Ide Pembangunan Pabrik Minyak Goreng di Kampar Dikritisi Pengamata: Terlalu Gegabah

Riaumandiri.co - Wacana pembangunan pabrik minyak goreng sebagai solusi inflasi di Kampar menuai sorotan tajam dari pengamat kebijakan publik, Iben Nuriska.
Iben menilai gagasan tersebut terkesan tergesa-gesa dan terlalu menyederhanakan kompleksitas masalah inflasi, khususnya terkait harga minyak goreng.
Pernyataan Wabup Misharti muncul setelah rilis inflasi Juni 2025 yang mencatat deflasi 0,46 persen di Kampar, dengan harga minyak goreng disebut sebagai salah satu penyumbang inflasi. Namun, Iben mempertanyakan apakah kenaikan harga minyak goreng semata-mata disebabkan ketiadaan pabrik di Kampar.
Menurut Iben, masalah tingginya harga minyak goreng kemungkinan besar dipicu oleh sistem distribusi yang dikuasai segelintir pemain, kebijakan nasional yang tidak memihak konsumen, atau bahkan permainan spekulan di pasar.
"Rasanya terlalu gegabah jika semua itu diabaikan begitu saja, lalu dijawab dengan satu proyek bangunan industri," ujar Iben, Kamis (3/7).
Meskipun Kampar dikenal kaya akan sawit, Iben mengingatkan bahwa pembangunan pabrik bukan hanya soal ketersediaan bahan baku. Ia mengatakan membutuhkan ekosistem yang kokoh, meliputi infrastruktur, tenaga kerja terampil, pasar yang pasti, teknologi efisien, dan regulasi yang berpihak.
"Pernyataan pejabat yang menyamakan limpahan sawit dengan kesiapan industri adalah bentuk penyederhanaan yang bisa menyesatkan. Ini seperti menganggap bahwa karena tanah kita subur, maka kita pasti makmur," jelasnya.
Iben juga menyoroti adanya kontradiksi dalam pernyataan Wakil Bupati Misharti yang menyebutkan daya beli masyarakat Kampar masih tinggi.
"Bukankah ini kontradiktif? Jika daya beli kuat, mengapa inflasi dianggap persoalan mendesak yang harus dijawab dengan pembangunan pabrik?" tanya Iben.
Ia menilai pernyataan semacam ini mengesankan bahwa pemerintah tidak memahami konteks sebenarnya dan berbicara "dari atas meja, bukan dari dalam pasar."
Iben melihat fenomena ini sebagai "penyakit umum yang sering menjangkiti birokrasi," di mana kebijakan dibentuk bukan dari hasil pengamatan mendalam atau kajian akademik, melainkan dari dorongan untuk terlihat aktif dan responsif.
"Alih-alih mengurai persoalan, mereka menyuguhkan solusi simbolik. Sebuah pabrik terdengar hebat di media. Ada narasi pembangunan, ada kebanggaan daerah. Tapi apakah rakyat akan mendapat minyak goreng lebih murah karenanya?" paparnya.
Menurut Iben, inflasi bukanlah masalah yang bisa disulap hilang dengan pembangunan fisik semata. Ia adalah gejala dari ketimpangan sistemik yang rumit dan membutuhkan kesabaran, ketekunan, data teliti, serta keberanian untuk menantang struktur pasar yang tidak adil.
"Bukan sekadar proyek besar yang tampak mengesankan dari kejauhan, tapi rapuh saat diperiksa dari dekat," tambahnya.
Iben Nuriska menegaskan ia tidak menolak kemajuan, namun meminta agar kemajuan itu tidak dibangun di atas kebingungan. Setiap kebijakan, menurutnya, harus lahir dari pikiran yang jernih, pertimbangan yang matang, dan keberpihakan pada rakyat yang sesungguhnya.
"Sebab terlalu sering, niat baik pemerintah berubah menjadi proyek sia-sia karena fondasinya dibangun dari logika yang keliru," tuturnya.