Sistem Pemilu Proporsional Terbuka, PAN: Putusan MK Itu Final dan Mengikat Kok Diubah Lagi

Sistem Pemilu Proporsional Terbuka, PAN: Putusan MK Itu Final dan Mengikat Kok Diubah Lagi

RIAUMANDIRI.CO - Anggota DPR RI Fraksi Partai PAN Saleh Partaonan Daulay mengingatkan Mahkamah Konstitusi (MK) berhati-hati dalam memutuskan perkara penggunaan sistem Pemilu 2024.

Sebab, kata Saleh Daulay, sistem pemilu proporsional terbuka sudah diterapkan di Indonesia sejak Pemilu 2009 sampai Pemilu 2019.

"Perlu diingat, sistem proporsional terbuka yang diterapkan sejak Pemilu 2009 itu merupakan putusan MK pada tanggal 23 Desember 2008. MK menyatakan bahwa sistem pemilu yang digunakan adalah sistem suara terbanyak," kata Saleh Daulay, Jumat (30/12/2022).

Menurut Saleh, sejauh ini tidak ada kendala apa pun dalam penggunaan sistem proporsional terbuka. Rakyat menerimanya dengan baik. Partisipasi politik anggota masyarakat juga tinggi. Sebab, dengan sistem itu, siapa pun berpeluang untuk menang. Tidak hanya yang menempati nomor urut teratas.

"Apalagi, putusan MK itu kan sifatnya final dan mengikat. Kalau sudah final, sudah mengikat, sudah dipraktikkan, kok masih mau diubah? Kelihatannya ada yang memiliki agenda besar di dalam pengujian pasal sistem pemilu ini,” tegas Saleh.

Karena itu dia mengingatkan MK berhati-hati dalam memutuskan perkara penggunaan sistem Pemilu 2024. MK dimintanya berdiri secara tegak dan adil. Jangan sampai ada dugaan bahwa MK cenderung tidak berlaku adil karena lebih memilih salah satu sistem daripada yang lainnya.

Sebenarnya menurut Saleh, dalam konteks pengujian UU Pemilu di MK sendiri, ada beberapa isu strategis yang tidak dikabulkan oleh MK. Salah satunya pengujian pasal terkait presidential threshold. Banyak lembaga dan elemen masyarakat yang mengajukan judicial review untuk menghapus presidential threshold tersebut, tapi MK tidak pernah mengabulkannya.

“Ada apa ini? Yang nyata berpihak pada rakyat seperti ini tidak dikabulkan? Yang sesuai dan sejalan dengan keinginan rakyat malah mau diganti? Ini yang menjadi desas-desus di tengah masyarakat yang perlu diperhatikan oleh para hakim MK. Kalau memakai pendekatan rasionalitas dan hati nurani, sepertinya suara dan keinginan rakyat haruslah didahulukan oleh MK,” tutupnya. (*)