Menjadi Ibu

Menjadi Ibu

Wanita itu tiang negara. Apabila wanita dalam negara tersebut baik, yakni moralitas, kecerdasan dan spiritualitasnya, maka kokhlah negara tersebut. Sebaliknya, jika wanitanya buruk, maka hancurlah negara tersebut.

Jika disebut kata ibu, pasti kita akan berkata itu adalah manusia yang sangat luar biasa dan itulah manusia yang telah menentukan kita semua, apakah kita menjadi manusia berhasil ataukah sebaliknya? Di zaman sekarang ini ada kecenderungan yang sangat kuat di kalangan wanita, dari lapisan manapun, untuk bekerja. Begitu seorang wanita menyelesaikan pendidikannya, maka yang terbayang dalam benaknya adalah dunia kerja. Bekerja untuk mendapatkan upah gaji, apakah menjadi buruh pabrik, pegawai kantoran, sales girl atau banyaklah yang lainnya. Intinya bekerja di luar rumah.  Ritme kehidupannya pun berubah, pagi berangkat kerja dan sore hari baru pulang ke rumah, dan tidak jarang di kota besar pulang sampai malam.

Mengapa kecenderungan seperti itu terus menguat dalam dekade terakhir ini?  Hal ini tidak terlepas dari persepsi dan kultur masyarakat tentang wanita itu sendiri. Dalam berbagai kelas masyarakat, wanita hanya dipandang sebelah mata. Ia dipersepsikan sebagai konco wingking (teman belakang), bergerak dari dapur hingga kamar tidur. Wanita tidak diperlukan dalam keputusan keluarga, serta peran menentukan lainnya. Ia bukanlah subyek yang menentukan, tetapi obyek yang ditentukan. Ia harus menurut, apa yang telah ditetapkan untuk dirinya, meskipun ia sendiri tidak menyukainya, serta perlakuan ketidakadilan lainnya.

Realita sekarang ini banyak terjadi para istri menjadi obyek kekerasan bagi para suami. Celakanya, kekerasan ini kurang mendapat tanggapan dari masyarakat. Hal ini terjadi, sebagai mana diungkapkan oleh Elli N Hasbianto dalam Suharsono, karena kekerasan jenis ini biasanya terjadi dalam rumah tangga, yang relatif tertutup dibandingkan dengan jenis kekerasan lainnya, hal ini dianggap wajar karena berkembangnya persepsi yang keliru tentang hak-hak suami sebagai pemimpin dan kepala keluarga. Kekerasan pada perempuan yang bersuami berada dalam lembaga yang legal, yakni lembaga perkawinan (Elli N. Hasbianto, 1999).

Menurut  data yang dikemukakan oleh Elli N. Hasbianto, di negara kampium demokrasi sendiri, yakni Amerika Serikat, kekerasan dalam rumah tangga ini merupakan bahaya yang terbesar bagi perempuan, dibandingkan dengan perampokan maupun pencurian. Setiap sembilan menit perempuan menjadi obyek kekerasan fisik dan 25 persen perempuan yang mati terbunuh  adalah karena ulah pasangannya. Disebutkan juga bahwa 1,5 hingga 3 juta anak menyaksikan kekerasan itu. Mungkin  kita masih ingat, bagai mana seorang suami menembak istrinya sehingga bersarang di perut istrinya peluru tersebut, yang dilakukan oleh oknum suami di Dumai.

Fenomena dan kecenderungan kekerasan terhadap perempuan seperti itu, jelas membekaskan suatu ketertekanan yang memprihatinkan. Jika tanpa saluran yang cukup, maka upaya  untuk meningkatkan peran yang biasanya terjadi adalah pendobrakan terhadap tradisi atau budaya yang meremehkan eksistensi wanita tersebut. Wanita bergerak dalam suatu ekstrem kepada ekstrem lainnya.

Lahirnya organisasi-organisasi yang berbau feminisme, kesetaraan gender dan bahkan kebebasan wanita (woman liberations) yang dalam dekade ini merebak di berbagai negara, tampaknya merupakan reaksi atas budaya patriarkhi tersebut. Berbagai kegiatan dan advokasi tentang perempuan, seperti konferensi, seminar, dan bahkan pelatihan juga digunakan untuk mencari jalan keluar terbaik dari budaya patriarkhi tersebut. Hasilnya seperti yang kita lihat sekarang ini, mereka telah berhasil menarik perempuan dari bilik rumahnya menjadi pekerja di pabrik-pabrik, di hotel, di bar dan sebagainya.

Keberhasilan seperti ini tentunya sangat mahal nilai tebusnya. Sangat mungkin dalam budaya patriarkhi, wanita mendapatkan perlakuan buruk dan bahkan kekerasan dari suaminya. Tetapi melemparkan perempuan menjadi pekerja pabrik, hotel dan bar, bukanlah suatu jalan yang seharusnya ditempuh. Karena bekerja di pabrik, perempuan tidak dihargai karena keperempuannya tetapi kemampuan produksinya.

Isu, wacana dan perjuangan feminisme atau sejenisnya, tampaknya terbatas untuk memperoleh hak-hak perempuan sebagai mitra laki-laki.mereka memperebutkan hak-hak bekerja pada semua sektor, sebagaimana laki-laki mendapatkannya. kenyataannya mereka telah berhasil mengubah mimpi-mimpi dan idealitas wanita. Wanita yang hebat adalah wanita yang mandiri, profesional dan bahkan gagah perkasa.

Apakah perkembangan dan perubahan seperti ini, merupakan jalan terbaik bagi wanita? Tampaknya kita perlu merenungi sebuah pernyataan yang disabdakan Nabi Muhammad SAW, “Surga berada di bawah telapak kaki ibu”. Bila kita simak baik-baik pernyataan ini kita patut bertanya, apakah setiap tipologi ibu dapat mensurgakan anaknya?” Apakah tipologi ibu dalam perspektif budaya patriarkhi, yang hanya bergerak dari dapur sampai tempat tidur dapat mensurgakan anak-anaknya, atau sebaliknya ibu-ibu dalam perspektif feminisme dewasa ini, yang mampu mensurgakan anak-anaknya.

Islam sangatlah menghargai harkat wanita, bukanlah bertujuan agar perempuan itu menjadi laki-laki, dengan cara persamaan hak kerja, profesi dan sebagainya, tetapi untuk menjadi ibu.  Islam tidak mengatur masalah kerja profesional bagi perempuan, apalagi jika kerja itu dilakukan di luar rumah, karena memang tidak ada kewajiban perempuan untuk mencari nafkah. Tetapi sebaliknya, Islam mengatur secara rinci bagaimana mestinya perempuan menjadi ibu.

Kesadaran untuk menjadi ibu, tentu berkenaan dengan masalah-masalah reproduksi perempuan sebagaimana yang menjadi wacana feminisme tetapi, persoalannya tidaklah cukup dengan  “melahirkan” lalu menjadi ibu dan selesai. Menjadi ibu melibatkan pengertian dan kesadaran baru yang harus dimiliki bagi setiap perempuan. Di samping resiko beratnya melahirkan, menjadi ibu berarti memiliki kesadaran penuh untuk membekali diri dalam rangka mendidik anak-anaknya.

Tugas untuk menjadi ibu dalam pengertian seperti ini, membutuhkan bobot spiritual dan intelektual yang memadai. Para ibu adalah guru pertama bagi anak-anaknya sendiri.Semoga di Hari Ibu ini, ibu-ibu di negeri tercinta ini bisa menjadi ibu yang sesungguhnya, seorang ibu yang bisa membangun bangsa ini dengan menciptakan anak bangsa yang cerdas amin.***