Memberantas Buta Huruf

Memberantas Buta Huruf

Kalangan DPRD Riau mengaku sangat terkejut dengan fakta yang diungkapkan Dinas Pendidikan Riau, baru-baru ini. Hal itu terkait masih adanya sekitar 50 ribu masyarakat yang masih dalam kondisi buta huruf, alias tidak bisa membaca.

Kondisi ini juga sekaligus menyisakan pertanyaan, seperti apa penggunaan anggaran di sektor pendidikan di Bumi Lancang Kuning, yang terhitung besar. Baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Sebelumnya, Kepala Dinas Pendidikan Riau, Kamsol, Rabu (20/1) memastikan masih ada sekitar 50 ribu jiwa atau 1,8 persen warga Riau yang masih buta huruf. Warga Riau yang masih buta huruf itu kebanyakan merupakan pendatang dari luar.

Mereka masuk ke Riau karena adanya pembukaan kebun baru dan pembukaan lahan baru. Mereka mencari penghidupan dan karena tidak memiliki biaya, mereka maupun anak-anak mereka tidak bersekolah.

Data hasil Sensus Ekonomi Nasional (Susenas) 2014 yang dilakukan Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa penduduk yang buta huruf Kepulauan Meranti yakni 2,45 persen, penduduk berumur 15 tahun ke atas yang buta huruf menurut kabupaten dan kota terbanyak berasal dari Kabupaten Pelalawan yakni 3,02 persen.

Persentase terendah penduduk berumur 15 tahun ke atas yang buta huruf adalah Kota Dumai yang tercatat sebesar 0,16 persen. Untuk Kota Pekanbaru presentase penduduk yang buat huruf mencapai 0,56 persen, Kabupaten Rokanhilir 1,54 persen, Bengkalis 1,41 persen, Kabupaten Rokan Hulu 0,81 persen, Kabupten Kampar 1,19 persen, Kabupaten Siak 1,97 persen, Kabupaten Indragiri Hilir 0,86 persen, Kabupaten Indragiri Hulu 1,54 persen, dan Kuantan Singingi 1,56 persen.

Jika menilik dari amanat UUD bahwa pemerintah wajib mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan sebesar 20 persen, seharusnya kondisi di atas tidak perlu terjadi. Ironinya, Pemerintah Provinsi Riau dan 12 pemerintah kabupaten/kota selalu mengklaim telah menganggarkan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari bobot APBD. Namun nyatanya anggaran yang digadang-gadang tersebut belum mampu berbicara banyak.

Jangankan untuk memajukan dunia pendidikan, untuk menangani hal-hal yang penting saja belum sesuai harapan. Lihat saja misalnya, upaya pemberantasan angka buta huruf. Padahal, jika dibandingkan provinsi lain, Riau memiliki APBD yang tergolong besar.

Wajar sekiranya banyak kalangan mempertanyakan soal konsep penganggaran dunia pendidikan yang selama ini diterapkan.

Jika menilik dari jumlah angka masyarakat yang buta huruf di atas, pasti ada yang salah dalam penerapan konsep penganggaran untuk dunia pendidikan.

Karena itu menjadi tugas pemerintah daerah untuk bahu membahu bersama stakeholder lainnya untuk memberantas buta aksara ini. Data yang terpetakan ini harus direspons dengan penerapan pola dan program yang nyata dan langsung menyentuh pada titik sasaran.

Segala potensi yang ada harus dikerahkan. Sebab, jangan sampai data ini terus menjadi aib bagi daerah yang terkenal di mata luar, sebagai daerah yang kaya; di atas minyak di bawah minyak.***