Empat Kritik Tajam untuk Presiden yang Tak Kunjung Terbitkan Perppu KPK

Empat Kritik Tajam untuk Presiden yang Tak Kunjung Terbitkan Perppu KPK

RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA - Publik masih menanti keputusan Presiden Jokowi untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) KPK agar membatalkan UU KPK hasil revisi. UU bernomor 19/2019 itu dinilai hanya akan memangkas independensi KPK. 

Meski dihantam kritik dan gelombang demonstrasi, Perppu KPK tak kunjung terbit. Belakangan, Jokowi beralasan masih menunggu hasil uji materi UU KPK baru yang diajukan sejumlah mahasiswa dan politikus ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Kita melihat bahwa sekarang ini masih ada proses uji materi di MK. Jangan ada orang yang masih berproses di uji materi kemudian langsung ditimpa dengan sebuah keputusan yang lain," ujar Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (1/11).


"Saya kira kita harus tahu sopan santun," katanya. 

Alih-alih diapresiasi, sikap Jokowi semakin dikritik dan dinilai sesat. Apalagi, Jokowi menyelipkan kata "sopan santun" sebagai alasan ia belum mengeluarkan Perppu hingga saat ini.

Lima Orang Meninggal Dunia
Kritikan datang dari Direktur Pusat Studi Konstitusi (PuSaKo) Universitas Andalas, Feri Amsari. Feri menyinggung soal aksi demonstrasi menolak pengesahan RUU KPK yang menelan lima korban jiwa. Mereka adalah Bagus Putra Mahendra (15), Maulana Suryadi (23) Akbar Alamsyah (19) Randy (22), dan Yusuf Kardawi (19).

"Apakah presiden sopan, ketika lima nyawa sudah dikorbankan untuk upaya agar presiden mengeluarkan Perppu, lalu presiden sama sekali tidak mempertimbangkan lima nyawa ini, begitu UU disahkan," kata Feri. 

"Saya tidak pernah mendengar presiden tiba-tiba ngomong 'Tunggulah dulu ini revisi dijalankan, penomoran dan sebagainya, tunggulah pengesahan, karena ada lima nyawa menjadi korban'. Saya tidak melihat ada adab sopan santun terhadap nyawa anak bangsa," sambungnya. 

Jika sopan santun yang dimaksud Jokowi adalah adab ketatanegaraan, Feri pun mempertanyakan langkah pemerintah dan DPR dalam mengesahkan Revisi UU KPK. Misalnya, tak mengajak KPK dan publik dalam membahas revisi UU, pengesahan revisi UU yang tak memenuhi syarat kuorum, tak lagi berkomunikasi dengan tokoh bangsa soal pertimbangan Perppu, hingga aturan soal kewenangan penuh presiden menentukan Dewan Pengawas KPK. 

“Artinya apa, kekuasaan presiden akan dominan, menunjuk saja orang kelima-limanya, sementara presiden berikutnya harus melalui Pansel (untuk menunjuk Dewan Pengawas). Apa tidak menghargai presiden-presiden berikutnya? di mana adab sopan santunnya?” tuturnya.

“Sebagai orang sopan santun yang selalu mengumbar-umbar sopan santun ketatanegaraan, patut kita pertanyakan apakah presiden juga tidak menghormati sopan santun ketatanegaraan,” tegas dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas ini.

Lonceng Masuk Neo-Orba
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai sejak awal Jokowi memang menyetujui revisi UU KPK. Salah satunya terkait dikeluarkannya Surat Presiden (Surpres) untuk membahas Revisi UU KPK bersama pemerintah dan DPR. 

“Dan kalaupun di dalamnya ada skandal antara Menteri Hukum dan HAM, partai, dan presiden, tapi secara kasat mata kita melihat presiden menandatanganinya. Tidak mungkin hal tersebut bisa terjadi, dan menteri tidak akan berani kalau tidak ada persetujuan presiden,” tutur Asfin. 

Asfin memandang Perppu KPK yang tak kunjung terbit --meski dihantam kritik sana-sini-- selayaknya era Orde Baru. Di masa itu, kata Asfin, praktik korupsi merajalela bahkan dijalankan oleh sistem negara itu sendiri. 

“Jadi menurut kami, tidak dikeluarkannya Perppu adalah sebuah lonceng kita masuk ke neo-Orde Baru. Kalau kita kaitkan dengan beberapa undang-undang yang merepresi rakyat, maka sebetulnya ini adalah perulangan yang terjadi sebelum 1998 atau Orba,” tegasnya.

“Orba sebetulnya adalah cerita korupsi yang luar biasa yang dijalankan oleh sistem negara itu sendiri, oleh pemerintahan yang akibatnya ada kelemahan-kelemahan politik, baik politik warga maupun politik dari parpol atau oposisi. Dan semua itu adalah untuk menjalankan megakorupsi itu perlu ada sebuah penertiban rakyat dan semua elemen itu sedang terjadi sekarang,” sambungnya. 

Alasan Jokowi Mengada-ada, Hakim MK Pastinya Tak Akan Tersinggung
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, menyesalkan pernyataan Jokowi. Sebab ia meyakini para hakim MK tidak akan tersinggung apabila langkah menerbitkan Perppu dilakukan Jokowi sebagai seorang presiden. 

“Jadi kalau misal kemarin argumentasi Presiden mau menunggu proses MK, itu keliru. Itu pernyataan yang keliru dan menyesatkan, menurut saya kok terlalu mengada-ada,” ujar Bivitri. 

“Apakah kemudian ada aspek sopan santun? Enggak juga. Saya yakin seribu persen, sembilan hakim enggak akan tersinggung kalau Perppu dikeluarkan,” sambungnya.

Sembilan Hakim MK yang sangat pakar di bidangnya tentu memahami bahwa Perppu adalah kebijakan hukum dan hak presiden. Selama ada situasi genting, langkah tersebut tidak perlu mempertimbangkan proses hukum di MK maupun proses legislasi.

“Contoh konkret Perppu Ormas itu keluar 5 tahun setelah UU Ormas jadi undang-undang, jadi tidak ada deadline. Apakah tergantung MK? juga tidak. Karena jalurnya presiden sebagai cabang kekuasaan eksekutif dengan MK sebagai yudikatif tidak bersentuhan dalam soal pembuatan perppu,” tegasnya. 

Seandainya saja Pak Jokowi mengungkapkan posisinya yang ternyata tidak mendukung KPK dan tidak mendukung pemberantasan korupsi itu sejak dia dicalonkan, menurut saya sudah jelas apakah perlu ada dukungan terhadap presiden yang tidak mendukung pemberantasan korupsi

Gelombang Demonstrasi Hanya Sekadar Angin Lalu
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai KPK sepenuhnya mati suri. Sejumlah pasal dalam UU baru akan menghambat KPK dalam penindakan. 
"Per tanggal 17 Oktober kemarin KPK sudah resmi shutdown atau mati suri," ujar Peneliti ICW, Kurnia Ramdhani. 

"Seluruh pasal yang disepakati, Dewan Pengawas, SP3 dan lain-lainnya memang benar akan mengembalikan pemberantasan korupsi kembali ke jalur lambat," sambung Kurnia.

Ia menyayangkan sikap Jokowi yang tidak tegas menerbitkan Perppu hanya karena menunggu putusan uji materi. Justru, menurutnya, jatuhnya korban jiwa dalam aksi demonstrasi menentang RUU KPK bisa menjadi salah satu alasan genting untuk mengambil langkah itu.

“Presiden Jokowi sama sekali tidak memandang kejadian tanggal 24 September, 30 September, sebagai sebuah kegentingan yang mendesak. Berbagai daerah sudah menyelenggarakan aksi demonstrasi besar-besaran, seluruh elemen masyarakat dengan tagar reformasi di korupsi," beber Kurnia.

"Rasanya hanya dianggap angin lalu saja oleh Presiden bahkan sudah memakan korban,” ujarnya.

UU KPK versi revisi sudah berlaku pada Kamis (17/10) lalu dan dicatat di lembaran negara sebagai UU Nomor 19 tahun 2019. UU KPK berlaku otomatis 30 hari sejak disahkan DPR pada 17 September, meski Jokowi tidak menandatanganinya.**