Nelayan Mengadu ke DPR Minta PP 85/2021 Dicabut

Nelayan Mengadu ke DPR Minta PP 85/2021 Dicabut

JAKARTA, HARIANHALUAN.COM - Sejumlah asosiasi nelayan di Indonesia mengadu ke DPR, Rabu (3/11/2021) sore dan mereka diterima Wakil Ketua DPR RI Bidang Korkesra Abdul Muhaimin Iskandar didampingi anggota Komisi IV DPR RI Daniel Johan.

Mereka merasa keberatan terhadap penerimaan negara bukanpajak (PNBP sektor perikanan setelah diterbitkannya PP 85 tahun 2021. Mereka menilai PP tersebut merugikan nelayan dan pelaku usaha perikanan karena perbedaan tarif dan kenaikan pungutan yang tidak wajar.

Asosiasi Pengusaha Perikanan Gabion Belawan (AP2GB) Solah H Daulay menyatakan, PP 85/2021 yang tujuannya untuk meningkatkan PNBP sektor perikanan tetapi justru membebani nelayan dan pelaku usaha perikanan. Aturan sebelumnya kategori kapal skala kecil <60 GT dikenakan tarif 1 persen. Lalu PP 75/2015 meningkat 5x sehingga menjadi 5 persen dengan kategori kapal kecil 30-60 GT.

Dalam PP 85/2021, GT kapal semakin kecil juga dikenakan yaitu kapal dengan ukuran 5-60GT tarif 5 persen. Tarif PNBP 5 persen bagi nelayan kecil menurutnya mengada-ada.

Sementara itu, Ketua Himpunan Nelayan Pengusaha Perikanan (HNPP) Samudra Bestari, Remon menyoroti aturan mengenai patokan harga ikan. Menurutnya patokan harga ikan di daerah berbeda-beda, dan yang ditetapkan KKP jauh melampaui harga pada tingkat pasar.

Hal ini dapat dikatakan bahwa KKP menentukan HPI hanya berdasarkan perkiraan saja tidak melihat realitas di masyarakat. Tingginya HPI ini tentu akan meningkatkan pungutan terhadap PNBP sektor perikanan yang membebani nelayan dan pelaku usaha perikanan.

“Kita selama ini bergerak di perikanan sudah 30 tahun, tapi kita tidak pernah diajak bicara pembahasan PP 85 itu pak, tiba-tiba saja sudah keluar, jadi isinya apa dan bagaimana dampaknya untuk kita kita tidak tahu,” tutur Remon.

Remon menilai pengesahan PP 85 Tahun 2021 secara mendadak dan tidak sesuai dengan ruh UU Perikanan. Dia menyatakan isi PP tersebut banyak yang tidak sesuai dengan harapan nelayan, bahkan cenderung memberatkan.

Dampak lain yang juga disuarakan asosiasi nelayan ini adalah masalah BBM solar sangat susah didapatkan mereka. Bahkan harga solar non subsidi di daerah mencapai 12.800 per liter, ditambah beban pajak sehingga nelayan tidak bisa melaut.

“Saya minta kepastian, kenapa tiap ganti rezim ganti peraturan begini, apa sebenanya yang terjadi di KKP. Saya lihat KKP ini membunuh pengusaha perikanan yang sudah berpuluh-puluh tahun berusaha. KKP hanya memikirkan mengambil pajak dan PNBP dari laut, tapi tidak memikirkan bagaimana kami mendapatkan BBM langka dan mahal Ketum,” ungkap Remon.

Sementara itu, Ketua Umum Aliansi Nelayan Indonesia (ANI) Riyono menyatakan, asal muasal sumber permasalahan penolakan dari nelayan terhadap PP 85 Tahun 2021 adalah berubahnya target PNBP dari sektor kelautan dan perikanan dari Rp.600 miliar manjadi Rp12 triliun.

“Muara dari penolakan ini adalah dari target PNBP pemerintah dari Rp.600 miliar menjadi Rp.12 triliun. Karena itu saya kira ini harus dibatalkan,” kata Riyono.

Menanggapi keluhan asosiasi nelayan itu, Muhaimin mengaku siap memperjuangkan aspirasi tersebut. Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini mengaku akan meminta Menteri KKP, Wahyu Sakti Trenggono untuk mencabut PP 85 Tahun 2021 karena dinilai memberatkan nelayan dan pengusaha perikanan Indonesia.

“Staf-staf saya DPR telah merekam dan mencatat masukan secara detail. Saya kira ini perlu ditindaklanjuti, kalau menterinya tidak mau mencabut, ya kita dorong presiden yang mencabut,” janji Gus Muhaimin.

Gus Muhaimin berkomitmen tidak akan pernah berhenti untuk memberikan kontribusi pada iklim usaha yang kondusif dan produktif, terutama di sektor kelautan dan perikanan. Terlebih KKP adalah Kementerian yang didirikan oleh KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

“Kementerian ini kan yang bikin Gus Dur, jadi seharusnya memakmurkan masyarakat dari laut, bukan memberatkan,” tukas Gus Muhaimin.



Tags DPR RI