Pers yang Terbelah

Pers yang Terbelah

Di tengah ingar-bingar keberagaman Indonesia, pers memiliki peranan penting dalam kehidupan berbangsa. Bahkan, sebagai negara yang sangat menjunjung tinggi nilai demokrasi, pers merupakan unsur terpenting dalam negara. Lebih tegas dari asumsi tersebut, Miriam Budiardjo bahkan menyatakan bahwa negara yang notabene memilih ideologi kenegaraannya demokrasi, dan apabila tidak memiliki kebebasan pers, maka tidak layak disebut sebagai negara demokrasi. Sebab, pers merupakan pilar keempat setelah lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Pers merupakan lembaga utama yang berfungsi sebagai pengontrol pemerintah. Sehingga dalam idealitas ini, peran dan fungsinya lebih identik dalam penyampaian aspirasi di hadapan pemerintah. Dan dari realitas inilah yang melatarbelakangi bahwa pers merupakan mata rantai dalam mengatur roda pemerintahan. Sebab, demokrasi merupakan negara yang segala lininya diatur oleh rakyat. Bahkan, segala kebijakannya harus pro dengan rakyat. Setidaknya, itu merupakan gambaran umum jika dilihat dari sistem demokrasi secara keseluruhan.

Tidak jauh berbeda jika dikontekskan dengan sistem demokrasi yang ada di Indonesia pada saat ini. Maka, sudah barang tentu pers merupakan faktor penting dan bahkan terpenting untuk menentukan arah bangsa. Idealitas ini pun pada hakikatnya menilik sistem demokrasi Indonesia yang telah mengalami distorsi dan disorientasi. Sebab, sistem demokrasi Indonesia yang sangat menjunjung tinggi nilai musyawarah dan mufakat telah luntur tergerus zaman.

Fakta ini, senada dengan pendapat pakar ilmu politik Universitas Indonesia Dr Mohammad Nasih yang menyatakan bahwa Indonesia yang idealnya condong pada demokrasi pancasila—demokrasi yang lebih mengutamakan sistem musyawarah dan mufakat—telah tergerus oleh zaman. Tanpa disadari, kearifan lokal tersebut mulai dianaktirikan. Sebaliknya, kini Indonesia berpaling pada demokrasi ultraliberal. Yakni, demokrasi yang  lebih condong pada sistem mayoritas.

Dari adanya realitas inilah, yang setidaknya manjadikan pers telah luntur akan keindependenannya. Begitupun, karena segala lininya diatur oleh suara kebanyakan. Setidaknya, pers dalam ranah kekinian telah diperkosa oleh banyak kalangan. Sehingga, peran dan fungsinya sebagai lembaga pengontrol kekuasaan justru mulai dianaktirikan. Akibatnya, sekarang ini pers justru diperkosa oleh kepentingan-kepentingan yang ada. Idealitas ini, tentu sangat mengkhawatirkan. Sebab, tidak menutup kemungknan akan menghambat laju kemajuan negara.

Idealitas tersebut dapat dibuktikan dengan banyak perkara. Terbelahnya pers pada Pemilu 2014 kemarin setidaknya merupakan fakta nyata akan pemerkosaan pers pada kepentingan semata. Dan akhirnya, dalam berbagai permasalahan, pers justru hanya menopang berbagai perpecahan. Bahkan, tak jarang pula yang berkutat pada keterpihakan.

Implikasi
Pers merupakan instrumen publik yang tidak boleh dijadikan alat untuk golongan tertentu. Oleh sebab itu, sesuai konsekuensinya, pers tidak boleh memiliki keterpihakan antara pihak satu dengan lainnya. Namun, seperti yang disebutkan tadi, kini pers justru telah termanipulasi oleh problematika yang ada. Dengan kata lain, tugas utama pres yang memiliki misi suci untuk menyebarluaskan kebenaran dewasa ini mulai dianaktirikan. Hingga akhirnya, problematika itu berimplikasi besar pada kepercayaan publik.

Implikasi tersebut tak lain adalah akan ada kesimpangsiuaran berita antara pers satu dengan lainnya. Dan karena adanya kesimpangsiuaran itulah maka tidak dapat menutup kemungkinan akan timbul perpecahan antargolongan. Bahkan, hal ini juga pada akhirnya akan menjadikan disintegrasi antarwarga negara. Selain itu, di tengah kehidupan masyarakat yang memilih demokrasi sebagai ideologi negaranya. Dan terjadi realitas seperti itu, maka  tidak menutup kemungkinan pula akan membuat sistem perpolitikan negeri ini berada pada titik nadir.

Atau bahkan, akan membawa negara tersebut pada titik kehancuran. Tidak terkecuali Indonesia. Oleh karena itu, kejujuran pers dalam negara demokrasi sangat diperlukan. Menilik dari realitas yang ada, maka setidaknya langkah yang harus dilakukan adalah mengembalikan pers pada fitrahnya. Sebab, ini merupakan langkah yang efisien untuk dilakukan. Selain itu, langkah ini juga bertujuan untuk mengembalikan misi suci pers yang utama, yakni menyebarluaskan kebenaran.

Sebab, pemanipulasian berita dan keterpihakan pada golongan tertentu merupakan faktor pertama yang membuat pers tidak dipercayai oleh publik. Maka dari itu, pada refleksi peringatan hari pers kali ini, setidaknya pesan itulah yang harus direalisasikan.

Semoga dengan diperingatinya hari pers nasional pada awal tahun 2015 ini, mampu mengembalikan independensi pers pada hakikat sesungguhnya. Hal ini tak lain karena mengingat independensi pers sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Begitupun, pemerkosaan pers dalam bentuk apa pun juga harus dihentikan. Mengingat hal tersebut sangat berpengaruh pada kemajuan dan kemunduran negara. Wallahu a'lam bi al-sawab. (rol)
 
Ketua Umum Kajian Kelompok Fakultas UIN Walisongo Semarang