Kuliah Umum di Persidangan Jessica

Kuliah Umum  di Persidangan Jessica

MENYEDIHKAN sekali rasanya melihat persidangan Jessica belakangan ini. Sampai tulisan ini dibuat, sudah 22 kali persidangan digelar. Puluhan saksi telah dihadirkan. Termasuk saksi ahli dari berbagai disiplin ilmu. Namun bukannya mengerucut, persidangan justru makin kabur dan bias. Salah satunya karena kehadiran beberapa saksi ahli yang tak memberi kontribusi signifikan terhadap jalannya persidangan.

Seringkali mereka asyik sendiri dengan teori-teori keilmuannya masing-masing. Persidangan jadinya seperti kuliah umum. Ditambah lagi dengan beberapa saksi ahli yang tidak menguasai kasus. Termasuk mengaku tak mendapat data yang cukup. Sehingga mereka gagap di dalam persidangan. Alhasil persidangan yang sudah berlangsung nyaris setahun ini, kian mengambang.

Semata-mata hal itu bukan karena kesalahan saksi ahli. Tetapi juga disebabkan rendahnya kualitas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada mereka. Khususnya oleh jaksa penuntut maupun hakim. Pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan sering tidak terkait dengan kasus yang sedang ditangani.  


Selain itu, pertanyaan-pertanyaan mereka seringkali berulang. Meski sudah beberapa kali persidangan dengan saksi ahli yang beragam, materi pertanyaan cenderung kembali ke dasar. Jarang ada pengembangan maupun penajaman atas keterangan dari saksi ahli sebelumnya. Padahal jaksa dan hakim harusnya mengkonfrontir pendapat saksi ahli. Setiap jawaban dan pernyataan adalah fakta persidangan. Tidak bisa keluar dari kasus yang disidangkan.

Kehadiran saksi ahli dalam sebuah persidangan adalah untuk membantu hakim mencari kebenaran. Apakah itu saksi ahli untuk memberatkan maupun meringankan. Karenanya pertanyaan-pertanyaan jaksa, hakim maupun kuasa hukum Jessica, harus sejalan dengan tujuan itu. Bukan sebaliknya, terkesan sengaja memburamkan suasana.

Kesan berbeda justru diperlihatkan kuasa hukum Jessica. Mereka tetap berada di ranah kasus. Setiap pertanyaan selalu dikaitkan dengan kasus. Begitupula dengan jawaban-jawaban saksi ahli, selalu mereka konfrontir untuk mendapatkan fakta-fakta baru di persidangan.

Tidak heran bila tendensi publik mulai bergeser. Yang awalnya terkesan membela Mirna, kini mengarah kepada Jessica. Seperti dituliskan Jan Roi A Sinaga, dalam “Kopi Maut dan Kualitas Penyidik Indonesia” 19 September lalu di harian ini. Terlepas dari keputusan hakim nantinya, kelihaian kuasa hukum Jessica, telah berhasil merubah imej publik.

Dalam konteks inilah saya iba melihat para saksi ahli. Seringkali dalam persidangan, mereka jadi “bulan-bulanan” jaksa maupun kuasa hukum Jessica. Ada yang reaksional ada juga emosional.

Situasi semakin tak nyaman, karena dalam beberapa persidangan jaksa dan kuasa hukum Jessica, perang urat syaraf. Bahkan dalam satu kesempatan, mereka nyaris melewati batas-batas kewajaran. Di dalam setiap persidangan sangat jelas terasa pertaruhan keduanya. Seolah bukan kebenaran yang hendak digali, melainkan pertarungan ego dari profesi masing-masing.

Hal ini mestinya tidak perlu terjadi, bila hakim mampu memimpin persidangan. Hukumnya hakim harus bisa mengarahkan persidangan tetap pada tujuannya. Dalam arti setiap pernyataan mesti relevan dengan kasus yang disidangkan. Dengan kata lain, hakim harus mengawal serta mampu mengambilkan jalannya persidangan. Selain itu, hakim juga wajib menjamin kenetralan dirinya. Bagaimanapun di dalam peradilan mereka adalah pemegang palu.  

Apalagi persidangan Jessica ini telah menjadi milik publik. Persidangan ini disiarkan oleh beberapa televisi swasta secara langsung. Mulai dari awal sampai akhir. Boleh dibilang, persidangan ini merupakan persidangan paling fenomenal. Publik diajak ikut menganalisa.

Fiat Justitia Ruat Coeleum Namun dalam aspek lain, kita patut bangga dengan persidangan Jessica. Banyak pelajaran penting yang bisa didapat publik. Salah satunya bagaimana kebenaran harus digali dan ditegakkan dengan sedaya mampu yang dimiliki.

Kita teringat dengan kisah Piso dalam drama “Piso’s Justice” yang dikarang seorang penyair Romawi. Konon Gnaeus Piso, Gubernur dan anggota Legislatif Romawi, telah keliru menghukum orang.

Dia menghukum serdadu yang yang tak bersalah. Piso marah melihat karena ada serdadu yang kembali dari cuti tapi tak bersama kedua temannya. Anggapan Piso jika prajurit itu tak muncul, serdadu itu pasti telah membunuhnya. Dia pun memerintahkan prajurit itu dihukum mati. Namun begitu hendak di eksekusi, dua serdadu yang dianggap mati itu tiba-tiba muncul.

Komandan prajurit segera menghentikan proses eksekusi itu. Ia lalu menghadap Piso, atasannya. Ia memberitahukan peristiwa itu kepada Piso. Namun Piso tidak bergeming. Keputusan telah ditetapkan. Ia tak mungkin mencabut keputusan yang telah ia tetapkan. Justru sebaliknya ia memerintahkan agar si komandan juga ikut dihukum mati.

Alasan Piso, karena si komandan telah menunda eksekusi. Dalam arti, komandannya itu tidak setia kepada perintah atasannya. Tidak hanya itu, dua prajurit lainnya juga turut dihukum mati. Piso berdalih karena merekalah maka dua orang tak bersalah jadi dihukum mati.

Fiat justitia ruat coeleum, hukum harus ditegakkan, biarpun langit runtuh. Demikian teriak Piso di akhir cerita. Kisah apik di zaman romawi ini telah menjadi dasar penegakan hukum di dunia. Pasca reformasi di Indonesia, adagium ini diteriakkan lagi oleh para penegak hukum kita.

Namun mahalnya mencari kebenaran di negeri ini, memang mesti dibayar mahal pula. Kita teringat dengan kasus Munir. Sampai saat ini kasus itu belum juga tuntas. Tak terbayangkan sudah berapa banyak uang yang dihabiskan keluarga Munir dalam upaya mengungkap kasus ini.

Semangat yang sama juga diperlihatkan dalam persidangan Jessica. Masing-masing yang terkait saling mempertahankan kebenarannya. Untuk itu mereka merelakan waktu, tenaga, pikiran dan uang. Semua itu dikorbankan demi sebuah kebenaran.

Karenanya kita patut memberikan apresiasi kepada pihak keluarga, baik Mirna selaku korban maupun Jessica. Semangat untuk mempertahankan kebenaran yang diyakininya tetap tinggi. Seolah mereka tidak memerdulikan semua yang telah dikorbankan demi berjalannya persidangan ini.

Apa yang disebutkan filosof Bradley teruji di dalam persidangan ini. Bahwa kebenaran mengikuti prinsip koherensi. Di mana tiap-tiap sistem kebenaran adalah bagian kecil dari kebenaran yang holistik. Mereka saling berkaitan untuk terus menerus berproses menuju keseluruhan realitas dari kebenaran itu sendiri. Inilah yang hendak diungkap para penegak hukum kita.

Kita berharap peradilan Jessica jadi pelajaran penting tak hanya bagi penegak hukum juga masyarakat luas. Karenanya kita tak ingin kebenaran yang dituntut dalam persidangan ini bersifat pragmatis. Kebenaran yang sekedar mendasarkan dirinya pada referensi personal. Kebenaran yang terbentur dengan risiko ilmiah sebagaimana kesan yang diperlihatkan sebagian saksi ahli. Bila ini diatasi, maka kematian Mirna apapun penyebabnya, tidak menjadi sia-sia.***