Ketika Nikmat Berubah Laknat

Senin, 26 Oktober 2015 - 10:06 WIB
Ilustrasi

Dalam ranah berpikir manusia, nikmat adalah kesenangan yang mendatangkan kebahagiaan dalam hidup. Akibatnya nikmat itu harus diraih dan dinikmati sepuas-puasnya. Kalau perlu seluruh kehidupannya dipenuhi oleh nikmat. Bagaimana memperoleh dan menggunakan nikmat tidak lagi menempati posisi penting dalam kalkulasi hidupnya.

Gambaran tersebut seakan berkelindan dengan perilaku bangsa ini terhadap nikmat hutan yang dianugerahkan Tuhan. Bagaimana hutan yang begitu luasnya yang menyimpan kekayaan hayati terus mengalami deforestasi. Data World Guinness Book of Records mencatat bahwa, laju deforestasi hutan Indonesia mencapai 610.375,92 hektare per tahun atau setara 300 lapangan sepak bola setiap jamnya. Forest Watch Indonesia pun mencatat kerusakan hutan di Indonesia dari tahun terus meningkat, sampai saat ini saja sudah mencapai 2 juta hektar per tahun.Alhasil 72 persen hutan asli Indonesia telah musnah, bahkan selama 50 tahun terakhir telah berkurang dari 162 juta hektar menjadi 98 juta hektar.
Kini, akibat keserakahan dan dosa manusia, nikmat bermetamorfosis menjadi azab dan laknat. Yang terkena bukan pelaku keserakahan tapi semua rakyat. Salah satu azab adalah kabut asap. Selama ini banyak yang meremehkan asap, bahkan dalam lintasan bualan kita sehari-hari menganggap asap hanyalah kepulan-kepulan udara yang mudah lenyap. Tak ayal ada ungkapan, menggantang asap, menuai asap dan lain-lain, yang menganggap asap sesuatu yang ringan, sesuai dengan zatnya.
Namun yang melanda sebagian Sumatera dan Kalimantan sekarang bukanlah segantang asap tapi triliunan gantang asap. Wujudnya tidak lagi kepulan-kepulan mini, tapi telah berubah wujud menjadi gergasi. Menghirupnya tidak lagi membuat batuk dan tersedak, tapi membuat mati mendadak. Benarkah sekarang hutan sudah berubah tabiaat dan tidak lagi mendatangkan manfaat bagi umat, sehingga ia menebar kegundahannya melalui kabut asap?.

Hutan tak pernah berubah dan tetap memberi manfaat sebagaimana Tuhan ciptakan sunnatullah kehidupan. Yang berubah itu adalah perilaku manusia terhadap hutan dan alam. Manusia tidak lagi menepati janjinya kepada Allah sebagai khalifah fil ardhi, sebagai penjaga dan pelestari kehidupan alam semesta. Padahal Allah telah patrikan itu semua dalam Alqur’an sebagai manifestasi wakil Allah di muka bumi. (QS.2:30, 11:61,35:39)
Tak cukup dengan tidak menepati janjinya sebagai penjaga dan pelestari alam, malah manusia menyulut kemarahan alam dengan pembangkangannya terhadap aturan Tuhan. Menyusun agenda-agenda kehidupannya sendiri tanpa melibatkan Tuhan. Alhasil, Tuhan terpojok dalam ruang-ruang ibadah dan tak pernah diikutkan dalam ruang-ruang utama  istana. Sebab, bagi mereka Tuhan hanya dilibatkan dalam komunikasi personal tidak dalam tataran komunal mengatur kehidupan. Sehingga korupsi, narkoba, minuman keras, sex bebas alias zina, dan setumpuk maksiat lainnya sudah memenuhi ruang berbangsa dan bernegara.

Padahal, perbuatan-perbuatan dosa itu adalah bagian irisan magnet yang akan mengundang bencana. Ibaratnya, dosa-dosa itu adalah konduktor-konduktor yang saling berhubungan satu sama lainnya. Jika, konduktor itu sudah terbangun dan terhubung satu sama lainnya dia akan menghasilkan sesuatu (energi). Sebagaimana komponen-komponen dalam komputer, dia akan aktif dan menjalankan program sesuai dengan pembuat programnya, seperti microsoft dan lain-lain. Demikian juga dengan yang menyusun program alam semesta, yakni Allah. Konduktor-konduktor yang terbangun oleh dosa, programnya adalah mengundang bencana. Sebagaimana hadis nabi yang diriwayatkan oleh  Ummu Salmah, Nabi Muhammad  bersabda: "Jika kemaksiatan yang dilakukan oleh umatku semakin jelas ( terbuka ), maka Allah swt akan menimpakan azab kepada mereka semua".
Makanya Allah mengatur kehidupan ini selaras dengan petunjuknya agar manusia sebagai khalifah selamat menjalankan tugasnya. Tak ada satupun aturan yang ditetapkannya untuk kepentingannya. Seandainya semua penduduk dunia durhaka kepada Tuhan tidak akan menggugat nilai ketuhanan-Nya sedikitpun. Sebaliknya beriman semua pun tidak akan menambah kemuliaan-Nya sebagai Tuhan. Tujuannya hanya satu, yakni untuk kebaikan dan keselamatan manusia itu sendiri.

Namun manusia banyak yang berlagak Tuhan, merasa mampu menata kehidupannya sendiri tanpa melibatkan Tuhan. Bahkan mencampakkan hukum-hukum Tuhan dan menggantinya dengan hukum hasil olah pikiran manusia itu sendiri. Lebih tragis lagi hukum-hukum Tuhan yang termuat dalam kitab suci dikatakan sudah tidak  uptodate dan akseptabel lagi dengan zaman alias jadul.
Kini, kita merasakan bagaimana akibat perbuatan yang tidak mengindahkan pesan Tuhan. Hutan-hutan yang selama ini tanpa mengeluh melahirkan oksigen-oksigen untuk kehidupan dan menjaga mata rantai kehidupan terlihat murka. Kita paksa hutan dan alam untuk mendatangkan asap dan azab. Kita menciptakan sendiri magnet-magnet besar yang akan mengundang bencana. Kita tidak mensyukuri nikmat Tuhan dan akhirnya sesuai dengan hukum ciptaan Tuhan, nikmat akan berubah menjadi azab dan laknat.

Semoga musibah kabut asap menyadarkan kita kembali untuk berlaku baik kepada alam dengan cara menjauhi segala dosa-dosa kita. Menampilkan perilaku baik kepada alam dan yang lebih penting jangan melupakan Tuhan dalam mengurus dan menata kehidupan. Jangan sampai Allah meluluhlantakkan serta menjungkirbalikkan tanah negeri ini seperti yang berlaku pada umat-umat terdahulu karena dosa dan keangkuhan mereka kepada Tuhan. Alhasil, kita sadar dan berubah kembali serta berharapnikmat itu, tetap menjadi nikmat, bukan azab apalagi laknat, serta Allah lipatgandakan kenikmatan itu sebagaimana janji-Nya. Semoga.Wallahu’alam.

Editor:

Terkini

Terpopuler