Bertahan Hidup dalam Kepungan Asap

Kamis, 10 September 2015 - 08:54 WIB
Ilustrasi

Bencana kabut asap yang kembali menyelimuti Bumi Lancang Kuning telah berlangsung beberapa minggu, dengan intensitas yang semakin liar dan sukar diprediksi. Seperti sabut kelapa yang hanyut di bawa arus sungai, timbul tenggelam. Sekejap hilang dari peredaran, kemudian muncul lagi, begitu seterusnya. Hingga kini, belum ada tanda-tanda kabut asap akan segera berakhir.

Berdasarkan laporan resmi yang diterima, sumber kabut asap berasal dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Riau dan karhutla dari provinsi tetangga, Jambi dan Sumatera Selatan.

Tentu yang paling menderita akibat kabut asap adalah masyarakat khususnya anak-anak, orang tua dan yang menghindap penyakit asma.

Semenjak bencana asap, semakin ramai masyarakat Riau yang mengalami sakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), bahkan mungkin sudah ada yang jatuh korban meninggal dunia. Walaupun belum ada dilaporkan daerah/kota dalam kondisi berbahaya, namun kita semua harus senantiasa waspada.

Supaya Tetap Survive
Kini, dengan kondisi kabut asap yang semakin liar, warga masyarakat diharapkan jangan panik dan dalam kondisi waspada penuh. Bagaimanapun kita harus bertahan. Tidak dipungkiri bencana kabut asap ini sudah sangat menyengsarakan kehidupan masyarakat; nafas menjadi sesak, pemandangan terganggu, mata menjadi pedih, tenggorokan sakit dan batuk.

Di sisi lain, kita juga tetap bersyukur, sebab daerah dan kota belum mengalami kelumpuhan. Transportasi darat, udara dan laut masih dapat beroperasi, walaupun sudah mengalami gangguan.

Supaya dampaknya tidak semakin menyengsarakan, diharapkan kepada seluruh masyarakat Riau untuk mengurangi aktivitas di luar ruangan (outdoor), kecuali yang benar-benar menghajatkan dan mendesak, seperti para pekerja, karyawan, pegawai dan petugas di lapangan. Dianjurkan untuk lebih banyak beraktivitas di dalam ruangan (indoor), terkhusus bagi anak-anak, orang tua lanjut usia dan yang mengalami penyakit asma.

Anak-anak sekolah dan mahasiswa yang diliburkan karena asap, dapat memanfaatkan waktu dengan belajar di rumah dengan bimbingan dan arahan dari orang tua masing-masing. Juga dapat belajar melalui media internet. Sekolah dan para guru juga harus dapat beradaptasi dengan keadaan ini, dengan kreativitas melalui pembelajaran jarak jauh melalui media internet (e-learning), khususnya bagi sekolah-sekolah di daerah perkotaan yang relatif telah diperkenalkan dengan pembelajaran melalui media internet.

Selain itu, jangan lupa untuk menggunakan masker jika berada di luar ruangan untuk mengantisipasi dampak yang lebih besar bagi kesehatan.
Masyarakat juga diimbau untuk tidak membakar sampah atau yang sejenisnya di tempat-tempat terbuka, supaya bencana kabut asap tidak bertambah parah dengan tambahan asap akibat pembakaran di tingkat lokal.

Tidak dapat tidak, bencana ini datang, di antaranya adalah karena akibat perbuatan tangan-tangan manusia yang tidak bertanggungjawab, melakukan dosa dan kejahatan ekologi. Untuk itu kita juga harus mohon ampun dan bertobat ke hadapan Allah atas perbuatan dan dosa-dosa yang kita lakukan, termasuk membakar lahan dan hutan tanpa mengindahkan prinsip-prinsip ekologi atau bertabrakan dengan peraturan dan undang-undang yang berlaku di negara  kita.

Bencana yang kita tuai hari ini adalah harga yang harus dibayar atas perbuatan segelintir orang yang dengan serakah mengeksloitasi hutan dan lahan untuk memenuhi libido ekonomi dan syahwat harta jangka pendek, tanpa hirau tentang dampak negatif yang ditimbulkannya. Keserakahan di dalam eksploitasi hutan dan teman-temannya telah menyisakan puing-puing kehancuran dan kerusakan  ekologi dan sumberdaya alam (SDA).

Selagi nafsu dan syahwat ekonomi diperturutkan dan keserakahan dijadikan alat untuk mencapainya, maka selama itu pula bencana ekologi dan pencemaran lingkungan mustahil untuk dienyahkan dari negeri ini. Mahatma Gandi pernah mengatakan bahwa “bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi bumi tidak cukup untuk memenuhi keserakahan manusia”.

Suka ataupun tidak suka, kini kita harus beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang diselimuti asap, mulai dari anak-anak hingga orang tua. Kita harus dapat untuk bertahan hidup (survive) dengan kondisi kabut asap yang semakin sulit diprediksi kapan akan berakhir.

Bergandeng Tangan
Negeri sekarang berada dalam keadaan darurat asap, sehingga semuanya harus turut aktif, tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah saja. Untuk sementara tinggalkan segala bentuk perbedaan dan warna partai. Kita harus fokus bagaimana untuk  sesegera mungkin menyingkirkan kabut asap.

 Kini, seluruh masyarakat Riau harus bergandengan tangan dan bahu-membahu untuk turut aktif berpartisipasi mengatasi kabut asap yang melanda negeri, sesuai dengan kemampuan dan kapasitas setiap individu di dalam masyarakat. Tidak boleh ada yang berpangku tangan, dan menunggu. Harus aktif dan berusaha menyumbangkan segala bentuk kemampuan yang dimiliki.

Sebagai contoh menarik adalah pengalaman masyarakat Jepang di dalam bersinergi secara kolektif, sesuai kapasitasnya di dalam usaha menghadapi bencana alam yang kerap terjadi di Jepang; gempa dan tsunami.

 Peranan provider telefon seluler di dalam memberikan informasi terkini kepada setiap individu melalui pesan singkat SMS tentang keadaan bencana alam sangat membantu warga masyarakat untuk bersikap dan mengambil tindakan, sehingga mereka tidak panik dan senantiasa siap setiap saat  menghadapinya.

Sebenarnya hal seperti yang berlaku di Jepang, telah menunjukkan keampuhannya ketika banjir hebat melanda Jakarta beberapa tahun silam, dimana warga saling memberikan informasi tentang keadaan banjir, termasuk menggalang bantuan melalui jejaring sosial, tanpa ada yang mengkoordinir dan mengomandoinya. Bedanya, di Jepang tampak lebih profesional karena langsung ditangani oleh pemilik provider telekomunikasi, sementara di Jakarta lebih bersifat informal dan sangat sosial.

Nah, dalam kasus kabut asap yang melanda Riau, bagaimana dan sampai sejauhmana peranan media sosial di  dalam memberikan sumbangannya? Bisakah dan maukah provider telekomunikasi untuk memberikan sumbangannya seperti halnya kasus bencana alam di Jepang?
Keadaannya kini memang semakin rumit dan kompleks, sebab bencana asap juga juga terjadi di beberapa provinsi tetangga, sehingga dalam hal ini juga dirasa perlu kesadaran dan kerjasama secara kolektif, khususnya propinsi di Sumatera yang berpotensi dan rawan terjadi kasus karhutla. Wallahu a’lam.

Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Islam Riau Pekanbaru.

Oleh: Dr Apriyan D Rakhmat

Editor:

Terkini

Terpopuler