Pilkada Ramah Lingkungan

Pilkada Ramah Lingkungan


Pilkada serentak 9 Desember 2015 sudah dekat, banyaknya calon gubernur/bupati/walikota yang akan maju membawa visi ‘kerakyatan” tak berbanding lurus dengan “jargon kampanyenya”. Karena berbicara tentang persoalan masyarakat, daerah dan pembangunan tak bisa dilepaskan dengan kepedulian terhadap  lingkungan.
Pesta demokrasi daerah yang penuh hikmat jangan hanya sampai berbicara soal “pergantian kekuasaan” saja, karena kekuasan yang tak memberikan kemashalatan untuk orang banyak, termasuk itu lingkungan, bagian dari perebuatan kekuasan yang salah.
Semangat para calon untuk maju menjadi calon Gubernur/Bupati/Walikota, tak berefek ke­pada semangatnya menjaga “pohon-pohon” yang ada ditepi jalan agar tak menjadi bagian dari “pengrusakan lingkungan”, akibat ambisi “kuasa” bisa bertengger di singgasana jabatan, terkadang melupakan hal remahtemeh, padahal hal itulah yang mengambarkan “karakter” sebenarnya para calon tersebut. Berbuat baik terhadap lingkungan saja, misalnya, pohon, para calon kepala daerah belum lagi menjabat sudah berpikir untuk me­rusa, apalagi terpilih nanti menjadi kepala daerah.
Maraknya Baliho
Sebenarnya, apabila kita merujuk kepada Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 2015, persoalan kampanye terbuka dan menampilkan alat peraga sebelum prosedur yang seharusnya adalah pelanggaran terhadap proses Pilkada.  Pasalnya, prosedur calon kepala da­erah untuk melakukan kampanye, menempelkan baliho dan sejenisnya tahap ini, harus mengikuti ketetapan dari Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelengara Pil­kada. lebih jelasnya kita bisa mempedomani PKPU No. 2 Tahun 2015, PKPU No. 5 Tahun 2015, aturan yang membahas soal ini.
Tetapi saya tidak melihat dari sisi itu, meskipun dari segi aturan Pilkada para calon kepala daerah sudah melanggar aturan, saya ingin membaca fenomena ini dari sudut pandang lingungan. Banyaknya pohon-pohon tak berdosa dilubangi oleh paku-paku banner dan baliho calon kepala daerah, menunjukan bahwa “sikap responsif” calon dirasa kurang terhadap lingkungan.
Dengan merujuk Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, langkah para calon kepala daerah, ataupun tim suksesnya memasang  baliho dan banner di pohon-pohon, jelas ini tindakan yang salah yang tak boleh kita tiru, apalagi ini dilakukan oleh orang yang berpendidikan. Sepanjang jalan yang ada di Sumatera barat, baliho, banner dan spanduk dengan berbagai ukuran ditempel oleh calon/tim sukses kepala daerah. Berbagai gaya, foto dan motto mengadirkan “ruang publik:” yang tidak nyaman bagi masyarakat. Meskipun Pilkada sudah semakin dekat, masyarakat juga ingin berantusias ingin mengenal para calon, tetapi jika keindahan “kota”, jalan terhalangi akibat baliho, spanduk dan banner calon kepada daerah, sebagai masyarakat kita harus bepikir akan keseriusan para calon terhadap kenyaman dan keindahan lingkungan Pro­vinsi/Kabupaten/Kota, apabila ia terplih nanti.
Misalanya saja, taman kota adalah seni kota yang harus dibiarkan indah, bersih dan rapi agar pemandangan sepanjang jalan kota terlihat asri. Dengan banyaknya baliho-baliho pemandangan di sepanjang jalan taman kota menjadi terganggu. Pohon-pohon besar adalah pohon pelindung yang harus dijaga agar tidak rusak, tetapi “napsu kekuasan” yang tak berdampak pada kepedulian terhadap lingkungan menyebabkan calon kepala daerah terkesan abai dengan perkara ini.
Karena itu, masyarakat mengetahui pemimpin yang dipilih bukan untuk main-main, tapi untuk memimpin serta menjamin kesejahteraan masyarakat. Maka dari itu, calon kepala daerah harus mampu melakukan komunikasi politik dengan baik, bukan hanya komunikasi visi-misi, tetapi mengkomunikasi terhadap tim suksesnya bagaimana menjaga lingkungan saat kita mengimipikan sebuah daerah masa depan yang sehat lingkungan, serta menimbulkan “partisipasi masyarakat untuk ber”gotoroyong” membangun daerah.
Peran Panwaslu dan Pemda
Banyaknya calon yang mengaku-ngaku sebagai calon Gubernur/Bupati/Walikota yang akan bertarung di Pilkada serentak, 9  Desember 2015. Selain para calon ini belum defenitif sebagai calon kepala daerah, tetapi dengan membuat polusi “ruang publik” dengan baliho, spanduk dan banner yang tak menyehatkan mata adalah bagian dari pelanggaran dari kemerdekaan masyarakat umum untuk menikmati keindahan lingkungan. Pa­salnya, para calon yang ada  masih disubukkan dengan “sengketa” calon yang akan bertarung ataupun mencari dukungan ke sana ke mari, tetapi kejelasan untuk menjadi calon kepala daerah, ibaratnya berjauhan antara “panggangan” dengan “api”.
Seharusnya, Pemda dan Panswaslu setempat tak membiarkan persoalan ini terus merajalela di sekitar masyarakat. Apabila memang hal itu adalah alat peraga kampanye yang menyatakan eksistensi diri untuk menjadi calon kepala daerah, serta merusak lingkungan dengan memberi paku alat peraga kampanyenya di pohon-pohon. Pemerintah daerah hendaknya bersikap tegas untuk melakukan penertiban, terutama Panwaslu sebagai sebagai pegawas jalannya Pilkada ini, agar tak ada pelanggaran administratif, atau hal-hal yang meresahkan masyarakat.
Jadi, Pilkada serentak yang akan kita ramaikan 9 Desember 2015 nanti, bukan hanya pertarungan “kekuasaan”dan “eksistensi diri” hendaknya ada proses pembelajaran, seberapa kuatkah kita memaknai Pilkada dengan ramah lingkungan sehing­ga Pilkada tak hanya berebut kursi, tetapi juga menjaga diri dan hati untuk terus peduli. ***

Peneliti Kebijakan Publik UKM PHP
(Oleh: Rola Ariskan)Universitas Andalas, Padang.