Soal Karhutla Riau, Danrem Imbau Media Jangan Melulu Salahkan Gubri

Soal Karhutla Riau, Danrem Imbau Media Jangan Melulu Salahkan Gubri

RIAUMANDIRI.ID, PEKANBARU - Danrem 031 Wirabima, Brigjen TNI Muhammad Fajar mengajak media agar jangan selalu menyalahkan Gubernur Riau Syamsuar terkait bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla). 

Menurutnya, alih-alih merundung Gubernur, sebaiknya media memberi hukuman sosial terhadap para pembakar lahan dengan merundung mereka di media sosial.

"Saya pernah menyarankan kepada media. Alih-alih menyalahkan, mungkin, Gubernur beserta jajarannya, bagusnya mereka itu menghukum secara sosial orang yang ketahuan membakar lahan. Di-bully saja di medsos. Pak Gubernur tidak membakar, kok Pak Gubernur yang di-bully, kadang bingung juga," kata dia saat Rapat Koordinasi Karhutla Gubernur Riau dengan Gubernur Sumatra Selatan, Sabtu (11/1/2020) kemarin. 


Namun, Muhammad Fajar tidak menyebutkan secara spesifik siapa pihak yang ia maksud pembakar lahan dalam kasus karhtula, apakah korporasi atau masyarakat?

Sebelumnya, Ketua MKA LAM Riau, Al Ahzar pada diskusi publik yang ditaja Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), membahas 1,2 juta hektare sawit ilegal di Riau, mengklaim bahwa masyarakat adat tidak pernah menjadi aktor dalam pembakaran hutan dan lahan yang terjadi selama ini.

"Mereka (masarakat adat) bukanlah aktor dalam pembakaran. Baik dibayar maupun tidak. Baik yang dimobilisasi cukong maupun tidak," jelasnya.

Sementara itu, dalam karhutla September 2019 lalu, Menkopolhukam kala itu, Wiranto menyatakan bahwa salah satu penyebab karhutla adalah aktivitas masyarakat yang berladang dengan cara membakar lahan.

Pernyataan tersebut mendapat protes keras sebab apabila ditafsirkan lebih dalam, maka peladang yang dimaksud Wiranto adalah masyarakat adat.

Pemerintah juga telah menyatakan komitmen penegakan hukum tanpa pandang bulu dalam menangani kasus karhutla. Hal ini dibuktikan dengan melayangkan gugatan kepada sejumlah perusahaan yang diduga mendalangi karhutla. Dan Mahkamah Agung pada Februari 2019 lalu memutuskan 11 perusahaan terbukti melakukan karhutla dan pembalakan liar.

PT Kallista Alam di Nagan Raya dituntut kompensasi Rp366 miliar atas kebakaran lahan hutan gambut Rawa Tripa, Aceh, seluas seribu hektare yang terjadi pada 2012.

PT Surya Panen Subur membakar lahan seluas 1.183 hektare. Pemerintah menuntut kompensasi sebesar Rp439 miliar pada 2012.

PT Jatim Jaya Perkasa milik Gama Grup juga terbukti membakar lahan seluas seribu hektare pada 2013 dan didenda KLHK sebesar Rp491 miliar.

PT Bumi Mekar Hijau milik grup Sinar Ma membakar 20 ribu hektare lebih dan dituntut kompensasi Rp78,5 miliar.

Anak perusahaan Sampoerna Agro Tbk, National Sago Prima, pada 2014 membakar lahan seluas 3 ribu hektare. MA mengabulkan tuntutan kompensasi Kementerian LHK sebesar Rp1,07 triliun.

Pada karhutla 2015, Kementerian LHK memenangkan gugatan terhadap tiga perusahaan sawit, Ricky Kurniawan Putrapersada, Palmina Utama, dan Waringin Agro Jaya dengan total kompensasi lebih dari Rp600 miliar.

PT Merbau Pelalawan Lestari, dituntut membayar denda sebesar Rp16,2 triliun.

Dari sekian banyak bukti pembakaran masif yang dilakukan perusahaan besar, pada kenyataanya pembakar hutan yang selalu ditangkap dan muncul di media hanya pesuruh dan aktor lapangan, bukan aktor utama.

Dari data yang dirangkum Riaumandiri.id, pada 19 September 2019, ada 230 orang pembakar lahan ditangkap dan pada 22 September 22 orang. Selanjutnya pada 24 September 2 orang pembakar hutan halaman di Lingga Riau ditangkap.

Jadi, jika merujuk pada ajakan Danrem 031 Muhmmad Fajar, kepada siapa media sepantasnya memberi hukuman sosial dan perundungan?

Reporter: M. Ihsan Yurin