5 Kilang Sagu di Desa Lukun Terancam Tutup

5 Kilang Sagu di Desa Lukun Terancam Tutup

SELATPANJANG (RIAUMANDIRI.co)- Sebanyak 5 unit bangsal atau kilang sagu yang beroperasi di Desa Lukun Kecamatan Tebingtinggi Timur, Kepulauan Meranti, Riau, terancam tutup. Pasalnya, masyarakat Lukun sudah menyatakan sikap menolak keberadaan kilang sagu yang sudah beroperasi sekitar 30 tahun tersebut.


Demikian disampaikan beberapa warga Desa Lukun tidak lagi menginginkan adanya kilang sagu di dekat perairan (sungai, red) Desa Lukun. Pasalnya, semua kilang sagu tersebut sangat tidak ada kontribusi ke daerah terutama di Desa Lukun. Selain itu, kilang sagu juga telah mencemari lingkungan, dimana limbah dari pengolahan sagu dialiri ke sungai.


"Pokoknya kita tidak lagi ingin di sana (sungai, red) ada kilang sagu. Kita telah bicarakan ke kepala desa atas penolakan ini," ungkap beberapa warga Desa Lukun kepada wartawan kemarin.



Sementara itu, Kepala Desa Lukun, Lukman ketika dikonfirmasi membenarkan adanya penolakan oleh warga. Kata Lukman juga, sejak puluhan tahun silam ada 5 kilang sagu yang beroperasi di desa mereka. Yaitu, di Hulu Darmi kilang sagu milik Wat, di Hulu Mamut kilang sagu milik Buk, di Perawas kilang sagu milik Ahok, di Kiau kilang sagu milik Apen dan Akui. "Memang kita menolak adanya kilang sagu di perairan Desa Lukun," kata Lukman singkat.


Ketika ditanya hal apa yang menyebabkan masyarakat di sana menolak adanya kilang sagu, kata Lukman lagi, kilang tersebut tak ada kontribusi terutama untuk Desa Lukun. Selain itu, limbah-limbah dari pengolahan sagu dibuang atau dialiri ke sungai, dan ini sangat berdampak pada hasil tangkapan masyarakat yang bermata pencaharian nelayan.     


"Akibat limbah itu, ikan menjadi berkurang. Apa yang didapatkan nelayan kita lagi kalau kilang itu terus beroperasi di sana," jelas Lukman.
Selain itu, diakui Lukman juga, ada kilang yang terkesan tidak mendukung pembangunan desa. Mereka pernah meminta izin menggunakan lahan untuk pembangunan bodi jalan, namun tidak diizinkan oleh pihak kilang sagu.


Diakui Lukman juga, sekitar bulan Mei 2016 lalu, mereka telah memanggil pihak kilang sagu untuk membahas masalah limbah yang dialiri ke sungai itu. Waktu itu disepakati bahwa pihak desa memberi kesempatan kilang sagu memperbaiki sistem pembuangan limbah dalam waktu 3 bulan setelah kesepakatan dibuat (atau Bulan Agustus 2016, red). Meski ada beberapa kilang coba membuat lobang guna membuang limbah, kata Lukman juga, masih ada pula kilang yang tetap membuang ke sungai.


"Ini sudah masuk bulan keempat. Memang sudah bulat tekad kita untuk meminta kilang sagu tersebut ditutup saja. Karena tidak berkontribusi dan hanya merusak lingkungan," bebernya.


Untuk memuluskan niat ini, diakui Lukman juga, mereka akan berkoordinasi dengan pihak Badan Lingkungan Hidup (BLH) atas pencemaran limbah sagu dari kilang dan berkoordinasi juga ke pihak kepolisian.


Sebagai gambaran, masyarakat Tebingtinggi Timur sangat anti dengan perusahaan atau kilang yang merusak lingkungan. Sebagai bukti nyata, belum lama ini Menteri Lingkungan Hidup mencabut izin PT LUM dengan luas lahan 10.930 hektar. Pencabutan ini merupakan akhir manis perjuangan masyarakat Tebingtinggi Timur yang menolak keras adanya perusahaan HTI yang disnyalir akan merusak gambut di wilayah itu.

Sekarang, pihak Desa Lukun Kecamatan Tebingtinggi Timur pula yang menolak keberadaan kilang sagu yang dinyatakan memang sangat jelas merusak lingkungan dengan membuang limbah ke sungai. (grc/rud)