Komisi II DPR Sebut Nusron Wahid Lamban Tindaklanjuti Soal Lahan Sawit Ilegal

Selasa, 09 September 2025 - 08:25 WIB
Rifqinizamy Karsayuda

RIAUMANDIRI.CO - Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda mempertanyakan tindak lanjut Menteri Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid, terkait 3,1 juta hektar lahan sawit ilegal yang telah disita negara.

“Pak Presiden Prabowo Subianto sudah menyampaikan di Sidang Tahunan MPR bulan lalu bahwa negara menguasai kembali 3,1 juta hektar dari potensi 5 juta hektar lahan sawit ilegal. Mengapa belum ada proses legalisasi sebagian dari lahan tersebut?” kata Rifqi dalam rapat kerja Komisi II dengan Menteri ATR Nusron Wahid, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (8/9/2025).

Menurut Rifqi, sebagian lahan sawit itu tidak berada di kawasan hutan, melainkan di Area Penggunaan Lain (APL), yang menjadi kewenangan penuh Kementerian ATR/BPN. “Potensinya besar, tapi kenapa dibiarkan menggantung?” ujarnya.

Presiden Prabowo sebelumnya mengklaim bahwa pemerintah telah menertibkan jutaan hektar kebun sawit bermasalah, antara lain yang berdiri di kawasan hutan lindung atau tidak melaporkan luas perkebunannya. Penertiban itu ditegaskan lewat Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025. Namun, masih ada keputusan pengadilan lama yang belum dijalankan. “Ada putusan inkrah 18 tahun lalu yang tak kunjung dilaksanakan,” kata Prabowo kala itu.

Nada lebih keras datang dari anggota Komisi II DPR RI Deddy Yevri Hanteru Sitorus. Ia menyoroti pernyataan Nusron bahwa sekitar 60 keluarga menguasai sebagian besar tanah di Indonesia. “Kalau informasi itu benar, negara jangan berhenti di pernyataan. Reforma agraria dan distribusi tanah harus dipercepat. Kalau tidak, akan menimbulkan kebencian masyarakat yang sudah lama terjebak ketidakadilan,” kata Deddy.

Politisi PDI-Perjuangan itu juga mendesak pemerintah mengenakan pajak lebih tinggi bagi konglomerat pemilik tanah luas. “Mereka sudah kaya tujuh puluh turunan. Sudah saatnya negara mengambil bagian untuk rakyat,” ujarnya.

Deddy menyinggung kasus konkret di Tessonilo, Riau, tempat lebih dari 11 ribu kepala keluarga terancam tergusur karena konflik kawasan hutan. “Kalau tiba-tiba dipasang plang ‘dikuasai Satgas PKH’ lalu masyarakat tak bisa masuk ke kebun, mereka makan apa? Jangan lebih kejam dari Belanda,” katanya.

Ia juga menyoroti ketimpangan: jutaan hektar untuk korporasi, sementara pendaftaran tanah untuk masyarakat adat atau tanah ulayat hanya ratusan hektar. “Tanah tidak pernah bertambah, sementara penduduk terus meningkat. Kalau tidak ada distribusi keadilan, ini bom waktu,” ujarnya.

Selain sawit, Deddy mengingatkan pemerintah konsisten melarang penambangan di pulau-pulau kecil seperti kasus di Raja Ampat. Ia juga mendorong koordinasi lintas kementerian mulai dari BPN, Kementerian Kehutanan, Kementerian ESDM, dan Kementerian Dalam Negeri, agar konflik agraria tak lagi diselesaikan sepotong-sepotong. (*)

Editor: Syafril Amir

Tags

Terkini

Terpopuler