Pasal Karet Sudah tidak Ada dalam UU ITE yang Baru

Pasal Karet Sudah tidak Ada dalam UU ITE yang Baru

 RIAUMANDIRI.CO - Wakil Ketua Komisi III DPR Habiburokhman mengatakan penyempurnaan UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE) sudah senada dan senapas dengan konsep  KUHP baru, yang menganut konsep rehabilitatif dan restorative justice.


“Ini sangat sesuai dengan apa yang diatur di UU ITE, yang saat ini sudah sesuai dengan harapan publik. Pasal 28 tidak lagi menjadi pasar karet dan menjadi UU yang paling banyak menjerat aktivis dan masyarakat dalam menyampaikan kebebasan berpendapat,” kata Habib.

Hal tersebut dikatakan Babib dalam diskusi Forum Legislasi bertema 'Revisi UU ITE Disahkan, Upaya Perkuat Sistem Keamanan Transaksi Elektronik', di di Media Center DPR RI, Jakarta, Selasa (12/12/2023).

Pasal karet yang dimaksud Habib adalah Pasal 27 dan 28 UU ITE lama dan Pasal 14 UU Nomor 1 Tahun 46 tentang penyebaran berita bohong. Dijelaskan, perbaikan hukum yang dilakukan bersama-sama oleh sembilan fraksi DPR sudah maksimal dari segi regulasi.

“Dua UU utama sudah diperbaiki. Ke depan, kita masih perlu mendorong berbagai macam reformasi di bidang regulasi,” imbuhnya.

Ketua Tim Peliputan Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Komunikasi dan Informatika M Taufiq Hidatyat menyebutkan revisi UU ITE yang telah disahkan DPR RI belum lama ini memberikan jaminan kuat kepada konsumen.

"Masyarakat sebagai pengguna sistem elektronik mendapat hak perlindungan hukum yang kuat. Sekarang ada jaminannya, diatur secara tegas dan lebih detail lagi,” kata Taufiq.

Menurutnya, ketentuan dalam UU ITE dilengkapi dengan pengaturan lanjutan. Seperti Pasal 40A yang mengatur perusahaan multinasional yang selama ini memiliki kontrol besar terhadap pengguna. Sehingga ketika ada perubahan layanan, mereka cukup memberitahukan dan masyarakat mau tidak mau harus menerima.

Namun, kata dia, saat ini pemerintah memiliki kewenangan untuk menertibkan atau meminta keterangan. Bila memang dibutuhkan untuk kepentingan konsumen di Indonesia, dapat dilakukan adaptasi atau penyesuaian.

“Dengan adanya perubahan kedua UU ITE, pemerintah memiliki dasar yang kuat untuk bertindak atau meminta penyesuaian. Sehingga sesuai dengan kebutuhan konsumen di Indonesia,” tandasnya.

Tersertifikasi

Sedangkan Ketua Asosiasi Digital Trust Indonesia (ADTI) Marshall Pribadi menjelaskan, transaksi elektronik beresiko tinggi harus melalui tanda tangan elektronik tersertifikasi. Tidak cukup hanya dengan KTP. Apalagi, KTP sangat sering digunakan saat masuk gedung atau check in hotel.

“Di mana tanda tangan tersebut harus diotorisasi dengan aplikasi sertifikat elektronik. Bahkan, aka nada notifikasi saat NIK digunakan. Jaminannya, seluruh penyelenggara system elektronik (PSE) diatur dengan UU ITE, PP Penyelenggara Sistem Transaksi Elektronik hingga Peraturan Menkominfo tentang Penyelenggara Sertifikat Elektronik,” jelasnya.

Dimana seluruh PSE harus memberikan certificate warranty atau nilai jaminan apabila terbukti penerbitan sertifikat elektroniknya menyalahi prosedur. Sehingga, seseorang yang bukan dirinya bisa menyalahgunakan sertifikat elektronik.

“Ketika terjadi kerugian, maka akan dipublikasikan di website tiap PSE. Besaran nilai jaminan per kejadian tergantung masing-masing PSE. Selain ada ganti rugi jaminan juga ada pencabutan izin usaha,” tukasnya.(*)