Menyoal Kongres Bahasa Melayu

Menyoal Kongres Bahasa Melayu


Kongres Bahasa Melayu pada 14-15 Juni 2015 lalu di Kota Batam menyisakan persoalan mendasar. Persoalan muncul tak hanya karena rumusan hasil kongres itu mencanangkan bahasa Melayu (BM) selain sebagai bahasa ilmu pengetahuan, juga menjadikan BM sebagai bahasa pergaulan internasional (bahasa ASEAN dan PBB).
Ada dua alasan, pertama, bahasa Indonesia dipandang sebagai nama baru dari BM. Kedua, konsep Melayu dipandang sebagai konsep geokultural yang dihubungkan dengan konsep kebudayaan Melayu Mahawangsa (Melayu Raya), wilayah sebarannya mencakupi negara peserta kongres: Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Thailand, Laos, Vietnam, dan Filipina.
Masalahnya, mengapa bukan bahasa Indonesia yang diusulkan menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan bahasa pergaulan internasional? Bukankah UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dan pasal 44 UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, masing-masing mengamanahkan bangsa ini menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pendidikan dan meningkatkan fungsinya sebagai bahasa internasional?
Indonesia, seperti halnya India, Pakistan, Cina, dan Israel, merupakan negara yang membangun nasionalismenya di atas fondasi bahasa, bukan agama seperti Republik Islam Iran atau fondasi ras/suku bangsa seperti Afrika Selatan. India dan Pakistan membedakan diri bahwa penutur bahasa India dan Pakistan merupakan penutur bahasa yang berbeda.
Padahal, secara sosiolinguistik, jika terjadi komunikasi di antara keduanya menggunakan bahasa masing-masing masih terdapat pemahaman timbal balik. Namun, karena mereka telah berpisah menjadi negara bangsa yang berbeda, bahasa yang sama dibedakan demi identitas yang berbeda. India memberi nama dengan bahasa Hindi, Pakistan bahasa Urdu.
Kasus sebaliknya terjadi pada Republik Rakyat Cina, yang memiliki 56 bahasa. Bila penutur di Provinsi Guandong berbicara dengan penutur di Provinsi Nanjing, Yunan dengan menggunakan bahasa masing-masing, di antara mereka tidak terdapat pemahaman timbal balik karena penutur bahasa yang berbeda.
Namun, demi negara bangsa yang besar, bersatu, dan berdaulat, semua bahasa itu disatukan dalam satu sistem bahasa tulis menggunakan aksara Han. Jadi, baik bahasa di Provinsi Guandong, Nanjing, maupun Yunan dan semua bahasa lain tunduk pada satu sistem bahasa tulis. Hal yang berbeda disamakan demi identitas satu bangsa.
Adapun kasus di Israel, ketika merdeka, hal pertama adalah menetapkan identitasnya agar berbeda dengan negara yang berbahasa Arab, seperti Arab Saudi, Palestina. Hal yang dilakukan adalah menghidupkan bahasa Ibrani yang punah ratusan tahun demi identitas negara bangsanya.
Hal yang relatif sama dengan Israel adalah Indonesia. Bila Israel menghidupkan bahasa yang sudah mati untuk menjadi identitasnya, Indonesia memaksa bahasa yang tidak pernah "mengandung" untuk melahirkan bahasa baru yang diberi nama bahasa Indonesia. Antara BM dan bahasa Indonesia, jika dihitung secara linguistik menggunakan rumus dialektometri (parameter linguistik untuk penetapan isolek sebagai bahasa atau dialek), pada 28 Oktober 1928 tidak terdapat perbedaan.
Namun, dalam perkembangannya, bahasa Indonesia telah tumbuh menjadi bahasa modern dengan jumlah kosakata 90 ribu (dalam KBBI, 2008) dan 350 ribu kata dan istilah untuk 41 bidang ilmu (Glosarium Bidang Ilmu 6 Jilid, 2008) sehingga total kata dan istilah mencapai 440 ribu dengan tata bahasa dan ejaan yang sudah distandarkan.
Bila dibandingkan dengan jumlah kosakata dalam kamus bahasa Indonesia yang dikumpulkan untuk pertama kalinya (1953), berjumlah 23 ribu kosakata. Dengan pengandaian seluruh kosakata dalam kamus itu kosakata BM, pertumbuhan bahasa Indonesia jauh meninggalkan BM. BM adalah asal atau induk bahasa Indonesia merupakan fakta sejarah yang tidak dapat dimungkiri. Namun, dalam sejarah antara induk dan anak merupakan individu berbeda, bukan sama.
Jika dilihat dari ciri fonologis (sistem bunyi) antara BM yang menjadi bahasa kebangsaan di Malaysia, Brunei Darussalam berbeda dengan sistem fonologi BM yang menjadi bahasa Negara Republik Indonesia. Apabila BM yang menjadi bahasa kebangsaan di Malaysia dan Brunei Darussalam berasal dari dialek a-e (mate, ape, dan lainnya), maka BM yang menjadi bahasa Indonesia berasal dari dialek a-a (mata, apa, dan lainnya).
Karena itu, bila ada anak bangsa Indonesia yang berpikir menjadikan BM, bukan bahasa Indonesia, sebagai bahasa internasional, pikiran itu merupakan langkah mundur. Upaya pembalikan arah perputaran jarum jam sejarah pembentukan nasionalisme keindonesiaan.
Konsep Melayu Mahawangsa merupakan konsep yang terkait geokultural yang memandang kebudayaan negara-negara serumpun: dengan Indonesia sebagai satu kesatuan budaya, yaitu budaya Melayu Raya. Dalam konteks negara bangsa, konsep ini mengabaikan wilayah yang termasuk di dalamnya sebagai negara yang berdiri sendiri dengan kekhasan budayanya.
Bagi Indonesia, konsep ini bertentangan dengan kebudayaan nasional yang tak hanya dibangun di atas kebudayaan Melayu semata. Kebudayaan Indonesia merupakan akumulasi beragam budaya lokal, termasuk kebudayaan Melayu itu sendiri. Pendeknya, kebudayaan Indonesia merupakan puncak dari tidak kurang 659 kebudayaan lokal (berdasarkan jumlah bahasa lokal).
Konsep ini pula akan mengaburkan batas serta keunikan budaya negara yang diklaim satu mata rantai budaya Melayu Raya. Konsekuensinya, mengaburkan kepemilikan budaya asli dan khas suatu negara. Konsep ini bisa menjadi bentuk argumentasi pengaburan kepemilikan budaya suatu negara tatkala tetangganya mengakui budaya tertentu negara lain sebagai miliknya karena satu kesatuan, yaitu budaya Melayu Raya.
Ketika Indonesia merdeka, semua bahasa selain bahasa Indonesia dan bahasa asing merupakan bahasa daerah, termasuk bahasa Melayu. Kebudayaan Melayu yang salah satu unsurnya berupa bahasa Melayu, juga dikategorikan kebudayaan daerah yang bersama kebudayaan daerah lain menjadi unsur pembentuk dan pemerkaya kebudayaan Indonesia.
Bagaimana dengan Kongres Bahasa Melayu itu? Kongres Bahasa Melayu mestinya didudukkan setara Kongres Bahasa Jawa, Kongres Bahasa Sunda, Kongres Bahasa di Sulawesi Selatan. Dalam konteks keindonesiaan, Kongres Bahasa Melayu bisa menjadi ajang bertukar pikiran merumuskan langkah strategis bagi pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa Melayu sebagai salah satu bahasa daerah di Indonesia.(rol)
(Oleh: Mahsun) Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud