Seorang Anak Berkebutuhan Khusus Diduga Alami Kekerasan di Pusat Terapi
Riaumandiri.co - Penanganan dugaan penganiayaan terhadap seorang anak penyandang Autism Spectrum Disorder (ASD) di pusat terapi Yamet CDC Pekanbaru terus menjadi sorotan publik.
Hampir empat bulan sejak laporan resmi dibuat ke Polresta Pekanbaru pada 29 Juli 2025, keluarga korban mengaku belum melihat kejelasan perkembangan penyidikan.
Poppy, ibu dari anak tersebut, menuturkan dugaan kekerasan terjadi saat putranya menjalani sesi terapi pada 22 Juli 2025. Ia menyebut kondisi sang anak sebelum masuk ke ruang terapi dalam keadaan baik dan tanpa luka, bahkan sempat direkamnya melalui video di ruang tunggu.
"Jam 12.55 itu saya videokan dia main di ruang tunggu. Mukanya masih belum ada luka. CCTV di ruang tunggu juga ada, dan semuanya sudah diambil polisi hari itu," ujar Poppy, akhir pekan kemarin.
Sesi terapi terbagi dua bagian dengan terapis berbeda. Menurut Poppy, dugaan tindak kekerasan terjadi pada sesi kedua yang dipandu terapis bernama Riska. Ia menduga putranya diseret, dicakar, dan bagian lehernya dipelintir setelah sang anak menjatuhkan kotak kacang hijau mainan terapi.
"Sekitar menit 14.44, anak saya menjatuhkan satu kotak kacang hijau mainan terapi. Mungkin dia marah, lalu terapis itu menyeret anak saya sambil mencakar dan memelintir lehernya. Ada luka di situ. Sudah divisum juga," ungkapnya.
Poppy mengaku awalnya percaya keterangan terapis yang menyebut luka tersebut akibat benturan dengan lemari. Namun, ia mulai curiga ketika terapis membawa anaknya ke area blind spot, bagian ruangan yang tidak terjangkau kamera CCTV.
"Seharusnya kalau anak terluka, orang tua langsung dipanggil. Tapi dia malah bawa ke blind spot. Jadi saya tidak tahu apa yang terjadi di area itu," tambahnya.
Merasa ada kejanggalan, keluarga kemudian meminta rekaman CCTV kepada pihak Yamet CDC. Pihak klinik, melalui penanggung jawab bernama Nia, berjanji menyimpan dan menyerahkan rekaman tersebut. Namun, rekaman yang diberikan kepada Poppy hanya berdurasi sekitar satu menit.
"Padahal CCTV sudah diambil dari hari Sabtu. Tapi mereka masih menutup-nutupi. Mereka bilang tidak ada kejadian apa-apa. Setelah saya zoom rekaman yang memperlihatkan anak saya ditarik, barulah mereka bilang itu teknik fiksasi untuk mencegah perilaku impulsif. Itu jelas upaya menutupi kesalahan," tegas ibu tiga orang anak ini.
Dengan bukti rekaman tersebut, Poppy membuat laporan resmi ke Polresta Pekanbaru dan menjalani visum pada 29 Juli 2025. Meski demikian, hingga kini keluarga merasa proses penyidikan berjalan tanpa kepastian.
"Kami ini korban, tapi kasus ini seperti tidak berjalan," keluhnya.
Poppy juga mengungkapkan bahwa penyidik sempat menyampaikan anaknya tidak dapat dimintai keterangan karena kondisi ASD yang membuatnya belum bisa berbicara meski telah berusia enam tahun.
Kuasa hukum keluarga, Eva Nora, menegaskan bahwa pihaknya hanya menuntut proses yang transparan dan berkeadilan.
"Kita sederhana saja. Ada pengakuan dan permintaan maaf. Kita ini korban, dan kita berharap ada atensi dari Kasat Reskrim dan Kapolresta," ujar Eva Nora
Dikonfirmasi terpisah, Kasat Reskrim Polresta Pekanbaru, Kompol Bery Juana Putra menyampaikan bahwa pihaknya telah memeriksa seluruh saksi dan mengamankan rekaman CCTV. Saat ini, penyidik menunggu hasil pemeriksaan ahli untuk menentukan apakah tindakan terapis sesuai prosedur.
"Saksi-saksi sudah kita lakukan pemeriksaan. CCTV juga sudah kita ambil. Kita mau memeriksa ahli. Kenapa kita periksa ahli? Terkait penanganannya sudah sesuai prosedur atau belum," ungkap Kompol Bery.
Menurutnya, terdapat metode tertentu dalam penanganan anak berkebutuhan khusus yang perlu dikaji berdasarkan standar operasional prosedur (SOP).
"Karena memang ada penanganannya khusus, penanganan biasa, penanganan tidak biasa terhadap anak berkebutuhan khusus. Jadi dari rekaman CCTV itu, kita akan tampilkan ke ahli apakah bentuk penanganan dari terapi ini sudah sesuai prosedur atau belum," jelas dia.
Ia menambahkan bahwa ahli yang dilibatkan berasal dari Jakarta, dan sebelumnya penyidik juga telah memeriksa ahli psikologi.
"(Riska) Sudah, semua sudah kita periksa, terapis juga, pemilik terapis juga sudah periksa. Termasuk terapis-terapis yang lain juga sudah periksa juga," kata mantan Kasat Reskrim Polres Kampar itu.
Kompol Bery menegaskan bahwa proses masih berada pada tahap penyelidikan. "Sejauh ini masih proses penyelidikan karena ahli itu nanti yang menentukan apakah penanganan dia tersebut sudah sesuai prosedur atau tidak," sebut Kasat.
"Karena memang ada penanganan khusus yang dilakukan, ada agak menggunakan tekanan, ada yang tidak menggunakan tekanan. Itu yang mau kita sesuaikan dengan SOP-nya," sambungnya memungkasi.