n Warga Miskin di Riau Naik 8,42 Persen n Dampak Kabut Asap

Omzet Usaha Anjlok 90 Persen

Omzet Usaha Anjlok 90 Persen

PEKANBARU (HR)-Dahsyatnya dampak negatif yang muncul akibat kabut asap, juga sangat dirasakan para pelaku dunia usaha di Riau. Kabut asap yang pekat, membuat banyak aktivitas perekonomian terganggu. Tak tanggung-tanggung, omzet seluruh sektor usaha anjlok hingga 90 persen.

Saat ini, cukup banyak dunia usaha yang akan memberlakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan secara besar-besaran hingga terancam gulung tikar.
Fakta itu mengemuka dalam Focus Disscussion Group (FGD) yang ditaja Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Riau, Kamis (17/9). Diskusi itu dihadiri seluruh pelaku usaha, Dinas Perhubungan Riau, manajemen Bandara Sultan Syarif Kasim (SSK) II dan tamu undangan lainnya.

Omzet
Seperti diungkapkan Koordinator Asperindo Wilayah Sumatera, Yana Mulyana, selama kabut asap terjadi, omzet dari sektor usaha logistik dan pengiriman barang, anjlok hingga 80 persen. Hal ini terjadi karena lumpuhnya rute penerbangan. Buntutnya, para pengusaha yang bergerak di sektor ini, mendapat keluhan dari  para mitra. Tidak hanya untuk pengiriman barang reguler, bahkan barang yang urgen juga ikut terhambat.
"Kondisi ini sudah kita alami sejak sebulan terakhir, di mana kita tetap mempertahankan seluruhnya baik biaya operasional, pembayaran gaji, dan lainnya," ungkapnya.
Yana juga memastikan, bila kabut asap ini terus terjadi dan tidak ada jalan penyelesaiannya, maka akan banyak perusahaan di sektor ini yang bakal kolaps (bangkrut).
"Kita tahu, kondisi asap ini bukan masalah yang baru, tapi sudah berlangsung selam 18 tahun. Seharusnya pemerintah tidak lagi dalam masa belajar mengatasi, tapi bagaimana menyelesaikannya," ujarnya.

Hal senada juga turut dirasakan Beni, dari Asosiasi UMKM Riau. Dikatakan, sejak kabut asap marak, omzet penjualan usaha kecil menengah di Riau juga anjlok hingga 90 persen. Karena asap, minat masyarakat untuk keluar rumah tidak ada, sehingga berdampak pada daya beli masyarakat yang jauh berkurang. Bahkan karena lumpuhnya jalur penerbangan (transportasi) banyak wisatawan yang tidak mau datang ke Riau.

Tidak hanya itu, penurunan omzet yang drastis juga dirasakan pelaku sektor perhotelan dan restoran. Di mana pada dua sektor ini, okupansi berkurang sebesar 33 persen. Begitu pula halnya dengan aktivitas di Bandara serta sektor perhubungan lain.

Dalam rapat itu, disepakati bahwa seluruh dunia usaha mendukung dilakukannya penegakan hukum terhadap perusahaan yang melakukan pelanggaran Karhutla di Riau.

"Pemerintah harus bisa menyelesaikan permasalahan RTRW Riau, yang selama ini dianggap tidak jelas. Karena itu merupakan solusi bagi pemerintah dalam menata ruang, dan jika itu tidak jelas maka tidak tahu siapa pemilik lahan," ungkap Wakil Ketua Kadin Riau, Viator Butar-Butar, saat membacakan kesimpulan.

Selain itu juga, perlu dilakukan revisi terhadap undang-Undang lingkungan yang memberikan kesepakatan kepada anggota masyarakat untuk membuka lahan dengan metode membakar hutan. "Diharapkan ini bisa dikampanyekan kembali kepada seluruh masyarakat," harapnya.

Kemiskinan Meningkat 8,42 Persen

Sebelumnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Riau, angka kemiskinan Riau terhitung Maret 2015 naik sebesar 8,42 persen atau 531,39 ribu. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, yang juga mengalami kenaikan sebanyak 31,50 ribu jiwa.

Diterangkan Kepala BPS Riau, Mawardi Arsyad, kemiskinan yang dimaksud adalah  ketidakmampuan dari sisi ekonomi, untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. "Kondisi ini meningkat dibandingkan Maret tahun lalu, yakni sebesar 499.89 atau 8,12 persen," ujar Mawardi.

Perkembangan jumlah penduduk miskin di Riau cenderung meningkat sejak tahun 2009. Walaupun sempat turun di tahun 2013, namun kembali meroket naik di tahun 2015. Jika dilihat dari perkembangan garis kemiskinan, untuk kawasan kota sebesar 404,802 dan untuk kawasan desa mencapai 395,659.

Angka kemiskinan ini berdasarkan peran komoditas makanan yang berdampak pada garis kemiskinan yang jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditas bukan makanan seperti dari perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Sementara sumbangan dari garis kemiskinan makanan (GKM) terhadap GK mencapai 73,61 persen. "Artinya GKM Riau pada tahun 2015 sebesar Rp293.851 dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) sebesar Rp105.361," tambahnya.

DIkatakan, faktor kemiskinan ini juga diukur dari rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk, karena semakin tingginya nilai indeks. Sehingga berdampak kepada semakin tingginya ketimpangan pengeluaran penduduk miskin.
Berdasarkan urutannya, untuk Sumatera, Riau berada pada posisi kedelapan dengan persentase penduduk miskin setelah Jambi 8,86 persen. Angka tertinggi ada di Bengkulu dengan 17,88 persen. Sedangkan secara nasional, kemiskinan meningkat 11,22 persen.

Terkait hal itu, pengamat Ekonomi Riau, Peri Akri menuturkan, naiknya angka kemiskinan ini ikut dipicu dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, sementara daya beli berkurang karena pemasukan yang juga berkurang.

Hal ini diawali dari kurangnya daya serap daerah terhadap APBD Riau tahun 2015. "Kondisi ini sudah kita rasakan sejak triwulan 1, dimana serapan APBD Riau berada di bawah nasional. Kalau pun terkesan beberapa tahun belakangan ini ekonomi Riau tumbuh dengan baik, itu karena adanya perusahaan berskala besar yang beroperasi di Riau. Kehadiran perusahaan ini ikut mendorong ekonomi Riau," tuturnya.

Menurutnya, agar APBD bisa berperan aktif dalam meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat,  seharusnya Pemprov Riau bisa duduk bersama dengan unsur pimpinan daerah lainnya. Sebab, bagaimana pun APBD masih berperan sebagai sektor penggerak ekonomi di daerah.

Menyikapi hal itu, anggota Komisi E DPRD Riau, Sugeng Pranoto mengungkapkan,  angka kemiskinan bisa saja terus bertambah jika harga komoditas sawit dan karet tidak kunjung membaik.

"Kalau harga sawit dan karet tidak membaik beberapa bulan ke depan, angka kemiskinan bisa bertambah. Kalau harga sawit di atas Rp1.000 per kilo, itu baru aman dan normal. Kalau karet, amannya Rp9 ribu per kilo," terangnya.

Tak hanya itu, Sugeng juga mengatakan, rendahnya realisasi APBD Riau saat ini jelas akan berdampak terhadap perekonomian masyarakat Lancang Kuning. "Kalau realisasi APBD rendah jelas yang dirugikan masyarakat. Kita gesa dan setiap hearing teriak terus, minta SKPD ligat," tandas Sugeng. (nie, rud)