Eks Humas BNN: Darurat Narkoba Hanya Sekadar Statement Presiden?

Eks Humas BNN: Darurat Narkoba Hanya Sekadar Statement Presiden?

RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang pernah menyebutkan bahwa Indonesia dalam kondisi darurat narkoba tidak diikuti langkah-langkah konkret dalam penanggulangannya.  

"Saya ingin menyoroti, apakah itu hanya sekadar statement saja?" kata mantan Kabag Humas Badan Narkotika Nasional (BNN), Kombes Pol Sulistiandriatmoko dalam diskusi bertema 'Narkoba dan Kehancuran Kedaulatan NKRI' di Media Center DPR/MPR, Jumat (8/3/2019).

Kalau dinyatakan kondisinya darurat, jelas Sulistiandriatmoko, tentu harus dengan mempunyai anggaran khusus, punya Satgas orang-orang khusus, tenggang waktu khusus untuk menyelesaikannya.


"Bahkan metode dan cara kerjanya pun khusus seperti yang terjadi bencana alam dengan anggaran khusus dan ditentukan waktunya. Orang yang menangani khusus, tidak semua orang bisa. Harus dikasih tenggang waktu berapa lama untuk bisa menyelesaikannya," ujarnya.

Sulistiandriatmoko mengungkapkan bahwa Budi Waseso (Buwas) ketika menjadi Kepala BNN pernah mengeluhkan tidak adanya kepedulian yang siginifikan dari kementerian maupun lembaga non kementerian dalam upaya pemberantasan narkoba.  

"Saya lelah menjadi kepala BNN. Saya sudah berdarah-darah, tetapi kepedulian dari kementerian maupun lembaga non kementerian yang lain belum signifikan seperti yang diharapkan," kata Sulistiandriatmoko mengutip keluhan Buwas.

Anggota Fraksi PDIP MPR RI, Henry Yosodiningrat menegaskan, kejahatan narkotika di Indonesia ini adalah kejahatan terhadap kemanusiaan kejahatan yang dilakukan oleh sebuah sindikat dengan tujuan untuk menghancurkan bangsa Indonesia dengan cara konsepsional dan sistematis yaitu dengan melakukan pembusukan terhadap generasi muda.

Karena itu, ungkap Henry Yosodiningrat, dia pernah menulis surat kepada Presiden untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) karena UU yang ada tidak memadai untuk memberantasi penyalahgunaan narkoba.

Dalam UU Narkotika hanya terdiri dari 155 Pasal, dan dari 155 pasal, hanya 37 pasal yang memberikan kewenangan kepada BNN, selebihnya merupakan kewenangan dari Badan POM dan Menteri kesehatan.

"Saya pernah menulis surat kepada Presiden meminta supaya dikeluarkan Perppu. Cukup beralasan mengeluarkan Perppu karena kondisi darurat, peraturan perundang-undangan yang ada tidak memadai untuk mengatasi kondisi darurat," ungkapnya.

Ke depan dia berharap kepada BNN jangan mendua. Kalau BNN mau mencegah masuknya narkoba jangan hanya mencegah dari pintu-pintu masuk. Tak akan mampu karena pintu masuk ribuan jumlahnya. Pantai hampir seratus ribu kilometer, pelabuhan-pelabuhan konvensional itu  banyak dan komitmen moral oleh para penegak hukumnya masih kurang. Kalau mau mencegah maka dari negara asal.

Dalam kaitan dengan penegakan hukum dan pemberantasan, dia mengusulkan ada satu lembaga khusus, ada satu bidang khusus di BNN itu. Kalau terdiri dari Polri bukan Polri seperti yang mengayomi dan melindungi.

"Tetapi  Polri dengan sosok yang menakutkan, yang tidak ada kompromi. Kalau perlu Polisi yang kejam. Mestiya kita harus mempunyai kepala BNN yang 'gila'. Semua sudah kita lakukan, satu yang belum kita lakukan, meniru cara pemerintah Filipina," ujarnya.

Anggota Fraksi NasDem MPR RI, Taufiqulhadi juga sepakat UU Narkotika diperbaiki.
"Saya sepakat bahwa memang UU narkotika harus dibenahi kembali,  agar bisa dibedakan antara pengguna dengan pengedar," jelasnya.

Menurut dia, undang-undang yang ada sekarang tidak bisa membedakan hukuman antara korban, pengguna dan pengedar. "Seharusnya kalau memang ada hukuman harus ditegaskan hukumannya. Hukumannya adalah rehabilitasi, jadi tetap saja ada prinsip hukuman. Menurut saya rehabilitasi adalah teap saja kita anggap sebagai hukuman," katanya.

Reporter: Syafril Amir