Konflik PT SSL-Masyarakat Rohul Belum Berakhir
PASIR PENGARAIAN (RIAUMANDIRI..co) - Hingga saat ini, konflik antara PT Sumatera Silva Lestari dengan masyarakat Rokan Hulu, masih terus berlanjut. Sejauh ini, belum tampak tanda-tanda konflik itu akan segera berakhir. Sejauh ini, ada dua komponen masyarakat yang terlibat konflik dengan perusahaan itu. Yaitu Kelompok Tani Sialang Sakti (Koptan SS) Desa Batas, Kecamatan Tambusai dan warga Desa Tangun, Kecamatan Bangun Purba.
Seperti diungkapkan Penasehat Koptan SS, Mintareja didampingi pengurus lainnya yakni Kisman SPd, Jamron SPdi, Yusni Faisal dan Sofian MPd, Sabtu (3/9), pihaknya berencana mengajukan pembatalan kesepakatan dengan perusahaan itu, karena pihak perusahaan dinilai tidak transparan.
Konflik “Kalau dikaji secara mendalam, banyak hal yang telah dilanggar. Seperti pengelolaan lahan seluas 2.200 hektare yang ada saat ini.
Awalnya, lahan itu dipolamitrakan dengan PT Lestari Unggul Makmur (LUM) dan bukan dengan PT SSL. Tanpa ada pemberitahuan, namun sudah dikelola PT SSL," ujarnya. Cuma Rp7.500 Selain itu, kerja sama dengan PT SSL juga dirasakan tak berdampak signifikan terhadap ekonomi kelompok tani. Pasalnya, setiap bulan, anggota koperasi hanya menerima Rp7.500.
“Parahnya lagi, mulai kegiatan tanam, penghitungan produksi hingga penjualan, semua dilakukan pihak perusahaan. Kami tak pernah dilibatkan," tambahnya.
Selan itu, PT SSL juga dinilai telah melanggar kesepakatan tentang penghitungan hasil produksi, yang seharusnya dilakukan per satu daur (1 daur 6 tahun). Sementara saat ini sudah memasuki daur ketiga namun penghitungan belum dilakukan secara transparan dengan melibatkan kelompok tani.
Karena poin-poin kesepakatan tak pernah dipenuhi, pihaknya berencana membatalkan kerja sama dengan PT SSL dan meminta lahan masyarakat dikembalikan.
“Itu juga sesuai dalam salah satu poin yang tercantum dalam MoU yang disepakati antara manajemen perusahaan dengan Koptan SS. Kalau ada pihak yang dirugikan, maka MoU yang telah dibuat akan dibatalkan," tegasnya.
Warga Tewas Tidak hanya itu, PT SSL juga mengalami konflik dengan warga Desa Tangun, Kecamatan bangun Purba. Konflik yang terjadi sekitar tahun 1997 silam hingga saat ini belum selesai. Tuntutan masyarakat sebenarnya tidak berlebihan. Dari 4.830 hekatere lahan yang diklaim masyarakat sebagai tanah ulayat adat, hanya 1.010 hektare yang diminta warga untuk dibebaskan, untuk dijadikan lahan kehidupan masyarakat.
Seperit dituturkan Tokoh masyarakat Bangun Purba, Sudirman Siregar (50), mediasi untuk menyelesaikan konflik masyarakat dengan PT SSL sudah sering dilakukan. Baik oleh pemerintah daerah maupun melalui Forum Pemuka Adat Provinsi Riau di Pekanbaru. Namun hasilnya tetap saja nihil.
Ia mengakui, konflik itu tidak saja menguras tenaga dan pikiran, bahkan hingga korban jiwa. Tragedi berdarah yang terjadi sekitar 28 Mei 2009 lalu, sebanyak tiga orang warga Bangun Purba, tewas. Dua orang ditemukan meninggal di cekdam dan satu orang lainnya meninggal di RSUD Pasir Pengaraian karena mengalami luka berat. Kejadian ini tentu menjadi catatan kelam nagi masyarakat.
Untuk menyelesaikan konflik lahan itu, mediasi pernah dilakukan di Pekanbaru, tepatnya di Kantor Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR) tahun 2009.
Hadir dari pihak PT SSL, AW Pohan, Ferdinan, Agus Gazali, Jupardi dan T Ardi Kurniawan. Dari pihak mediator dihadiri T Rafizal dan Ahmad Zazali, kemudian dari pihak pengamat Zulfikar Ahmad, Ali Husin Nasution, dan lainnya.
“Namun dari kesepakatan itu, banyak yang dilanggar, termasuk perusahaan yang terus membangun di atas lahan seluas 1.010 hektare yang telah disepakati," tambahnya.
Menanggapi hal itu, Humas PT SSL Suherman, mengatakan, perusahaan tidak memiliki lahan tanah dan hanya mengantongi izin operasional langsung dari Menteri kehutanan. Berdasarkan izin tersebut PT SSL melaksanakan kegiatan di Kabupaten Rokan Hulu.
Mengenai MoU Koptan SS, tambahnya, awalnya dilakukan dengan PT LUM. "Peralihan ini sudah kita sampaikan. Kita sudah rapat. Ke DPRD juga kita sudah pernah hearing,” ujarnya.
Terkait tuntutan masyarakat supaya lahan dikembalikan, Suherman mengatakan, pihaknya hanya mengikuti aturan. Sebab, pemilik lahan yang sesungguhnya adalah negara. “Yang punya lahan kan, negara. Jadi, tuntutan lahan dikembalikan, diminta saja kepada pemilik lahan,”tantang Suherman.
Sedangkan terkait tudingan tidak transparan dalam pengelolaan, Suherman mengatakan semua sudah dilakukan sesuai aturan. "Jadi petani hanya terima bersih. Pembagiannya 70-30. 70 persen untuk Perusahaan dan 30 persen untuk masyarakat. Soal hasil Rp7.500 per KK yang diterima petani, sebenarnya untung. Karena biaya operasional ditanggung perusahaan. Dan aturan di Kehutanan itu, pola tanaman kehidupan,”imbuhnya.
Sedangkan terkait konflik dengan Warga Desa Tangun, Herman mengatakan, pertemuan dengan FKPMR itu adalah upaya dan bukan kesepakatan. "Tidak mungkin lahan 1.010 hektare yang diklaim kita diamkan. Kita juga berupaya ke Kementerian. Dan hasilnya PT SSL menyerahkan 200 hektare untuk lahan kehidupan, tapi ditolak,” kata Suherman.
Ditanya sikap perusahaan menyikapi hampir seluruh desa yang berbatasan dengan PT SSL, seperti Desa Tangun, Desa Batas, Desa Mondang Kumango, selalu bermasalah dan terjadi konflik, dengan santainya Suherman, mengatakan. “Yang bermasalah itu cuma oknum yang ditunggangi provokator. Punya perusahaan HTI ini memang rumit Pak,” ujarnya. (gus)