Membabat Jerat, Jerat Babi atau Satwa Langka?

Membabat Jerat, Jerat Babi atau Satwa Langka?

"Darah saya mendidih kalau sudah urusan menyelamatkan satwa," ujar anggota Gakkum-KLHK Wilayah I, Zainal Abidin ketika rapat pada malam sebelum kegiatan sisir jerat dilaksanakan.

RIAUMANDIRI.ID, PEKANBARU - Semua orang geram ketika Mei 2020 lalu, seekor harimau sumatra (panthera tigris sumatrae) ditemukan tergeletak tak bernyawa dengan kaki penuh luka di areal konsesi hutan tanaman industri (HTI) PT Arara Abadi, di Kabupaten Siak, Riau. Harimau itu disinyalir sengaja dijerat oleh oknum profesional menggunakan kawat besi (sling). Dengan kondisi penuh lalat dan belatung, harimau itu diperkirakan sudah sepekan terperangkap.

Itulah yang menjadi dasar kegiatan sisir jerat dilakukan. Tim yang terdiri dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, Perwakilan Distrik PT Arara Abadi, Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Tahura, Forum Harimau Kita, unsur TNI/Polri dan masyarakat bersama-sama menelusuri kawasan rawan pemasangan jerat.


Pembagian tim sisir jerat di hutan lindung Km 78, Distrik Duri I

Kegiatan dilaksanakan di empat tempat, yaitu di Distrik Minas dan Distrik Duri I (Melibur) Kabupaten Siak, Distrik Duri II (Sebanga) Kabupaten Bengkalis, dan Distrik Tapung Kabupaten Kampar. Kesemuanya adalah areal konsesi milik PT Arara Abadi.

Seluruh tim berangkat dari Pekanbaru pada Senin (20/7/2020) siang menuju titik pertemuan di Distrik Minas. Perjalanan menghabiskan 2,5 jam, ditempuh melewati jalan tanah yang terjal.

"Sebenarnya lokasinya enggak jauh. Cuma karena jalannya kayak gini, makanya jadi lama," ungkap Humas Sinarmas Forestry-PT Arara Abadi, Nurul Huda.

Setelah sampai, tim pun dibagi dua. Saya ditunjuk ikut bergabung dalam Tim Distrik Duri I. Sorenya, ketika semua seremonial dan persiapan telah selesai, kami bergerak menuju lokasi.

Malam sebelum kegiatan sisir jerat dilaksanakan, Tim Distrik Duri I rapat menyusun strategi. Menentukan daerah mana yang terlebih dahulu harus disisir dan mendiskusikan teknis lapangan yang akan dijalankan.

"Kalau prinsip saya, sisir dulu kawasan yang paling aman. Kalau di tempat yang paling aman saja sudah ada jerat, bagaimana lagi di tempat yang rawan? Berarti daerah kita semuanya rawan," usul anggota Gakkum-KLHK Wilayah I, Zainal Abidin.

Penyisiran jerat di hutan konsesi ekaliptus Km 76 dan  75 Distrik Duri I

Zainal juga berharap dapat menyisir banyak lokasi di Distrik Duri I dalam waktu sehari saja. Namun, sebab ternyata jarak antarlokasi tidak sedekat yang dibayangkan, akhirnya diputuskan untuk menyisir jerat di dua tempat saja, yaitu daerah paling aman, Km 78 dan daerah paling rawan, Km 76 dan Km 75.

"Darah saya mendidih kalau sudah urusan menyelamatkan satwa," ungkap Zainal.

Areal Distrik Duri I cukup luas. Distrik ini dinaungi 9 desa, yaitu Desa Tasik Betung, Melibur, Lubuk Umbut, Muara Bungkal, Bencah Umbai, Tasik Tebing Serai, Desa Olak, dan Lubuk Jering. Jika ditotalkan, luasnya mencapai 35.085 hektar.

Selasa (22/7/2020) pagi, tim yang ditambah satpam menjadi lebih dari 15 orang berangkat menuju Km 78. Kawasan tersebut merupakan kawasan hutan lindung di lahan konsesi PT Arara Abadi yang pengelolaannya adalah kolaborasi antara pihak perusahaan dan kearifan lokal masyarakat. Km 78, terletak di Desa Tasik Betung.

Pukul 09.00, setelah tim dipecah agar lebih efisien, penyisiran pun dimulai. Saya dan wartawan Riau Pos, Panji, bersama tim satu menyisir pinggiran hutan lindung yang berbatasan langsung dengan lahan masyarakat. Sedangkan wartawan Tribun Pekanbaru, Alex, bersama tim dua menyisir ke dalam hutan.

Penemuan jerat bekas di Km 78

Baru beberapa meter kami berjalan, Anggota BBKSDA yang ikut bersama tim satu, Lancar, menemukan jerat yang disinyalir telah lama terpasang. Kondisinya yang tidak lagi utuh serta kayu pelanting jerat yang cenderung lapuk, menandakan jerat itu sudah "bekas" atau sengaja ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya.

Penemuan jerat pertama di daerah paling aman itu menjadi tanda bahwa kemungkinan besar daerah paling rawan akan lebih banyak lagi ditemukan jerat.

Selama hampir 3 jam disisir, kami cuma menemukan tiga jerat. Dari ketiganya, hanya satu yang dalam kondisi utuh. Sedangkan tim dua yang masuk ke dalam hutan tidak menemukan jerat apa pun.

Jerat yang berhasil kami dapatkan di Km 78 adalah jerat lenting, yaitu jerat yang memanfaatkan kayu lentur sebagai pelenting tali yang akan mengikat kaki satwa yang menginjak perangkapnya. Sejatinya, objek jerat ini adalah babi hutan. Sebab, selain jadi hama pengganggu kebun masyarakat, babi juga biasanya dimanfaatkan sebagai lauk sehari-hari.

Namun, kawasan konsesi tidak hanya berisi babi hutan, melainkan juga satwa-satwa dilindungi seperti harimau, gajah, rusa, kucing hutan, dan lain-lain. Satwa langka itulah yang dikhawatirkan akan masuk ke dalam perangkap.

Pada hari sebelumnya, Kepala BBKSDA Wilayah II, Heru Sutmantoro dalam kata sambutannya juga menyinggung hal ini. Menurutnya, perburuan sebenarnya diperbolehkan untuk hewan-hewan tak dilindungi macam babi, tapi tidak untuk satwa langka.

"Perburuan itu diperbolehkan, asal pemburu bisa memastikan yang masuk jerat itu cuma babi. Bukan rusa, harimau, gajah, dan satwa dilindungi lainya," ujarnya.

Zainal Abidin pun mengatakan hal serupa, "Memangnya bisa memastikan yang masuk cuma babi? Kalau tali yang dipakai jerat sebesar ini, yang bisa kena bukan cuma babi. Gajah juga masuk ini," ungkapnya.

Km 78 dinilai daerah paling aman sebab merupakan kawasan hutan lindung yang penjagaannya berkolaborasi dengan kearifan lokal masyarakat. Terbukti dari penuturan Tim Konservasi Distrik I, Imam, masyarakat setempat khususnya Desa Tasik Betung menjaga, memanfaatkan, dan menjadikan hutan sebagai "rumah sakit".

"Warga di sini jarang ke dokter kalau sakit. Biasanya mereka ke hutan ini kalau cari obat. Makanya di sini masih banyak tanaman obat kayak sempayang, pasak bumi, daun bayam, daun sading, dan lain-lain. Bahkan, di dalam hutan di sini juga masih ada kayu meranti merah yang sudah langka itu," jelasnya di sela-sela penyisiran.

Di dalam hutan Km 78 terdapat juga lima pohon sialang, yaitu pohon besar yang dijadikan tempat bersarangnya lebah sialang. Masyarakat setempat dan pihak konsesi berkolaborasi memanfaatkannya melalui program hasil hutan non-kayu atau yang lebih dikenal dengan singkatan HHNK.

"Ada lima batang sialang di hutan ini. Pohon yang dipilih lebah biasanya pohon kempas dan pohon kruwing. Madunya dimanfaatkan melalui kolaborasi masyarakat dan perusahaan. Namanya HHNK," jelas Imam.

Selain masih banyaknya tanaman obat, indikator lain yang menandakan hutan lindung ini masih berkualitas baik yakni adanya burung rangkong atau burung enggang. Sebab, rangkong atau enggang hanya mau bersarang di hutan lebat yang masih memiliki pohon tinggi.

"Rangkong itu sebagai indikator alam masih bagus. Karena rangkong cuma mau bersarang di pohon-pohon tinggi. Dan di sini masih banyak rangkongnya," ungkap Imam.

Cerita menarik lain dari hutan lindung Km 78 naungan Desa Tasik Betung ini adalah kisah mistisnya. Imam mengatakan, ada kerajaan gaib yang selama ini jarang diketahui orang.

"Di dalam (hutan) ada kerajaan Siak, tapi gaib. Ada daerah yang jalannya menurun jauh ke bawah, seperti cekungan gitu. Nah daerah itu dilihat dari satelit, tampak terbuka. Enggak ada apa-apanya. Ternyata, saat disurvei, cekungan itu dipenuhi tanaman bambu. Di bawah sana, sinyal hilang, GPS mati, bahkan hasil potret dari kamera HP jadi gelap," ungkapnya.

Menurut Imam, jika ingin berkunjung ke cekungan itu harus ditemani juru kunci dari Desa Tasik Betung.

"Kalau mau ke sana, ada juru kuncinya dari desa. Nanti dia yang mengantarkan," katanya.

"Si juru kunci ini, setiap bulan mendatangi pesta. Jalan lokasi pestanya ke arah hutan ini. Dan tempat pestanya ya di cekungan penuh bambu itu. Wah saya aja ceritanya merinding ini," tambahnya lagi.

Dari Km 78, Desa Tasik Betung, kami berhasil mengumpulkan tiga jerat yang sudah tak lagi terpasang sempurnya.

***

Usai makan siang, kami kembali bergerak. Kali ini tujuannya Km 76 dan Km 75. Daerah tersebut dinilai paling rawan sebab merupakan lahan klaim masyarakat (yang masih proses resolusi konflik dengan perusahaan) yang diolah menjadi kebun sawit. Dari daerah ini, kami menemukan 15 jerat dengan model baru.

"Jerat-jerat ini sengaja dipasang sebenarnya bertujuan melindungi kebun masyarakat ini. Pemasangannya, kan tepat di batas-batas kebun. Tujuannya agar ketika babi hendak ke kebun, babi itu lebih dulu terkena perangkap," ujar anggota Satgas Distrik Conservation Region, Rudi.

Jika jerat yang kami temukan di Km 78 adalah jerat lenting yang memanfaatkan kayu lentur sebagai pelenting, maka di Km 76 dan Km 75 jerat lentingnya menggunakan karet ban dalam bekas sebagai pelentingnya.

"Ini bukan cuma babi yang bisa masuk, tapi rusa juga," tambah Rudi.

Setelah berhasil mengumpulkan 18 jerat, tim pulang sekitar pukul 15.00 WIB. Kegiatan sisir jerat akan dilanjutkan di daerah lain pada Rabu (22/7) dan Kamis (23/7).

Hewan langka yang paling ditakutkan masuk ke dalam jerat adalah harimau dan gajah. Sebab menurut Forum Harimau Kita, populasi harimau sumatra dan gajah kian menurun akibat perburuan liar.

"Di Sumatra hanya tinggal 550 ekor harimau sumatra. Jerat menjadi ancaman populasi paling berat," ungkap Ketua Forum FHK, Ahmad Faisal saat diwawancara di lain kesempatan.

Perbedaan paling mencolok antara jerat babi dan jerat yang memang sengaja dipasang untuk berburu harimau dan gajah terletak pada bahannya. Jerat babi biasanya terbuat dari tali nilon atau tali tambang "kambing". Sedangkan jerat khusus harimau dan gajah, terbuat dari kawat besi atau seling.

"Kalau jeratnya sudah berbahan seling, sudah pasti itu tujuannya harimau," ungkap Kepala BBKSDA Wilayah II.

Beruntung, pada sisir jerat di hari pertama kami tak menemukan jerat harimau dan gajah tersebut.

"Logikanya jangan terbalik. Kita berhasil itu kalau tidak ada jerat. Jangan tujuannya mendapatkan banyak jerat. Kalau jerat masih banyak, berarti kita gagal," kata Zainal Abidin.

Kegiatan sisir jerat ini rencananya akan terus dilaksanakan setiap bulan. Menyusul temuan harimau yang mati di Distrik Minas, pun sebab perburuan satwa liar kian hari kian masif.

"Kegiatan sisir jerat gabungan kali ini adalah kegiatan lanjutan dari sisir jerat yang kami lakukan secara internal di setiap bulannya. Namun, memang kami belum melaporkannya ke BBKSDA," ujar Kepala Distrik Minas, Alben.

"Kita berharap rambu peringatan larangan pemasangan jerat diperbanyak. Sosialisasi juga ke masyarakat. Sehingga orang-orang yang ingin melakukan perburuan dapat mengurungkan niatnya. Selain itu, pintu-pintu masuk kawasan konsesi juga harus lebih dijaga," ungkap Heru Sutmantoro.

Forest Sustainibility-Health Safety & Enviroment Regional Riau, Muhammad Syarif Hidayat mengatakan kegiatan sisir jerat bagi PT Arara Abadi merupakan upaya meningkatkan keamanan kawasan sekaligus salah satu komitmen dan kontribusi guna mewujudkan ko-eksistensi antara masyarakat dan satwa kunci di sekitar wilayah operasional perusahaan.

"Tindakan pengamanan kawasan seperti patroli dan larangan melakukan perburuan juga dilakukan. Sisir jerat juga dilakukan sebagai salah satu pencegahan untuk menekan perburuan dan menekan timbulnya konflik antara manusia dan satwa, khususnya harimau sumatra," ujarnya.

"Sisir jerat ini masalah bersama, tanggung jawab bersama, dan butuh kolaborasi aktif dari berbagai pihak, baik NGO, masyarakat, TNI/ Polri, pemerintah, dan stake holder terkait. Jadi, sisir jerat tidak hanya masalah pihak perusahaan pemegang konsesi semata," tambahnya.


Reporter: M Ihsan Yurin



Tags HARIMAU