Puasa dan Harganas

Puasa dan Harganas


Peringatan Harganas (Hari Keluarga Nasional) 29 Juni pada tahun ini bertepatan dengan bulan puasa. Tentu ada keterhubungan konteks yang secara positif mampu menggairahkan pemaknaan Harganas.
Secara kolektif, ibadah puasa menyisakan jejak-jejak pola sikap dan perilaku yang relatif sama. Pengalaman menahan lapar, haus, dan menahan diri dari perbuatan yang dapat membatalkan atau merusak pahala puasa pun menjadi alur perjalanan spiritual setiap individu.
Kesamaan tersebut secara alamiah membentuk sistem komunikasi emosi di antara individu yang menjalankan puasa. Kabar baiknya, puasa pada Ramadhan dapat meningkatkan kualitas persahabatan, kasih sayang, dan persatuan umat. Melalui aktivitas puasa, individu telah menunjukkan potensi psikologisnya untuk mampu mengontrol hasrat, ambisi, dan keinginan. Skill spiritual seperti itulah yang mampu meningkatkan kedudukan manusia melampaui makhluk lainnya. Sehingga, puasa sesungguhnya bukan hanya prestasi dalam aspek religi semata, tapi juga bukti eksistensi nilai-nilai kemanusiaan yang humanis, bi_jaksana, dan matang.
Sayangnya, banyak pula umat Islam terjebak dalam aktivitas puasa ritual dan belum mampu mengaktualisasikan puasa secara sosial. Secara psikologis, ini menghambat proses kematangan diri. Puasa tidak hanya dimaknai secara linier sebagai aktivitas menahan kebutuhan biologis semata, tapi memiliki goal setting untuk menciptakan kepribadian yang matang dan sehat secara psikologis.
Allport (dalam Paradhita, 2009) mengungkapkan bahwa orang yang sehat secara psikologis mampu memperhatikan keintiman (cinta) terhadap orang tua, anak, partner, dan teman akrab. Hal ini mengindikasikan suatu perasaan perluasan diri yang berkembang dengan baik.
Individu yang sehat secara psikologis pun pada muaranya mampu mengungkapkan partisipasi otentik dengan keluarga dan memperhatikan kesejahteraannya. Dan, untuk mencapai partisipasi autentik itulah, puasa menjadi proses pematangan kepribadian.
Shihab (2009) juga memaparkan bahwa melalui puasa, seseorang telah menghiasi dirinya dengan kecerdasan emosional dan spiritual. Kecerdasan spiritual akan melahirkan iman serta kepekaan yang mendalam sehingga seseorang memiliki kemampuan untuk menemukan makna hidup dan memperhalus budi pekerti. Kualitas kemanusiaan itulah yang diperlukan untuk memperbaiki dan menjaga hubungan kekeluargaan, kekerabatan, dan persatuan bangsa.
Jika ditelisik lebih dalam, maraknya berbagai kasus kekerasan anak di dalam rumah tangga, meningkatnya tingkat perceraian, dan problem sosial lainnya bermula dari ketahanan keluarga yang semakin melemah. Tidak dimungkiri, ada berbagai hal yang menyebabkan keluarga rentan terhadap gangguan stabilitas.
Kondisi ekonomi yang tidak stabil, rendahnya kecerdasan emosional, keringnya nuansa spiritualitas, dan lainnya merupakan ancaman bagi ketahanan keluarga. Padahal, jika keluarga sebagai unit mikro dari sebuah bangsa tidak memiliki ketahanan, dikhawatirkan akan menghasilkan pola pengasuhan yang "menyakitkan", patologis, dan rentan menumbuhkan anak-anak yang cenderung menimbulkan berbagai masalah sosial.
Konflik dalam konteks pernikahan dan keluarga sejatinya membawa dinamika bagi setiap individu. Permasalahan di dalam keluarga pun sewajarnya hadir dan dihadapi dengan sikap terbaik. Justru, melalui permasalahan di dalam keluarga, penyesuaian adaptif akan mampu menguatkan ketabahan, daya juang, dan penyelesaian masalah secara tepat. Sehingga, problem utama lemahnya ketahanan dalam keluarga bukan hanya terletak pada sumber konflik, melainkan terdapat pada lemahnya fondasi ketahanan keluarga yang disebabkan oleh keringnya nuansa cinta, spiritualitas, dan emosi positif.
Bertitik dari entry point itulah, ada semacam kualitas personal yang harus ditingkatkan oleh masing-masing individu sehingga dasar-dasar relasi keluarga dapat kokoh. Setiap individu perlu mengasah kecerdasan emosi dan spiritual sehingga menghasilkan perilaku yang luhur, humanis, dan matang. Ketahanan keluarga akan dapat tercapai manakala figur orang tua memiliki kualitas kecerdasan emosi dan spiritual yang baik dan membangun kecerdasan itu dalam diri anak-anak. Dan, upaya ini dapat ditempuh melalui puasa dalam makna yang sebenarnya, yakni bukan hanya semata puasa ritual, tapi puasa yang dapat meningkatkan modal sosial.
Modal sosial melekat pada jaringan sosial yang dapat dilihat dari rasa percaya, saling memahami, kesamaan nilai, dan saling mendukung. Dalam jangka pendek, peningkatan modal sosial dapat dilihat dari perilaku altruism (semangat membantu dan mementingkan kepentingan orang lain). Idealnya, melalui puasa, modal sosial akan meningkat, sejalan dengan ketahanan keluarga yang semakin menguat.
Ketahanan keluarga merupakan modal untuk mencapai keharmonisan dalam cakupan yang lebih luas. Dengan ketahanan keluarga yang baik, kualitas kebahagiaan dan kebersyukuran dalam diri individu pun akan meningkat.
Pada momen Harganas yang bertepatan dengan bulan puasa ini, terdapat pesan berharga untuk meningkatkan penghayatan puasa bukan hanya sebagai aktivitas menahan keinginan biologis semata. Beberapa taraf di atasnya, puasa semestinya mampu meningkatkan kecerdasan emosi dan spiritual dalam tataran individu, sekaligus meningkatkan modal sosial secara kolektif.
Jika tugas spiritual ini mampu dijalankan segendang sepenarian oleh banyak pihak, tentu ketahanan keluarga dapat meningkat. Muaranya, keharmonisan dan iklim positif di dalam keluarga pun dapat meluas sehingga membawa dampak baik dalam relasi antarindividu, keluarga, dan masyarakat. Wallahu a'lam. (rol)
(Oleh: Nurul Lathiffah) Konsultan Psikologi pada LPPT Persona, Peminat Kajian Psikologi Ibadah.