Berwarna dan Bau

Menteri Siti Nurbaya Ambil Sampel Air Sungai Siak

Menteri Siti Nurbaya  Ambil Sampel  Air Sungai Siak

SIAK (riaumandiri.co)-Kondisi air Sungai Siak yang berwarna dan berbau, mengundang perhatian khusus Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya. Sebab, hal itu merupakan indikasi bahwa air sungai sudah tercemar. Sang Menteri pun mengambil air sungai kebanggaan Riau itu untuk diuji di laboratorium.


Pengambilan sampel air Sungai Siak itu dilakukan Menteri LHK saat meninjau langsung kondisi Sungai Siak didampingi Bupati Siak Syamsuar, Kamis (21/7). Aktivitas itu berlangsung sekitar dua setengah jam.


"Selama di jalan kami berhenti 15 menit mengambil sampel air Sungai Siak. Ini merupakan bentuk pengawasan langsung yang dilakukan Kementerian Lingkugan Hidup," terang Siti Nurbaya, usai peninjauan.

Menteri
Ketika disinggung tentang kuatnya dugaan dari masyarakat, yang menilai air Sungai Siak tercemar akibat limbah pabrik dan perusahaan yang beroperasi di sepanjang aliran daerah aliran sungai (DAS) Siak, Menteri Siti Nurbaya berjanji akan mengambil langkah khusus untuk menangani permasalahan ini.



"Air sungai yang baik itu, tidak berwarna dan bau. Perlu diperhatikan ada standar air yang bisa dilepas oleh suatu perusahan," ujarnya.

Namun Siti Nurbaya mengatakan pihaknya tidak bisa langsung menjastifikasi bahwa pencemaran air Sungai Siak memang akibat limbah perusahaan. Untuk sampai pada tahap kesimpulan, harus ada penelitian konkrit terlebih dahulu. "Jadi sampel air ini nanti akan kita uji lab," terangnya.

Jika hasil uji lab nanti membuktikan bahwa air Sungai Siak memang tercemar akibat limbah perusahaan, maka pihaknya tidak akan segan-segan menjatuhkan sanksi tegas. Mulai sanksi administrasi hingga sanksi tegas lainnya.

Lama Dikeluhkan
Kondisi air Sungai Siak yang keruh dan bau, sudah lama dikeluhkan nelayan dan masyarakat. Khususnya dari para nelayan yang mengaku penghasilan mereka terus menurun. Bahkan tak jarang nelayan di Sungai Siak menemukan banyak ikan yang muncul ke permukaan air dalam kondisi seperti mabuk.

Menurut Fitriadi, warga Kampung Buatan II, Kecamatan Koto Gasib, ia mengaku sangat senang atas tindakan Menteri iti Nurbaya mengambil sampel air Sungai Siak tersebut. Ia dan masyarakat di sepanjang Sungai Siak berharap, tindakan Menteri Siti Nurbaya itu dapat menjawab keluhan masyarakat yang telah begitu sering disuarakan selama ini.

"Dalam satu tahun setidaknya kita temukan dua atau sampai tiga kali ikan timbul ke permukaan, nelayan ada yang berani mengambilnya, ada yang tidak. Karena ikan tersebut timbul seperti pingsan keracunan," sebutnya.

Selain itu, lanjut Fitriadi, masyarakat yang biasanya memanfaatkan air Sungai Siak untuk keperluan sehari-hari, sekarang ini banyak tidak lagi mengunakannya. Sebab, jika digunakan untuk mandi, malah kulit yang akan terasa gatal-gatal.
"Kami mengharapkan keseriusan dari pihak Kementrian untuk menindaklanjuti pencemaran air Sungai Siak ini," tegas Fitriadi.

Limbah Perusahaan
Beberapa waktu lalu, Kasubid Pendendalian dan Pengawasan Pencemaran Lingkungan BLH Siak, Ardayani, pernah mengungkapkan, hampir 100 persen pencemaran air Sungai Siak akibat limbah industri. Hal itu sesuai dengan hasil uji lab dan analisa data perhitungan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Siak dan Provinsi Riau.

Tercatat, sedikitnya ada 67 industri yang beroperasi di sepanjang pinggiran Sungai Siak. Meski tidak satu perusahaan pun yang bisa dituding sebagai penyumbang pencemaran terbanyak, namun semua perusahaan itu berperan membuat Sungai Siak tercemar.

“Beban pencemaran TSS menurut sumber pencemaran 100 persen dari industri tambang, migas dan enegri,” ujarnya Ardayani ketika itu.

Sementara, delapan item lainnya merupakan limbah rumah sakit, hotel, rumah tangga, peternakan, pertanian, USK, kawasan industri dan sampah, sama sekali tidak berdampak kepada tingkat kekeruhan Sungai Siak.

Namun demikian, Ardayani tidak bisa mengatakan perusahaan apa yang paling banyak mempengaruhi kekeruhan air sungai siak. “Kami tidak punya bukti, selain perusahaan, bisa saja kapal yang lewat juga ikut menyumbangkan limbah, membuang limbah saat di perjalanan di sungai,” ujarnya.

Jika ditinjau pada kadar oksigen air sungai, limbah industri juga tercatat penyumbang terbesar, mencapai 85 persen. “Maksud beban pencemaran COD, zat yang mempengaruhi kadar oksigen air Sungai Siak. Jika oksigen rendah, maka mahkluk hidup dalam air tidak bisa bertahan. Pencemaran COD 85 persen dari industri, 11 persen dari rumah tangga dan 4 persen dari peternakan,” terang Ardayani.

Lebih parah, pada beban pencemaran BOD atau yang mempengaruhi perkembangan biologis dalam air, limbah industri memiliki faktor pencemar 69 persen, limbah rumah tangga memiliki dampak 21 persen pengaruh pertanian 5 persen dan peternakan 4 persen.

Dari data tiga beban pencemaran tersebut, tampak jelas pengaruh industri telah merusak kelestarian Sungai Siak. Sayangnya, BLH Siak tidak bisa bertindak, atau melakukan trobosan baru untuk mengurangi faktor pencemaran dari limbah industri tersebut. Keterbatasan dana menjadi alasan yang dianggap logis.

“Bukan kami tidak mau berbuat, dana kita terbatas,” tegas Ardayani.

Idealnya, dalam satu tahun BLH melakukan pengecekan 2 kali pada satu perusahaan. “Ada 67 perusahaan yang mungkin berdampak pada kadar air Sungai Siak. Seharusnya, tiap perusahaan kami periksa 2 kali dalam satu tahun. Saat ini, pemeriksaan terpaksa dilakukan bergilir, karena dana kami terbatas,” kata Ardayani.

Terkait pemanfaatan air Sungai Siak sebagai bahan air bersih yang disalurkan ke tiap rumah, pihak BLH Siak berharap konsumen Perusahaan Air Bersih tidak menggunakan sebagai air minum atau untuk mencuci bahan makanan.

“Saat ini air Sungai Siak level 3, tidak bisa digunakan sebagai air minum. Kami yakin, perusahaan air bersih banyak menggunakan zat untuk menetralisir keruhnya air. Sebaiknya jangan digunakan untuk air minum, dan jangan juga untuk mencuci sayur-sayuran,” ujarnya.

Melihat kondisi saat ini, air Sungai Siak sudah sangat tidak baik bagi kesehatan manusia. Jika langsung digunakan, pasti memiliki dampak, namun tidak langsung dirasakan. “Kalau ada yang memaksakan diri menggunakan air sungai langsung untuk keperluan rumah tangga, pasti berdampak bagi kesehatan, namun tidak langsung, 5 atau 10 tahun kemudian baru tampak jelas,” pungkasnya. (lam)