DP Mobil untuk Pejabat Negara

Jokowi Kecolongan Rp158 Miliar

Jokowi Kecolongan Rp158 Miliar

JAKARTA (HR)-Soal uang muka mobil untuk pejabat negara, Presiden Jokowi dinilai kecolongan Rp158, 8 miliar. Kebijakan Jokowi ini mendapat kritik pedas dari berbagai pihak. Pemerintah dinilai tidak peka dengan kondisi rakyat.

Seperti diketahui, perihal pembayaran uang muka untuk mobil pejabat itu termaktub dalam Perpres Nomor 39 tahun 2015. Di dalammya disebutkan pejabat negara dapat tunjangan uang muka (down payment/DP) mobil Rp210 juta lebih. Tunjangan ini jauh meningkat dari sebelumnya yakni Rp116 juta.

Kritik pedas terhadap kebijakan Presiden Jokowi antara lain datang dari Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara Dr. Ahmad Redi, S.H.,M.H, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) dan loyalis Jokowi sendiri, Ormas PROJO.

Redi mempertanyakan berapa banyak dana yang diperlukan untuk memberikan tunjangan DP mobil itu. Dana tersebut sebaiknya digunakan untuk program-program prorakyat.

"Sebaiknya dana bantuan tersebut dibatalkan," tegasnya, Minggu (5/4).

Menurut Redi, kebijakan itu tidak selaras dengan prinsip efisienai yang didengung-dengungkan oleh Pemerintah saat ini. Di saat efisiensi dilakukan bagi PNS melalui pemotongan perjalanan dinas, penghentian rapat-rapat di hotel, malah pejabat negara dapat jatah kenaikan DP pembelian kendaraan.

"Terdapat inkonsistensi politik anggaran. Walau permohonan tunjangan DP pembelian kendaraan pejabat negara awalnya merupakan usulan dari Ketua DPR RI, namun seharusnya Pemerintah mengutamakan aspek keadilan telebih dahulu. Tunjangan DP tersebut bukanlah hal yang urgent saat ini, terlebih beban rakyat saat ini semakin susah akibat kenaikan BBM dan dampak bola salju akibat kenaikan BBM," ungkapnya.

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggran (FITRA) juga mempertanyakan terbitnya Perpres Nomor 39 Tahun 2015 tersebut. Pasalnya, angka Rp210 juta dinilai merupakan pemborosan negara karena mengalami kenaikan signifikan dari regulasi sebelumnya.

"Kenaikan terjadi 85 persen," ungkap Koordinator Advokasi FITRA Apung Widadi melalui keterangan tertulis, Minggu kemarin.

Padahal pejabat yang akan menerima fasilitas tunjangan itu berjumlah 753 orang dengan rincian; DPR berjumlah 560 orang, DPD dengan 132 orang, Hakim Agung 40 orang, anggota KY berjumlah 7 anggota, Hakim Konstitusi 9 orang, dan Anggota BPK berjumlah 5 orang. Sehingga total anggaran DP mobil sebesar Rp158,8 miliar. "Naik Rp87,8 miliar dibandingkan dengan tahun 2010 yang hanya sebesar Rp 70,96 miliar," imbuh Apung.

"Kebijakan Jokowi ini bertengangan dengan visi membangun transportasi publik yang bagus. Justru dengan DP mobil ini mengajak masyarakat untuk membeli mobil," sebut Apung.

Sementara itu menurut catatan FITRA, Dana Bagi Hasil (DBH) untuk sumber daya alam ke daerah mengalami penurunan. FITRA kemudian menilai bahwa ada politik anggaran yang salah sasaran.

"DBH sumber daya alam dari tahun 2013-2014 justru dipotong oleh pemerintahan Jokowi. Pemotongan DBH SDA Migas sebesar Rp414 miliar, sementara utang DBH SDA kepada Pemda Rp11,95 triliun," kata Apung.

FITRA menyebut kebijakan ini mempersempit politik anggaran daerah. Kebijakan Belanja APBNP 2015, ada tambahan alokasi untuk Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp 20 triliun yang diikuti dengan target penurunan Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp 15,1 triliun (dari Rp 127,7 triliun di APBN 2015 menjadi Rp 112,6 trilun).

Ketua Umum DPP Ormas PROJO Budi Arie Setiadi juga sangat menyesalkan kebijakan presiden itu.
"Kita sangat menyesalkan. Kurang sensitif terhadap kondisi masyarakat," katanya.

Kebijakan tersebut dipandang PROJO tidak memperhatikan suasana kebatinan masyarakat. Masih banyak rakyat yang belum sejahtera dengan berbagai himpitan masalah sosialnya.

"Meningkatkan dan memperhatikan kesejahteraan penyelenggara negara memang tugas pemerintah. Tetapi yang pertama harus didahulukan adalah kesejahteraan rakyat," katanya.

"Nasib rakyat harus jadi prioritas utama kebijakan pemerintah," tegasnya.

Jawab Kritikan
Presiden Jokowi akhirnya menjawab kritikan publik soal naiknya uang muka pembelian kendaraan bermotor pejabat negara menjadi Rp 210 juta. Angka fantastis itu merupakan pengejawantahan dari Perpres No 39 Tahun 2015 yang diteken Presiden Jokowi.

"Tidak semua hal itu saya ketahui 100 persen, artinya hal-hal seperti itu harusnya di Kementerian. Kementerian men-screening apakah itu akan berakibat baik atau tidak baik untuk negara ini," ungkap Jokowi.

Jokowi kemudian menjelaskan bahwa dia sudah memiliki tim administrator yang bertugas untuk mengecek surat yang masuk. Meski membantah telah kecolongan, Presiden Jokowi berjanji akan mengecek kembali Perpres yang telah dia tanda tangani itu.

"Coba saya lihat lagi. Enggak mungkin satu-satu saya cek kalau sudah satu lembar ada 5 sampai 10 orang yang paraf atau tanda tangan apakah harus saya cek satu-satu? Berapa lembar satu Perpres, satu Keppres. Saya tidak tahu, saya cek dulu," ujarnya.

Menurut dia biasanya hal-hal yang menyangkut dengan uang negara dibahas dalam rapat kabinet. Mengenai kebijakan kenaikan DP pembelian kendaraan bermotor untuk pejabat negara sendiri, bagi Jokowi sangat tak tepat. Terlebih lagi ketika sejumlah harga kebutuhan masyarakat mengalami kenaikan.

"Saat ini bukan saat yang baik. Pertama karena kondisi ekonomi, kedua sisi keadilan, ketiga sisi (penghematan) BBM," tutur Jokowi. (dtc/met)