Diskusi Buku Puisi ‘Rembulan dan Matahari’

Dua Pemikiran dari Dua Generasi yang Sedang Menyapa dan Merenung

Dua Pemikiran dari Dua Generasi yang Sedang Menyapa dan Merenung

RIAUMANDIRI.CO, PADANG PANJANG - Buku Kumpulan Puisi ‘Rembulan dan Matahari’ karya Sulaiman Juned dan Soeryadarma Isman—duet ayah dan anak—secara resmi diluncurkan di puncak perayaan Hari Ulang Tahun ke-22 Komunitas Seni Kuflet Padang Panjang, Sumatera Barat, Rabu (12/6/2019), di Kampung Jambak, Padang Panjang.

Buku itu dibahas Dr Sahrul, SS, MSi (Kritikus Seni, Dosen Teater), Maizul, SE (Novelis), dan Muhammad Subhan (Penulis dan Pegiat Literasi). Tampil sebagai pemantik diskusi lainnya Dr Indra Utama (Akademisi dan Praktisi Seni) dan Dr Hermawan, MHum (Penyair, Dosen Sastra). Acara itu dipandu Nurlaili (Pegiat Komunitas Seni Kuflet Padang Panjang).

Buku Puisi ‘Rembulan dan Matahari’ karya Sulaiman Juned dan Soeryadarma Isman, menurut Sahrul N, menyisakan dua pemikiran dari dua generasi yang berbeda. Generasi pertama adalah generasi yang sedang “menyapa”, dan generasi kedua adalah generasi yang sedang “merenung”.


“Soryadarma Isman generasi yang sedang menyapa apa saja untuk dijadikan sebagai bahan pembelajaran dirinya, sedangkan Sulaiman Juned generasi yang membawa realitas kehidupan ke dalam dirinya untuk bahan perenungan dalam menjangkau kebijaksanaan,” ujar Sahrul yang juga penulis buku ‘Teater dalam Kritik’ itu.

Sementara Maizul mengaku telah mengamati proses kreatif Soeryadarma Isman sejak Soerya—sapaan Soeryadarma Isman—masih berusia kanak-kanak. Di usia sembilan tahun, Soerya telah menulis kumpulan puisi bersama dua teman seusianya dan buku itu berjudul ‘Negeri di Atas Langit’.

“Jika dibandingkan buku pertamanya, di buku ‘Rembulan dan Matahari’ ini terlihat lompatan pencapaian yang luar biasa, terutama dari pilihan tema dan diksi,” kata Penyair yang juga Penulis Novel ‘5 Bintang’ itu.

Sepakat dengan Maizul, Muhammad Subhan juga mengaku sudah mengenal kedua penyair di buku puisi itu cukup lama, sejak ia berdomisili di Padang Panjang. Ia ikut melihat proses kreatif Soerya dan memberi apresiasi atas setiap pencapaian karya ayah dan anak itu.

“Duet karya Sulaiman Juned dan Soerya ini unik. Meski seamatan saya sang ayah tidak memaksakan sang anak mengikuti jejak kepenyairannya, tapi ada proses pencarian yang dilakukan Soerya untuk menulis (puisi) seperti ayahnya,” kata Muhammad Subhan yang juga penulis novel ‘Rumah di Tengah Sawah’.

Soerya tidak hanya piawai menulis puisi tapi juga membaca puisi. Ia memenangkan banyak perlombaan baca puisi dan tampil di berbagai acara seni dan sastra, baik ketika di Sumatra Barat, Aceh, maupun kota lainnya.

Menurut Muhammad Subhan, puisi-puisi Soerya memiliki gaya sendiri meski keterpengaruhan pada puisi-puisi sang ayah belum sepenuhnya dapat ia lepaskan, dan itu lumrah sebagai penyair pemula. “Dalam perjalanannya nanti, kita akan melihat, apakah Soerya masih mampu bertahan sebagai penyair, atau waktu juga yang menjawab ia hilang dari peredaran,” ujarnya.

Pemantik diskusi lainnya, Dr Indra Utama dan Dr Hermawan sepakat bahwa puisi-puisi Soerya perlu diapresiasi, dan karya-karya Sulaiman Juned, sang ayah, sudah berada pada posisi pencapaian tersendiri. Namun, Indra dan Hermawan berharap tidak memberi ruang pujian berlebihan terhadap Soerya agar ia benar-benar bertahan.

“Saya hadir karena termotivasi pada Soerya, dan ingin mendengar bagaimana ia bicara, membaca puisi, dan berdebat jika perlu. Tapi sayang Soerya tidak bisa hadir,” ujar Indra Utama.

Peluncuran dan diskusi buku yang dihadiri peminat sastra dari kalangan mahasiswa dan umum di Sumatra Barat itu, diprakarsai Komunitas Seni Kuflet Padang Panjang dan didukung Forum Pegiat Literasi (FPL) Kota Padang Panjang.