Bongkar Kasus Korupsi

Wewenang Sadap, Senjata Andalan KPK

Wewenang Sadap, Senjata Andalan KPK
JAKARTA (HR)-Maraknya perdebatan tentang wacana merevisi Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, terus mendapat sorotan dari penggiat antikorupsi di Tanah Air. Salah satunya adalah terkait wewenang lembaga antirasuah itu melakukan penyadapan. Padahal, wewenang untuk melakukan penyadapan adalah senjata lembaga itu dalam membongkar kasus korupsi. 
 
Tidak hanya itu, karena wewenang melakukan aksi penyadapan ini pula yang membuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki kekuatan lebih dibanding lembaga penegak hukum lain seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Sebab, kedua lembaga ini tidak memiliki wewenang sadap tersebut. 
 
Penilaian itu dilontarkan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Aradila Caesar, Minggu (21/6). 
"Bagaimana bisa berjalan dan menangkap pelaku dengan baik kalau penyadapan harus izin. Berarti proses di Kepolisian dan Kejaksaan ini kan yang bermasalah," ujarnya. 
 
Terkait pembahasan revisi UU KPK di parlemen, CW mencatat ada lima hal yang bakal melemahkan KPK. Pertama, soal pencabutan kewenangan penyadapan dengan memasukan prosedur pelaporan ke hakim. ICW menilai, penyadapan justru jadi kekuatan KPK dalam menelusuri dan mengungkap kasus-kasus korupsi.
 
Menurutnya, bukti tentang kekuatan KPK karena memiliki wewenang penyadapan ini, sudah banyak terbukti. Yang terbaru, tentu saja operasi tangkap tangan (OTT) dalam kasus dugaan suap APBD di Kabuapten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. 
Soal kekhawatiran penyalahgunaan penyadapan, pihaknya menilai hal itu bisa diatasi. Sebab, KPK memiliki audit internal yang dapat memilah hasil penyadapan.
 
"Tak mungkin semua hasil penyadapan digunakan dalam kasus. Ini ada prosedurnya," kata tambahnya.
Kedua, penghapusan kewenangan penuntutan KPK. ICW menilai, penyatuan penyidikan dan penuntutan KPK adalah nilai positif untuk mempercepat penanganan kasus korupsi. Hal ini bisa didasarkan pada masalah kejaksaan dan kepolisian yang cenderung bolak-balik pengurusan perkara.
 
Selanjutnya, pembentukan dewan pengawas untuk mengawasi kinerja KPK. ICW menilai pengawasan sudah cukup karena internal dilakukan Bagian Pengawasan dan Penasihat serta Komite Etik KPK. Sedangkan, eksternal yaitu DPR dan Badan Pemeriksa Keuangan.
 
Keempat, memperketat rumusan kolektif kolegial yang mengharuskan seluruh komisioner dalam setiap pengambilan keputusan. ICW menilai, pemaknaan kolektif kolegial sebagai sebuah prinsip kebersamaan dan kesetaraan dalam berbagai proses. "Hal ini akan mempersulit kerja KPK," kata Caesar.
 
Kelima, KPK diberikan kewenangan menghentikan perkara. Tak ada kewenangan tersebut justru menjadi jaminan kinerja KPK dengan prestasi 100 persen conviction rate yang berhasil membuktikan perkara korupsi di persidangan. Kewenangan menghentikan penyidikan dan penuntutan hanya akan menurunkan standar penanganan perkara korupsi yang dilakukan KPK.
 
Efek dari pemandulan tersebut, KPK akan kesulitan mengungkap kasus korupsi yang semakin canggih dan terselubung, berlarut-larutnya penanganan perkara korupsi karena penyidikan dan penuntutan dilakukan lembaga berbeda, penghentian perkara berpotensi besar, dan menurunkan kualitas sebagai institusi penegak hukum modern. 
 
Komentar senada juga dilontarkan Plt Wakil Ketua KPK, Indriyanto Seno Adji. Menurutnya, OTT dalam kasus dugaan suap di Musi Banyuasin, merupakan bukti kuat bahwa penyadapan merupakan gerbang depan pemberantasan korupsi oleh KPK. "OTT Muba adalah jawaban tepat bahwa penyadapan adalah marwah KPK yang primaritas sifatnya," ujarnya. 
 
Seperti diketahui, penyidik KPK mengungkap kasus dugaan suap di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, dalam anksi OTT, Sabtu (20/6) kemarin. Dalam aksi itu, KPK menangkap empat tersangka yakni dua anggota DPRD Muba serta Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Musi Banyuasin dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Musi Banyuasin.
 
Secara universal, kata Indriyanto, semua tindakan OTT selalu dilakukan dalam tahap penyelidikan dan umumnya dilakukan dengan aksi surveillance yang salah satunya adalah penyadapan. Penyadapan, lanjut dia, selalu berbasis pada penyelidikan bukan penyidikan secara pro justitia.
 
Menteri Hukum dan HAM serta DPR telah bersepakat untuk merevisi Undang-Undang KPK. Salah satu yang rencananya akan diutak-atik dari aturan tersebut adalah kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK. Revisi dimaksudkan untuk mengatur prosedur penyadapan dan membuat mekanisme pengawasan.
 
Salah satunya, KPK diharuskan mendapat izin dari pengadilan sebelum melakukan penyadapan. Hal ini diprotes Indriyanto. "Kehendak perlunya izin pengadilan adalah aturan umum, sedangkan KPK berbasis pada regulasi lex specialis," tambahnya., 
 
Pendapat Menteri Hukum bahwa penyadapan hanya bisa dilakukan pada tahap projustitia juga dinilai Indriyanto tidak memiliki nilai dan akan mereduksi kewenangan KPK. Rencana meniadakan Pasal 44 dalam UU KPK, ucap Indriyanto, akan menempatkan KPK pada regulasi umum yang bukan karakteristik KPK dengan dasar-dasar kekhususan. "Bila direduksi demikian, lebih baik bubarkan saja KPK," ujarnya. (bbs, tem, kom, ral, sis)