Komisi X DPR Belum Satu Suara Soal Syarat Kelulusan PT Tak Perlu Skripsi

Komisi X DPR Belum Satu Suara Soal Syarat Kelulusan PT Tak Perlu Skripsi

RIAUMANDIRI.CO - Anggota Komisi X DPR RI Himmatul Aliyah mengatakan Komisi X DPR belum satu suara terkait syarat kelulusan perguruan tinggi tidak perlu menyusun skripsi, seperti yang diatur dalam Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023.

Dalam Permendikbudristek tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi dalam program Merdeka Belajar episode ke-26 tersebut, mahasiswa sarjana dan mahasiswa diploma 4 tidak lagi wajib membuat skripsi untuk tugas akhir sebagai syarat kelulusan. Mahasiswa diberikan sejumlah pilihan tugas akhir sebagai syarat kelulusan.

"Kami di komisi X belum satu suara untuk menyampaikan. Kami sampai saat ini belum rapat tentang hal ini," kata Himma dalam Dialektika Demokrasi bertajuk "Merdeka Belajar! Membedah Permendikbudristek No. 53 tahun 2023", Media Center DPR RI, Selasa (12/9/2023).

Pembicara lainnya adalah Sesditjen Diktiristek Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie, Ph.D., Ketua Program Studi Administrasi Publik Program Doktor Univ. Moestopo Dr. Pandji Sukmana, dan Wakil Rektor Univ. Mercu Buana Rizki Briandana, S.Sos., M.Comm., Ph.D.

Politisi Partai Gerindra itu baru mengetahui perubahan ini dua minggu lalu, ketika ia sedang bertemu dengan rektor-rektor seluruh Indonesia. Sehingga ia pun bersama para rektor mempelajari tentang ini. Ia secara pribadi mendukung ketentuan yang diatur dalam Permebdikbudristek tersebut.

"Tapi dalam hal ini, keluarnya permen ini saya sendiri mendukung karena ini adanya penyederhanaan, yang tadinya akreditasi mungkin terbagi A, B, C gitu, Kalau yang C pasti udah dianggapnya, padahal kan mungkin belum tentu akreditasi C Itu kualitas pendidikannya belum tentu rendah, tapi image di masyarakat kadang kalau C itu "ah sekolah pinggiran, sekolah kecil," terangnya.

Tetapi dengan adanya peraturan baru ini dia mendukung karena  tidak ada lagi diskriminasi terhadap kampus-kampus.
Himma berharap kepada pemerintah, khususnya Kemendikbudristek untuk memastikan implementasi dari Permendikbud 53/2023 episode ke-26 ini. Agar akreditasi ini outputnya meningkatkan mutu perguruan tinggi, bukan diskriminasi perguruan tinggi.

"Kemudian juga harus meningkatkan mutu perguruan tingginya, jadi bukan malah dengan adanya akreditasi yang terstandarnya hanya unggul dan terakreditasi dan tidak terakreditasi, kemudian ada standarnya unggul, terakreditasi internasional. Jadi kalau misalnya, prodinya sudah dapat pengakuan internasional itu juga sudah dianggap terakreditasi," tegas legislator Dapil DKI Jakarta ini.

Selain itu, Himma pun mendorong agar kampus segera melakukan pembenahan dalam segala aspek agar banyak perguruan tinggi di Indonesia mencapai world class university.

Ia juga menyoroti belanja penelitian di Indonesia hanya sebesar 0,09% dari PDB (produk domestik bruto) tahun 2012, yang sangat rendah dibandingkan dengan negara tetangga Singapore dan juga Malaysia. Juga rendahnya kualitas sumber daya manusianya, baik dosen maupun peneliti di Indonesia.

"Kemudian masih adanya sistem penghargaan insentif yang ada membuat akademisi enggan menghasilkan penelitian dan pengajaran yang berkualitas tinggi. Kemudian pengelola perguruan tinggi oleh pemerintah masih bersifat sangat terpusat, top down dan restricted ataupun membatasi," beber Himma.

Didukung Kampus 

Sementara itu, perwakilan dua kampus yang hadir dalam diskusi tersebut yakni Universitas Mercu Buana (UMB) dan Universitas Moestopo Beragama mendukung kebijakan yang diatur dalam Permendikbud 53/2023 episode ke-26, di antaranya fleksibilitas kampus soal tugas akhir mahasiswanya.

Wakil Rektor UMB Rizki Briandana menyampaikan bahwa UMB merasa beruntung dengan adanya Permendikbud 53 Tajun 2023, karena ini merupakan bisa dikatakan sebangai penyempurnaan dari Permendikbud sebelumnya. Apalagi, UMB sejak 5 tahun lalu sudah mengimplementasi lima pilihan tugas akhir, khusus mahasiswa sarjana ilmu komunikasi, meskipun ujungnya harus dibuat laporan bentuk skripsi.

"Pertama adalah tugas akhir skripsi, yang kedua adalah skripsi aplikatif, kebetulan di prodi ini tuh ada mahasiswa yang memang membuat tugas akhir feature dokumenter, ada juga yang membuat program film pendek, ada juga skema skripsi KPN (Kuliah Peduli Negeri) ini seperti pengabdian masyarakat. Jadi mahasiswa datang ke sebuah daerah sebuah tempat dia memberikan penyuluhan penyampaian dan lain sebagainya kepada masyarakat setempat. Kemudian yang keempat ada pilihan untuk tugas akhir prestasi, misal ada mahasiswa mendapatkan juara lomba film di internasional, nah itu bisa direkognisi sebagai pilihan tugas akhir dan yang kelima adalah publikasi jurnal," katanya di kesempatan sama.

Namun, kata Rizki, dengan adanya Permendikbud ini mahasiswa lebih beruntung lagi karena apa yang dilakukan di jurusan komunikasi UMB bisa dijadikan role model di beberapa prodi. Karena kalau merujuk kepada indikator kinerja utama perguruan tinggi, ada sistem pembelajaran project base learning. Misalnya jurusan ilmu komputer, mahasiswa bisa membuat sistem aplikasi yang dilaporkan dalam bentuk skripsi.

Terlebih, Rizki menambahkan, kurikulum merdeka belajar ini memberikan keleluasaan bagi mahasiswa untuk hak merdeka belajar per 3 semester di luar prodinya. Dan kampus lain bisa mendesai kurikulumnya sendiri seperti apa.

"Sehingga di beberapa semester itu mahasiswa bisa keluar, mau dia magang, bersertifikat kemudian mau dia penelitian, mau dia KKN, tematik dan lain sebagainya. Itu sudah enggak pusing melakukan rekognisi konversi 20 SKS-nya, karena itu merupakan hak dari si mahasiswa. Nah ini sangat sejalan sekali dengan apa yang disampaikan oleh Mas Menteri dan lain sebagainya dalam beberapa kesempatan ini, itu mahasiswa beruntung sekali," ungkap Rizki.

Senada, Ketua Prodi Administrasi Publik Program Doktor Universitas Moestopo Beragama Pandji Sukmana menjelaskan kenapa mahasiswa doktoral selalu lama lulusnya bahkan di-DO. Pertama, pengalamannya berkuliah di luar negeri itu, dosen yang aktif mencari mahasiswa, bukan sebaliknya. Kedua, yang memgambil program doktoral bulan ilmuwan, lebih kepada gelar untuk penyesuaian, sementara dari sisi akademis tentu ingin seorang doktor benar-benat memiliki karya ilmiah.

Namun, kata Pandji, saat mendengar ada sedikit keringanan melalui Permendikbudristek ini bahwa tidak lagi diharuskan dan tidak diwajibkan, tidak harus membuat jurnal, karena jurnal itu yang jadi beban buat para calon doktor-doktor lantaran biayanya begitu besar, apalagi harus Jurnal Scopus dan sebagainya yang bisa mencapai Rp80 juta.

"Sebetulnya mungkin yang tadi disampaikan dari Dikti ini, mungkin akhirnya kembalikan kepada otonom atau kebalikan kepada kampus," ujarnya.

Namun, Pandji pun mempertanyakan soal bagaimana jika tanpa jurnal, apakah akan berpengaruh terhadap kampus. Dan kapan akan diimplementasikan aturan tersebut, karena kampus pun butuh kejelasan mengenai terobosan ini.

"Saya ingin jelas dan ini untuk kepentingan kita semuam dan pemerintah sekuat munkin juga mencari terobosan tetapi jangan membuat implementasinya kepada kami kurang jelas, makanya kapan mulainya, berlakunya surut dan apakah ada turunan Permen ini benar setiap kampus atau memang seperti apa juklaknya," tandas Pandji. (*)