Naikkan Rokok, Pemerintah Harus Hati-hati

Naikkan Rokok, Pemerintah Harus Hati-hati

JAKARTA (riaumandiri.co) - Anggota Komisi XI DPR RI Mokhamad Misbakhun mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati bila berencana menaikan harga rokok hingga Rp50 ribu per bungkus. Ada banyak hal yang harus diperhatikan secara serius, sebelum kebijakan itu diambil.

Salah satunya, adalah hasil penelitian Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Manusia, Universitas Indonesia.
Politisi Partai Golkar itu mencurigai survei itu dilakukan untuk kepentingan asing. Hal itu menyusul adanya informasi yang menyebutkan, survei itu dibiayai Bloomberg sekitar Rp4,5 miliar.

“Karena itu, pemerintah harus hati-hati dalam mengambil kebijakan jangan sampai dengan dasar survei segelintir orang, dan apalagi dibiayai asing,” kata Misbakhun.


Pernyataan itu dilontarkannya dalam dialektika demokrasi bertema ‘Rokok, Pajak dan Nasib Petani Tembakau’, bersama anggota Fraksi Gerindra Heri Gunawan, Pimpinan Pergerakan Perlawanan Petani Tembakau dari LIPI Mohamad Sobary, dan Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Pamudji, di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (25/8).

Menurut Misbakhun, dampak dari kenaikan rokok Rp50 ribu sangat luas karena menyangkut sebanyak 6,2 juta orang. Menyangkut petani, anak istri, keluarga, buruh pabrik, pedagang asongan dan sebagainya.

“Selama ini kontribusi rokok pada negara sangat besar yaitu Rp145 triliun. Jadi, pemerintah harus bijaksana karena rokok itu menyangkut hajat hidup orang banyak,” kata Misbakhun.

Dikatakan, setiap kenaikan cukai tidak selalu identik dengan penerimaan negara, karena selalu lahir banyak pabrik rokok ilegal. “Jadi, kenapa isu ini selalu diopinikan seolah-olah tak ada kepentingan tembakau di Indonesia. Untuk itu dalam RUU Pertembakaun yang dibahas DPR RI adalah untuk menjaga kepentingan petani tembakau,” ujarnya.

Sementara Heri Gunawan menilai, wacana kenaikan rokok menjadi Rp50 ribu itu sebagai gonjang-ganjing politik dan bentuk kepanikan pemerintah dengan langsung merespon hasil survei UI tersebut.

Sementara jumlah rokok ilegal yang beredar mencapai 11 persen “Pabrikan rokok kita dulu mencapai 4600-an, tapi kini tinggal 300-an,” tambah politisi Gerindra itu.

Ia mempertanyakan apakah dengan berkurangnya pabrikan itu lalu jumlah perokok dan rokok menjadi berkurang? Heri khawatir isu ini untuk tes masyarakat di tengah kebuntuan pemerintah dalam menutupi pendapatan pajak dan defisit anggaran. Pajak dari cukai rokok mencapai Rp146 triliun (2015-2016), sementara dari 100 BUMN hanya menperoleh Rp30 triliun.

Oleh sebab itu kata Heri, terlalu sembrono, gegabah kalau pemerintah tiba-tiba merespon survei UI tersebut. di mana dampaknya sangat luas bagi kepentingan rakyat Indonesia.

“Jadi, Gerindra akan menolak kalau pemerintah akan menaikkan harga rokok hanya berdasarkan survei. Masyarakat tidak nyaman terhadap negara ini, karena lebih banyak membeli Samsung daripada produk diri sendiri,” ungkapnya.

Dengan demikian dia meminta pemerintah tidak membuat ‘kegaduhan’ baru di tengah defisit anggaran, dan tax amnesty jauh dari harapan. “Jangan-jangan begitu menghadapi kebuntuan pendapatan, pemerintah langsung menaikkan harga rokok. Sementara bayar utang Rp 210 triliun,” pungkasnya.

Mohamad Sobary menegaskan akan terus melakukan perlawanan terhadap pihak yang merugikan petani tembakau. Tembakau katanya, sama dengan kopera yang diserang AS, tapi AS sendiri memproduksi kopera di negaranya sendiri.

Aturan soal rokok kata Sobary, bertujuan untuk ‘membunuh’ petani tembakau. Survei UI terhadap 1000 orang itu dinilai sengaja untuk pengaruhi kebijakan pemerintah. Seperti Snouck Hurground yang menyentuh Aceh justru untuk membunuh orang Aceh. “Jadi, semua aturan rokok ini untuk kepentingan asing. Maka tak heran kalau akan menaikkan rokok Rp 50 ribu,” pungkasnya. (sam)