24 Tahun Reformasi, Fahri Hamzah: Kita Lebih Tertarik Sama Orang daripada Gagasan

24 Tahun Reformasi, Fahri Hamzah: Kita Lebih Tertarik Sama Orang daripada Gagasan

RIAUMANDIRI.CO - Wakil Ketua DPR periode 2004-2019 Fahri Hamzah mengaku tidak terlalu memusingkan rasa penyesalan secara personal terhadap agenda reformasi yang belum selesai.

"Kita nggak boleh mengambil itu terlalu personal, tapi hanya sebagai sebuah kritik. Kita memang tidak memiliki sebuah desain tentang reformasi, tapi tahu-tahu mendadak kita masuk dalam revolusi perubahan itu," kata Fahri Hamzah dalam diskusi Gelora Talk bertajuk '24 Tahun Reformasi, Sudah Sampai di Mana dan Mau Kemana Indonesia? yang digelar secara daring, Rabu (25/5/2022) sore.

Reformasi ketika itu, kata Fahri Hamzah, hanya dibaca sebagai ekspresi rasa kebosanan dari rezim Soeharto yang telah berkuasa selama lebih dari 30 tahun, yang menginginkan kebebasan dan kemapanan.

"Nafasnya zaman itu, orang sudah bosan, makanya ketika Soeharto mengundurkan diri, rakyat pesta, banyak yang potong ayam dan sapi, begitulah ekspresinya. Tidak punya ide atau gagasan," ungkap Fahri Hamzah.

Padahal ekspresi kebosanan ini, bisa sangat berbahaya bagi sistem ketatenagaran dan perpolitikan kita, apabila tidak diatur secara tegas. Rakyat bisa menjatuhkan presidennya sewaktu-waktu jika sudah bosan, sehingga ketika reformasi masalah pembatasan jabatan presiden diatur.

"Kalau masa jabatan presiden tidak dibatasi, ketika kebosanan rakyat ini datang tiba-tiba itu yang berbahaya. Kalau orang sudah bosan pokoknya, susah dilawan. Itulah problem kita, karena kita tidak punya narasi," katanya.

Karena itu, Fahri Hamzah mengkritik mantan aktivis reformasi yang kini menjadi anggota DPR dari PDIP Adian Yunus Yusak Napitupulu yang menolak BJ Habibie sebagai presiden menggantikan Soehato, karena dianggap kaki tangan Soeharto dan Orba.

"Saya dulu bentrok dengan temen-temennya mas Budiman Sudjatmiko, termasuk Mas Adian Napitupulu. Kenapa BJ Habibie ketika jadi presiden, teman-teman mahasiswa tidak mengambil sedikit momen untuk membaca sejarah bahwa BJ Habibie ini, manusia yang lain. Dia datang membawa gagasan lain dalam negara, meskipun dia berada dibawah kekuasan Orde Baru. Dia ini orang Jerman, punya pikiran Eropa tentang konsep demokrasi," katanya.

Habibie ini, menurut Fahri, memiliki pespektif lain dalam berbangsa dan bernegara. Ia justru disalahkan gara-gara membela Habibie, padahal dia melihat Presiden RI ke-3 itu, memiliki konsep arsitektur bangunan sistem perpolitikan dan demokrasi di Indonesia.

"Jadi sebagai bangsa kita punya problem itu. Kita selalu lebih tertarik kepada orang, daripada gagasannya. Habibie dianggap dari bagian dari Soeharto yang harus diturunkan dan dihancurkan," paparnya.

Reformasi yang telah berjalan 24 tahun ini, menurutnya, tidak memiliki bangunan arsitektur dari perubahannya, hanya sekedar mengakomodasi tuntutan mahasiswa seperti amandemen konstitusi, penghapusan Dwifungsi ABRI dan otonomi daerah.

"Setelah 24 tahun reformasi, kalau kita mau mengevaluasi, maka bangunan pemerintahan itu harus memiliki fondasi dan narasi yang kuat agar bisa dipertahankan," katanya.

Sebab, gagasan yang diletakkan sebagai fondasi bangunan yang solid akan memelihara kebebasan dari sistem tersebut.

"Makanya kita tidak punya masalah dengan para pemimpin, termasuk dengan Pak Jokowi (Presiden Joko Widodo) karena sudah dipilih rakyat, ya harus diterima," katanya.

Wakil Ketua Umum Partai Gelora ini mengkritik Presiden Jokowi, karena presiden dinilai ingin mengembangkan narasi kemajuan dengan mencontoh negara totaliter seperti China, bukan negara demokrasi.

"Kita menginginkan antara demokrasi dan kesejahteraan harus jalan bersama-sama," ujarnya.

Terakhir, adalah penyerdehanaan pola keterpilihan pemimpin politik, jauh dari rekayasa politik. Karena saat ini, lanjutnya, muncul begitu banyak pemimpin yang didukung oligarki dan uang, padahal tidak memiliki kapasitas sebagai pemimpin.

"Tiba-tiba balihonya muncul di mana-mana, karena dia punya uang, ini tidak fair. Sistem kita masih memfasilitasi kemewahan uang ini untuk memimpin, bukan kemewahan gagasan. Kalau orang seperti Mas Budiman Sujadmiko menjadi Presiden saya rela, tapi ini karena dia sekolah di luar negeri, punya uang banyak, menggunakan faslitas negara untuk populer, kita tolak karena orang seperti ini tidak punya gagasan," tegasnya. (*)



Tags Politik