Sembilan Desa di Pulau Rangsang kepulauan meranti

Terancam Hanyut Ditelan Laut

Terancam Hanyut Ditelan Laut

Kabupaten Kepulauan Meranti Kabupaten Kepulauan Meranti terdiri dari beberapa pulau besar. Salah satunya Pulau Rangsang yang terdiri dari 3 kecamatan. Dan satu kecamatan yang terparah mengalami abrasi adalah Kecamatan Rangsang Pesisir ibukotanya sementara Sonde, pemekaran dari Kecamatan Rangsang Barat.

Kondisi desa umumnya di kecamatan ini masih sangat tertinggal, dibanding dengan kecamatan lainnya. Kecamatan Rangsang Pesisir ini terdiri dari 11 desa. Dan enam diantaranya terletak di pinggir pantai menghadap lautan bebas Selat Malaka.

Yakni Tanah Merah, Sonde, Kedabu Rapat,Telesung, Tenggayun Raya, dan Tanjung Kedabu. Ke enam desa tersebut terletak di pinggir pantai bagian Utara Pulau Rangsang bersama tiga desa lainnya masuk wilayah Kecamatan Rangsang Barat.

Yakni Desa Anak Setatah, Desa Permai dan Desa Bantar. Dan yang terparah dari ke tiga desa tersebut yakni Desa Anak Setatah. Diperkirakan dengan panjang pantai keseluruhan yang menjadi ancaman abrasi bagian utara pulau rangsang itu sekira 70-90 Km.

Lima desa lainnya masuk wilayah Kecamatan Rangsang Pesisir yang berada di sebelah Selatan Pulau Rangsang itu tidak mengalami abrasi. Yakni Desa Sokop, Desa Beting, Desa Bungur dan Desa Kayu Ara serta Desa Sendaur.

Kondisi abrasi di bagian Utara Pulau Rangsang itu telah terjadi sejak lama. Terjadi  sejak hutan bakau atau hutan alam di pulau itu dirambah lalu kemudian diekspolotasi oleh perusahaan yang beroperasi di pulau itu diperkirakan sejak era 70-an silam.

Kondisi Pulau Rangsang saat ini memang nyaris tak memiliki hutan alam lagi. Sebab sisa hutan yang ada sejak awal 2000-an lalu juga sudah dieksploitasi kembali dalam bentuk perusahaan HTI. Sementara sisa hutan mangrove yang ada juga menjadi ajang pencarian rejeki bagi masyarakat tempatan.
Berbagai kebutuhan masyarakat akan pentingnya kayu bakau juga salah satu faktor kenapa hutan mangrove di sana kian gundul. Seiring dengan gundulnya hutan tersebut, justru memperparah terjadinya abrasi.

Daratan Hilang 15-20 M/Tahun
Arazmi, warga Desa Tanah Merah mengakui salah satu kerisauan masyarakat secara umum di desa mereka itu adalah adanya ancaman Abrasi.

Menurutnya, abrasi atau hilangnya daratan akibat gerusan ombak yang diakibatkan laut Selat Malaka terus terjadi siang dan malam. Terutama saat musim angin utara, angin yang berhembus dari tengah laut menuju daratan, kencanganya cukup parah.

Angin kencang itu juga bersama dengan pukulan ombak, yang  tak henti-hentinya menghantan dan menggerus daratan pulau tersebut.

Tanah yang terdiri dari tanah gambut itu, hanya butuh waktu sebentar saja untuk merubuhkannya sekaligus mengancurkan menjadi bubur dan akhirnya hilang ditelan laut.

Hingga saat ini kata Arazmi, tanah yang telah berubah menjadi lautan atau pantai itu jika surut laut terlihat jauhnya menjorok ke tenga laut diperkirakan sudah sejauh 3.000 meter dari pinggir pantai yag ada saat ini.

Itu artinya daratan yang dahulu selebar 3.000 meter itu saat ini telah berubah menjadi lautan. Berbagai harta milik masyarakat mulai dari perkebunan, perladangan, rumah penduduk, rumah ibadah, bahkan tanah pekuburan sudah banyak yang berubah menjadi lautan.

Bahkan telah terjadi sejak lama, di salah satu dusun dari dua dusun yang terdapt di Desa Anak Setatah, Kecamatan Rangsang Barat, yakni Dusun Karet saat ini hanya tinggal nama saja lagi. Dusun tersebut bersama saksi bisu lainnya telah lenyap ditelan laut. Dan satu lagi Dusun Demba di desa yang sama juga menjadi ancaman hilang akibat hebatnya abrasi.

Warga Bergeser 10 Tahun Sekali
Akibat terjadinya abrasi tersebut, lanjut Nurazizah, ibu rumah tangga dari Desa Tanah Merah mengakui mereka setiap 10 tahun sekali akan bergeser menuju daratan.

“Seingat kami, rumah kami ini sudah 4 kali dipindahkan, meninggalkan pinggir pantai. Hal itu karena ombak kian mendekat di pekarangan rumah, apalagi pada musim angin utara, kuatnya ombak seraya akan turut menghayutkan rumah.

Sehingga dari pada tiudr tidak nyaman, lebih baik kita mengindar agak ke darat, namun tak lama kemudian abrasi itu juga akan semakin mendekat.

Demikinlah kita terkesan selalu  dikejar ombak, dan inilah perpindahan kita untuk yang ke empat kalinya. Dan jika melihat kondisi ombak yang kian ganas itu tampaknya tak lama lagi kita juga akan pindah lagi agak ke darat, “ungkap ibu ini disampinngi  suaminya yang nelayan itu.

Disebutkannya, masyarakat sangat berharap kepada pemerintah kabupaten agar mampu mengatasi bencana alam yang mengancam masa depan desa dan masa depan masyarakat itu sendiri.

Menurut Ibu yang cukup merisaukan kondisi itu, jika tidak ada upaya mempertahankan desa itu maka desa mereka itu nantinya hanya tinggal nama saja.
Pengakuan Ibu Nurazizah dipertegas oleh Ismail warga desa yang sama. Menurutnya, perlu ada perhatian serius dari pemerintah. Bukan hanya perhatian dari pemerintah kabupaten saja, melainkan juga perhatian serius dari Pemerintah Provinsi Riau dan juga Pemerintah Pusat Jokowi -JK.

Menurut Ismail, kerisauan masyarakat di Kecamatan Rangsang Pesisir dan Kecamatan Rangsang Barat selayaknya menjadi kerisauan Gubernur Riau dan Presiden kita.
Sebab selain kondisi infrastruktur  yang nyata-nyata telah memiskinkan warga sejak beberapa dekade lalu, saat ini juga masyarakat dihadapkan pada kondisi ancaman bencana yang menenggelamkan.

Kami harus mengadu kepada siapa lagi, selain kepada pemerintah. Apalagi pemerintah provinsi yang terbilang kaya raya itu, tapi kami masyaralatnya di desa ini masih dalam kondisi tertinggal.

Tidak hanya dengan kondisi tertinggal, tapi juga menghadapi ancaman masa depan yang suram akibat ganasnya abrasi dan belum adanya upaya serius dari pemerintah provinsi maupun pusat.

Sebab jika hanya mengandalkan kemampuan daerah, sudah barang tentu pulau ini akan tenggelam. Sebab jika tanpa penanganan dari pemerintah pusat dalam hal mengatasi persoalan abrasi ini, maka Kepulauan Meranti ini, secara keeluruhan bisa saja hanya  tinggal kenangan saja lagi.

Dusun Karet Hanya Tinggal Nama
Kepala Desa Anak Setatah Zulhaidi, mengakui abrasi yang terparah di Kecamatan Rangsang Barat yang bertetangga dengan desa-desa di Kecamatan Rangsang Pesisir adalah Desa Anak Setath, Desa Permai dan Desa Bantar.

Kondisi ke tiga desa ini sama persis dengan 6 desa yang ada di Kecamatan Rangsang Pesisir. Bahkan ada satu dusun di Desa Anak Setatah yang saat ini hanya tinggal nama saja. Seluruh keberadaan desa itu sejak lama telah berubah menjadi lautan.

Ancaman abrasi terus terjadi setiap tahun. Selagi musim angin utara masih terjadi, selama itulah pulau Rangsang di bagian Utara pulau itu akan tergerus oleh abrasi.

Rumah penduduk yang bahkan tidak sempat dipindahkan, begitu juga rumah ibadah dan ratusan bahkan ribuan hektar perkebunan kelapa masyarakat satu persatu hilang ditelan laut.

Abrasi  yang terjadi benar-benar merugikan masyarakat di wilaya ini. Yang paling bisa dilakukan adalah pindah dan pindah sebelum tanh tu akhirnya longsor ke laut.

Diungkapkan Kepala Desa Anak Setatah ini, pernah ada upaya penyelematan pulau yang dilakukan semasa pemerintahan Bengkalis. Berupa tembok penahan ombak yang dibangun di beberapa titik rawan.

Namun entah kenapa, bangunan baru saja berdiri, lantas langsung rubuh seketika. Akhirnya sejak saat itu hingga sekarang upaya untuk menangkal derasnya ombak yang menghatam daratan itu belum bisa diwujudkan.

Masih menurut Kades ini, pemerintah pusat dan provinsi harus berjuang mempertahankan pulau. Perjuangan yang akan dilakukan bukan lagi berhadapan dengan penjajah dari negara lain, melainkan penjajahan melalui gerusan ombak.

Pulau Rangsang adalah salah satu pulau terluar di Provinsi Riau maupun di NKRI. Jika daratan Pulau Rangsang ini kian menciut, maka secara otomati luas daratan Indonesia akan semakin berkurang.

Dengan demikian kondisi yang terjadi saat ini mestinya menjadi persoalan nasional. Sebab selain medanny sangat sulit, juga dibtuhkan biaya  relatif besar.
Jadi jika mengandalkan keuangan APND kabupaten, atau hanya mengharapkan APBD provinsi, maka penangkal abrasi di Kepulauan Meranti ini tidak akan terwujud. Dengan demikian kabupaten Kepulauan Kepulauan Meranti ini 50 atau 100 tahun kedepan bisa saja hanys sebuah pulau kecil yang tidak berpenghuni.
         
Mahadi, Tokoh Masyarakat Rangsang Pesisir
Mahadi, salah seorang tokoh masyarakat Rangsang Pesisir menambahkan, selama ini ada gerakan menghutankan kembali yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan.

Bahkan ada juga kelompok masyarakat binaan pemerintahan desa dengan melibatkan berbagai unsur masyarakat seperti pelajar dan mahasiswa dalam kegiatan penanaman kembali.

Sebagian upaya tersebut berhasil menghutankan kembali. Hanya saja prosesnya cukup rumit,  dan tak jarang upaya itu sia-sia kembali akibat derasnya ombak yang menerjang bibit pohon mangrove itu.

Diakunya, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah kabupaten bersama masyarakat tempatan. Namun dengan kuatnya ombak yang menggempur tanaman itu akhirnya terkikis kembali dan terbawa arus yang pada akhirnya dari ribua pohon yang ditanam paling hanya beberapa ratus pohon saja yang bertahan.

Mantan Kepada Desa Tanah Merah itu mengakui  salah satu upaya mengatasi bencana alam tersebut   yakni dengan membangun batu lonjong yang dibangun atau disusun sedemikian rupa menjorok hingga ke tengah laut.

Batu lonjong itu persisi bagai parit gundukan batu yang diikat dengan kawat khusus bertengger yang akan mampu menahan derasnya terjangan ombak sebelum ombak itu sampai ke pinggir pantai.

Dan jika itu dilakukan lalu kemudian dibangun atau  ditanam kembali pohon mangrove yang akhirnya akan mampu mengikat tanah yang dalam mempertahankan pulau.
Bahkan salah satu jenis tanaman pohon mangrove yakni pohon Api-api diyakini akan membentuk atau mengikat tanah kembali dan membangun daratan.

Inilah yang terus diupayakan pihak pemerintah desa dan kabupaten selama ini. Hanya saja kuatnya arus ombak atau kencangnya angin utara tidak sebanding dengan kekuatan manusia untuk menanam kembali.

Sebab sebelum pohon yang ditanam itu tumbuh dan berakar, ombak laut Selat Malaka yang gelombangnya mencapai tinggi 3- 4 meter sudah keburu melahabnya.
Melihat ganasnya ombak itu kian menciutkan nyali masyarakat untuk terus menanam pohon. Berbagai cara dilakukan, untuk bisa menjamin tumbuhnya pohon mangrove tersebut.

Tapi semua tidak memberikan hasil yang memuaskan. Sebab memang untuk mengatasi atau menangkal bencana alam itu tampaknya harus melalui pembangunan tanggul raksasa dengan konstruksi beton yang kokoh atau dengan pembuatan batu gunung yang akrab disebut batu lonjong itu.

Mahadi menjelaskan, untuk mengatasi abrasi itu, pemerintah harus melakukan upaya vegetasi dan sipil teknis. Untuk vegetasi, dilakukan dengan cara menanam kembali hutan mangrove. Sedangkan cara sipil teknis, bisa dilakukan dengan membangun break water atau tembok penahan ombak dimaksud.

Dilarang Menebang Pohon Magrove
Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kepulauan Meranti, Makmun Murod menyebutkan salah satu upaya menyelematkan pulau rangasang dari ancaman abrasi adalah dengan menyetop seluruh penebangan pohon mangorove yang masih terjadi saat ini.

Menurut Murod, hilangnya hutan mangrove di bumi Meranti terutama di kawasan gugusan Pulau Rangsang di sisi Utara memaksa terjadinya abrasi.

Jika hutan mangrove belum gundul seperti saat, kita yakin sekuat apapun terjangan ombak Selat Malaka tidak akan mampu menggerus pulau itu yang hingga puluhan meter per tahun tersebut.

Tapi karena ketiadaan pohon mangrove maka ombak leluasa memukul daratan yang mengakibatkan terjadinya abrasi hebat.

Murod mengungkapkan salah satu upaya yang mereka lakukan sejak beberpa tahun lalu dalam upaya mempertahankan pulau dengan larangan menebang pohon mangrove atau bakau serta beberapa jenis pohon lainnya.

Hanya saja laragan itu belum sepenuhnya dindahkan oleh masyarakat. Sebab disatu sisi, potensi yang masih terdapat dari hutan mangrove mampu memberikan nafkah bagi sebagian kecil warga yang berdomisili  di pinggir pantai.

Sehingga terjadi kontra kepentingan dalam menyelamatkan pulau. Sebab kita juga tidak bisa memungkiri manfaat kayu bakau atau sejenisnya menjadi sumber nafkah bagi sebagian warga. Selain untuk dijual ke kilang arang, pokok bakau atau sejenisnya itu juga dimanfaatkan sebagai cerocok untuk membangun gendung.

Disinilah dilema terjadi antara penyelematan pulau dan kepentingan masyarakat. Ada dua kepentingan yang saling bertolak belakang. Kita tegakkan aturan, disisi lain masyarakat akan menjadi korban.

Sehingga kita saat ini senantiasa melakukan himbauan dengan berbagai upaya. Dan kita sangat berharap pengertian dari semua pihak tentang dampak buruk jika terjadinya eksploitasi hutan mangrove secara tidak beraturan.

Benar hutan bakau itu bisa ditebang jika sudah memenuhi ketentuan tebang. Dan harus dilakukan penanaman kembali setiap kali menebang pohon itu.

Ini menjadi aturan baku yang diberlakukan pemerintah pusat hingga ke daerah saat ini. Sehingga HTR (hutan tanaman rakyat), menjadi salah satu solusi untuk menjembatani dua kepentingan tersebut.

Dan ditambah dengan kehadiran masyarakat peduli mangrove yang dibentuk di setiap desa nantinya akan berfungsi sebagai mata dan telinga dinas terkait. Mereka ini akan segera melaporkan jika kondisi hutan mangrove yang ada di berbagai desa berubah fungsi. Termasuk jika terjadi perambahan hutan, kebakaran dan lain sebagainya.   

Kurang Kepedulian Masyarakat
Sementara itu, Badan Pengelola Perbatasan Kabupaten Kepulauan Meranti melalui Kabid Infrastruktur Perbatasan, Nasruni mengatakan, masalah abrasi maupun pencemaran lingkungan ini sangat sulit untuk diatasi, karena kurangnya kesadaran masyarakat akan lingkungannya.

Masih banyak orang yang membuang sampah pada sembarang tempat yang nantinya dapat mencemari lingkungan.

Nasruni mengatakan, dampak yang diakibatkan oleh abrasi ini sangat besar. Garis pantai akan semakin menyempit dan apabila tidak diatasi lama kelamaan daerah-daerah yang permukaannya rendah akan tenggelam.

Lebih jauh dijelaskan, dampak dari abrasi dapat dikurangi dengan membangun benteng batu pemecah ombak dan juga menanam pohon bakau di pinggir pantai.

Selain itu,  pemecah ombak pun dapat menahan laju ombak dan memecahkan gelombang air sehingga kekuatan ombak saat mencapai bibir pantai akan berkurang.

Menurut Nasruni batu pemecah ombak tidak busa dibangun, karena biayanya sangat besar, untuk permeternya mencapai Rp 25 juta, sebagai solusinya akan dibangun benteng yang terbuat dari pohon nibung

"Untuk pemecah ombak mustahil akan dibangun. Permasalahannya APBD kita tidak mencukupi untuk pembuatan pemecah ombak itu", akunya.

Nasruni juga mengatakan, akan menanam kembali pohon bakau di pinggiran pantai sepanjang pantai yang terkena abrasi.

"Tahun 2016 ini akan kita proyeksikan membangun benteng dari pohon Nibung dulu. Setelah itu akan kita tanam pohon mangrove," ujarnya.

Dirinya juga menyinggung masalah untuk penangganan abrasi pantai pada tahun 2015 ini proyeksinya terfokus kepada Desa Telesung yang tidak kalahnya tergerus ombak. Karena di sana masih terdapat rumah-rumah penduduk, masjid, pekuburan dan lain sebagainya.(adv/hms)