Dinilai Gagal Kelola Perusahaan, Mulyanto Desak Pemerintah Copot Dirut IBC

Dinilai Gagal Kelola Perusahaan, Mulyanto Desak Pemerintah Copot Dirut IBC

RIAUMANDIRI.CO - Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS Mulyanto minta Pemerintah mengganti Direktur Utama Indonesia Battery Corporation (IBC) Toto Nugroho karena dianggap gagal mengelola perusahaan sesuai target yang ditetapkan.

Dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR RI dengan Dirut Mind-ID, Dirut Antam dan Dirut IBC, Rabu (12/4/2023), Mulyanto minta pemegang saham korporasi baterai listrik Indonesia yakni Pertamina, PLN, MIND-ID, dan Antam mengganti Dirut IBC karena dinilai tidak cakap membawa kemajuan yang berarti bagi perusahaan setelah bekerja lebih dari tiga tahun. 
Hasilnya lebih banyak kajian yang menelan biaya hampir Rp100 milyar untuk membayar konsultan. Tapi sayang tidak terlihat langkah-langkah konkretnya.

Apalagi belakangan baru diketahui ternyata Dirut IBC ini sebelumnya menjabat sebagai Dirut Petral, perusahaan migas berbasis di Singapura yang membuat heboh dan akhirnya diusulkan untuk dibubarkan oleh Tim Pemberantasan Mafia Migas.

"Secara etika publik, ini kan tidak elok. Masa Dirut perusahaan yang bermasalah serta bikin gempar migas nasional, yang dibubarkan oleh Tim Pemberantasan Mafia Migas malah diangkat lagi sebagai Dirut IBC yang sangat strategis dalam mendukung pengembangan EBET nasional.  Ini mengkhawatirkan masa depan energi hijau kita," kata Mulyanto.

Apalagi kata Mulyanto, yang bersangkutan juga tidak menguasai seluk-beluk bisnis terkait teknologi baterai listrik. "Apa tidak ada putra bangsa ini yang lebih baik?  Mestinya kan ada," lanjutnya.

Selain itu, kata Mulyanto, harusnya IBC ini melibatkan berbagai lembaga riset yang sebelumnya terkonsolidasikan oleh Kemenristek (sekarang BRIN) dalam konsorsium riset baterai listrik. Sayang kalau akumulasi pengetahuan yang ada selama ini dalam lembaga-lembaga riset pemerintah menguap begitu saja.

Terkait kinerja IBC ini, Mulyanto juga mempertanyakan terkait kasus kerjasama dengan perusahaan Korea, yakni LG Energy Solution (LG) yang terancam bubar. Padahal teknologi baterai listriknya dimiliki perusahaan tersebut. 

"Kenapa bisa terjadi? Jangan sampai investasi senilai hampir Rp.122 Triliun ini gagal terwujud dan berdampak buruk bagi pengembangan ekosistem baterei kendaraan listrik di Indonesia. 

Ini kan mirip dengan kasus mundurnya perusahaan petrokimia asal Amerika Serikat, Air Products and Chemicals Inc. dalam konsorsium gasifikasi batubara untuk DME, yang justru memegang teknologi kunci DME," tegas Mulyanto. (*)



Tags Energi