TNI Dibolehkan Kejar Penyandera WNI

TNI Dibolehkan Kejar Penyandera WNI

JAKARTA (riaumandiri.co)-Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyebutkan, Pemerintah Indonesia dan Filipina telah menyepakati pola pengamanan bersama di wilayah Laut Sulu. Kawasan itu kerap dijadikan lokasi aksi pembajakan sekaligus penyanderaan oleh kelompok bersenjata Abu Sayyaf terhadap Warga Negara Indonesia.


Menurut Menhan, salah satu kesepakatan tersebut adalah, pihak militer Indonesia dapat memasuki wilayah perairan Filipina jika ada WNI yang disandera.


"Kita sudah boleh masuk, asalkan lapor dulu. Kasih tahu apa yang dibawa, berapa orang, kita bisa masuk," ujar Ryamizard, Kamis (14/7) di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta.


TNI
Meski demikian, Pemerintah Indonesia dan Filipina belum menyepakati pola pengamanan di darat. Hal ini penting jika WNI yang disandera terlanjur memasuki wilayah darat Filipina.

Meski demikian, Ryamizard memastikan bahwa Indonesia telah membahas strategi militer di darat. Sambil menunggu kesepakatan pengamanan di wilayah darat diputuskan, Ryamizard mengatakan, TNI akan terus berlatih strategi-strategi pembebasan sandera.

"Yang saya bicarakan itu belum diputuskan ya. Jadi harus dilatih dulu, enggak mungkin kita main masuk-masuk saja, harus dilatih sesuai dengan prosedurnya nanti," ujar Ryamizard.

Dua Opsi
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengungkapkan, pemerintah telah membuat dua opsi untuk menjamin tidak terulangnya kasus penyanderaan kapal sehingga pelayaran ekspor dapat dilakukan dalam kondisi aman.

Pertama adalah dengan menurunkan sea marshall (personel bersenjata) yang akan mengawal kapal selama berlayar. Aturan ini sesuai dengan peraturan kemaritiman internasional yang dikeluarkan International Maritime Organization (IMO).

Sedangkan opsi kedua yaitu mengenai penetapan jalur aman untuk berlayar oleh Pemerintah (sea corridor). Untuk opsi kedua ini masih menunggu perkembangan dari pertemuan yang akan dilakukan oleh Menteri Pertahana  Ryamizard Ryacudu dengan Menhan Malaysia dan Filipina. Menurut Menlu, dalam pertemuan tersebut akan dibahas mengenai patroli bersama oleh ketiga negara di jalur-jalur pelayaran yang sudah ditentukan.

Ditambahkannya, opsi menempatkan personel bersenjata diprioritaskan untuk kapal pengangkut batu bara berukuran kecil atau kapal tunda (tugboat). Sebab, kapal tunda dinilai berpotensi lebih besar mengalami pembajakan ketimbang kapal-kapal pengangkut berukuran besar.

Retno menuturkan, jika dilihat dari proporsi kapal yang digunakan untuk mengekspor batu bara, 15 persennya adalah kapal tunda, sementara 85 persen menggunakan kapal besar yang potensi penyanderaannya lebih kecil.

Sedangkan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan juga menegaskan bahwa pemerintah sedang mempertimbangkan penempatan personel bersenjata untul mengawal kapal tunda pengangkut batubara.

Namun, Luhut belum bisa memastikan apakah personel bersenjata tersebut berasal dari personel TNI atau pihak swasta yang bergerak di bidang jasa pengamanan.

Luhut pun menjelaskan penerapan opsi sea marshall bukan berarti membekali para pelaut Indonesia dengan kemampuan dasar kemiliteran maupun memberikan izin untuk membawa senjata api.

"Kami sedang memertimbangkan, sesuai IMO, untuk kemungkinan kapal tunda yang 15 persen ini dipersenjatai. Ada sea marshall untuk menjaga kapal," ujar Luhut.

Peraturan yang mengatur persenjataan awak kapal sebenarnya sudah diatur di dalam Peraturan Menteri Pertahanan nomor 7 tahun 2010 terkait pengawasan dan pengendalian senjata api.

Di dalamnya disebutkan, kapal laut Indonesia baik milik swasta maupun pemerintah dapat dipersenjatai. Awak kapal yang dipersenjatai dibatasi sampai seperempat jumlah atau sepuluh orang.

Sementara dalam peraturan IMO, keberadaan personel keamanan bersenjata (PKB) sudah mulai dikenal di kapal dagang sejak Perang Dunia II.

Saat itu, Amerika Serikat menempatkan PKB untuk kapal-kapal niaga yang mengarah ke Eropa Utara. Tak hanya itu, kapal niaga bahkan dilengkapi dengan meriam dan pesawat antiserangan udara. (kom, ral, sis)