak yang tidak bisa kita diteksi secara fisik, sehingga bisa nyata kita lihat. Jaringan mereka bisa saja sudah sangat kuat, sehingga untuk mencegah dan melawannya kita juga perlu kekuatan dan kerja sama yang terorganisir, dimulai dari peran orang tua yang wajib mengawasi, masyarakat yang harus saling peduli, lingkungan yang ramah dan bermoral serta terakhir pemerintah yang kuat dan tegas dengan kebijakannya. ***