Rencana Sembako Kena PPN, Pengamat: Tak Semudah Itu Implementasikan Perubahan PMK

Rencana Sembako Kena PPN, Pengamat: Tak Semudah Itu Implementasikan Perubahan PMK

RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU – Pengamat Ekonomi Universitas Riau, Dahlan, meminta masyarakat tidak perlu khawatir soal kebijakan pemerintah yang merapkan PPN pada sembako saat ini. Sebelum teknis di lapangan berjalan, masyarakat tetap harus bersikap tenang.

"Masyarakat tidak perlu terlalu khawatir, karena implementasinya tidak semudah mengenakan cukai rokok yang setiap batang akan beanya, karena pabrik atau produsen yang diminta membayarkan terlebih dahulu. Berbeda dengan PPN komoditi kebutuhan pokok, terutama sayuran, jagung, umbi yang dihasilkan dan dijual langsung oleh petani, mekanisme pengenaan PPNnya tidak mudah," ujar Pengamat Ekonomi, Dahlan Tampubolon saat dihubungi Haluan Riau --Haluan Media Group---, Rabu (9/6/2021).

Menurutnya, apakah mau konsumen membeli dengan harga lebih tinggi sekitar 12% dan apakah yakin petani tersebut akan membayarkannya ke Dirjen Pajak. Sebelum mekanismenya rinci dan juknis di lapangan belum tersedia, masyarakat mestinya tenang. tidak perlu gusar, karena tidak selalu PPN itu bisa direalisasikan di level masyarakat bawah yang berbelanja di ekonomi sektor infromal.


Dahlan menjelaskan, Revisi Kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sepertinya akan menghilangkan kelompok bahan pokok sebagai komoditas yang tidak dikenai PPN. Pemerintah rencananya mengenakan secara selektif dengan mengelompokkan komoditi kebutuhan pokok sesuai dengan kelas konsumen yang membelinya.

"Tidak semua beras bisa dikenai PPN, karena merupakan konsumsi pokok yang dikonsumsi hampir semua penduduk Indonesia. Pengenaan PPH hanya memungkinkan pada kelompok beras kualitas premium yang dijual di pasar modern dengan konsumen tertentu saja. Kalau semua jenis beras dikenakan PPN, bukan saja merugikan konsumen, bisa jadi harga pengambilan di petani juga mengalami tenakan karena menurunnya daya beli diimbangi dengan harga perolehan di tingkat petani menjadi rendah. Karena pedagang pengumpul dan pedagang pengecer tidak mau rugi, bahakan tidak mau menurun marjin labanya," tuturnya

Selain itu, Dahlan menambahkan bahwa komoditi pokok yang sebelumnya dijelaskan di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 116/PMK.010/2017, tidak lagi menjadi kekhususan yang dikeluarkan dari komoditi kena PPN. Meski selama ini, komoditi tersebut sudah ada yang dikenakan pajak, karena menjadi komoditi yang dijual dalam kemasan dan memiliki merk dagang.

Hanya saja, ketika berlaku umum, ini menjadi kejutan di masyarakat. Apalagi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), jagung, beras, garam, buah dan sayur terasa aneh kalau dipajaki. Karena distribusi dalam perdagangan lebih banyak dilakukan pada pasar tradisional, dengan kemasan seadanya.

"Bisa dibayangkan kalau ubi kayu, jagung, sayuran dan buah-buahan yang dijual oleh petani langsung ke pasar kaget. Apakah mereka tau apa itu PPN? Saya pikir, tidak semudah itu implementasi dari perubahan PMK itu," ucapnya.

Menurut Dahlan, pemikiran pengenaan PPN bagi komoditi kebutuhan pokok, tidak terlepas dari perluasan objek pajak dan mengejar target tax ratio yang kian hari mendekati angka 10%. Sedangkan negara-negara lain di Asia Tenggara mereta di atas 12,5%.

Negara-negara berpenghasilan tinggi, melakukan kenaikan tarif pajak penghasilan. Ini bisa lebih adil dirasakan kebanyakan penduduk Indonesia, karena sebagian masih berpenghasilan tidak kena pajak. Namun ini akan menyebabkan gejolak masyarakat berpenghasilan tinggi, yang notabene memiliki pengaruh di dalam impelentasi kebijakan publik. Pajak penghasilan tidak bisa digeser ke orang lain. Berbeda dengan PPN.

Dahlan juga menjelaskan bahwa pemerintah berencana menggunakan multi tarif bagi barang kebutuhan pokok yang akan dikenai PPN. Bisa jadi kisarannya antara 5 – 20% bertahap sampai tahun tertentu akan direvisi kembali untuk ditingkatkan dan digeser kelompok komoditasnya. Hal tersebut juga berlaku di negara-negara lain, terutama di eropa yang sumber utama anggaran negaranya berasal dari pajak.

"Terlepas dari pro-kontra pengenaan PPN terhadap komoditi kebutuhan pokok, perlu juga kita pahami beban utang kita, baik sebelum wabah Covid apalagi setelah wabah berlangsung. Sebelum Covid, disiplin anggaran bisa dijalankan dengan defisit di bawah 3% dari PDB dan rasio utang di bawah 30%. Tapi dengan adanya Covid, utang terus meroket mencapai di atas 45% PDB," ujarnya.

Dijelaskan Dahlan, ini memang masih di bawah batasan undang undang dan juga di bawah rasio utang rata-rata negara ASEAN. Tapi ini bukan hal yang baik-baik saja. Apalagi target pertumbuhan yang terlalu optimis akan digerus oleh kenaikan pajak, dan dikuatirkan tidak tercapai kalau investasi yang masuk masih gitu gitu aja.

"Kalau kita melihat APBN, dalam masa agak resesi justru diperlukan besarnya government expenditure sebagai stimulus pertumbuhan. Dengan terbatasnya anggaran, bisa jadi stimulus tidak semulus yang diramalkan. Pengangguran tidak juga beranjak berkurang, ditambah lagi beban pajak PPN tadi. Semoga ekonomi Indonesia bisa baik-baik saja dengan berbagai tantangan ke depan. Utang pemerintah itu perlu untuk stimulus, tapi jumlahnya sudah mendekati batasan undang-undang. Jangan sampai pertumbuhan yang diharapkan tidak berjalan semulus rencana," sambungnya

Namun, sebelum ditetapkannya dalam perubahan, Dahlan mengatakan semoga rakyat masih bisa berharap kepada wakil rakyat yang punya hati di Gedung DPR.

Sedangkan, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag), tidak ingin banyak berkomentar mengenai hal ini. Ia berharap masyarakat menunggu bagaimana ke depannya. Apalagi ini baru rencana pemerintah saja.

"Baru rencana, kita lihat dulu bagaimana pemberlangsungannya. Tunggu saja," ucap Kepala Disperindag Kota Pekanbaru Ingot Ahmad Hutasuhut saat dihubungi Haluan Riau, Rabu (9/6).

Di sisi lain, kekhawatirannya ini tentunya pertama kali berdampak untuk masyarakat. Baginya jika kebijakan itu pasti, negara sudah bikin rakyat sengsara.

"Ah udah sakit pemerintah ini. Aku enggak tahu lah politik-politik di balik ini ya, enggak ngerti juga aku. Tapi kalau sampai bahan pokok dipajaki, tentu makin mahal barang-barang itu. Ujung-ujungnya masyarakat juga yang kena. Negara ini seharusnya bikin rakyat sejahtera, bukan menambah-nambah sengsara gini, kita udah diporoti dari semua sisi" ujar warga Panam, Ahmad.



Tags Ekonomi