MK Tolak Gugatan DPD RI Soal Presidential Threshold, LaNyalla: Ini Kemenangan Sementara Oligarki

MK Tolak Gugatan DPD RI Soal Presidential Threshold, LaNyalla: Ini Kemenangan Sementara Oligarki

RIAUMANDIRI.CO - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan DPD RI terkait Pasal 222 Undang-Undang Pemilu tentang ambang batas pencalonan atau presidential threshold (PT), Kamis (7/7/2022). MK menilai DPD RI tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara tersebut.

Dalam perkara yang sama, MK menerima kedudukan hukum Partai Bulan Bintang (PBB), namun dalam amar putusannya, MK menolak permohonan PBB untuk seluruhnya. Karena MK tetap pada pendapatnya, bahwa Pasal 222 UU Pemilu Konstitusional dan mengenai angka ambang batas yang ditetapkan, merupakan open legal policy policy (kewenangan pembuat undang-ndang). 

Menanggapi putusan MK tersebut, Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menyatakan bahwa putusan MK itu merupakan kemenangan sementara oligarki politik dan oligarki ekonomi yang menyandera dan mengatur negara ini. 


“Mengapa saya katakan kemenangan sementara? Karena saya akan memimpin gerakan mengembalikan kedaulatan negara ini ke tangan rakyat sebagai pemilik sah negara ini. Tidak boleh kita biarkan negara ini dikuasai oleh oligarki,” tegas LaNyalla dalam keterang tertulisnya dari Makkah, Arab Saudi, Kamis (7/7/2022). 

Ditegaskan LaNyalla, kedaulatan rakyat sudah final dalam sistem yang dibentuk oleh para pendiri bangsa. Tinggal disempurnakan. Tetapi dibongkar total dan diporak-porandakan dengan amendemen yang ugal-ugalan pada tahun 1999-2002 silam. 

“Dan kita menjadi bangsa yang durhaka kepada para pendiri bangsa. Akibatnya tujuan negara ini bukan lagi memajukan kesejahteraan umum, tetapi memajukan kesejahteraan segelintir orang yang menjadi oligarki ekonomi dan oligarki politik,” tegasnya. 

Terkait pertimbangan hukum majelis hakim MK, LaNyalla mengaku heran ketika mejelis hakim MK yang menyatakan bahwa Pasal 222 UU Pemilu disebut konstitusional. Padahal nyata-nyata tidak ada ambang batas pencalonan di Pasal 6A Konstitusi. 

“Dan yang paling inti adalah majelis Hakim MK tidak melihat dan menyerap perkembangan kebutuhan masyarakat. Padahal hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Hukum bukan skema final. Perkembangan kebutuhan masyarakat harus jadi faktor pengubah hukum. Itu inti dari keadilan,” tandas LaNyalla. (*)